Cari Berita

Jejak Asas Legalitas: Dari Hukum Taurat, Alquran hingga Revolusi Prancis

Jatmiko Wirawan - Dandapala Contributor 2025-09-24 08:05:29
Ilustrasi (dok.dandapala)

 

TERDAPAT suatu masa ketika kekuasaan seorang raja bersifat demikian absolut. Rakyat jelata tidak memahami secara pasti mana perbuatan yang dilarang dan mana perbuatan yang diperbolehkan. Alhasil seorang rakyat bisa dihukum tanpa suatu dasar yang jelas. Seorang raja menyelenggarakan proses peradilan dengan sewenang-wenang. Praktis, peradilan berjalan tidak sebagaimana mestinya dan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan.

Dalam masa “kalabendu” tersebut, lahir pemikir masyhur asal perancis bernama Montesquieu. Selain seorang filsuf dan sejarawan, Montesquieu juga merupakan seorang hakim. Ia menyuarakan agar kekuasaan raja harus dibatasi oleh peraturan tertulis. Pikiran Montesquieu tersebut terus berkembang dan menyebar bak bola salju. Hingga puncaknya saat revolusi Perancis akhirnya memporak-porandakan absolutisme raja. 

Baca Juga: Hakim sebagai Wakil Tuhan, Asal Usul Historis dan Relevansinya dalam Negara Demokrasi

“Struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu,” tulis Rene David & John E.C Brierley.

Revolusi Perancis telah meletakan dasar perlawanan terhadap absolutime raja, tak terkecuali dalam proses peradilan. Gerakan ini merambat dari satu dataran eropa ke dataran eropa yang lain. Seorang sarjana hukum pidana Jerman, bernama Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775-1833), menerbitkan buku berjudul Lehrbuch Des Penlichen Recht pada tahun 1801. Alhasil, Feurbach dinobatkan sebagai sosok pencetus Asas Legalitas.

Apa yang dirumuskan oleh Feuerbach dalam buku tersebut mengandung arti yang sangat mendasar yang dalam bahasa Latin berbunyi: nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine nullum crimen sine poena legali. Ketiga frasa tersebut kemudian menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Adagium ini yang kemudian dikenal sebagai asas legalitas dan dipelajari di setiap sekolah hukum di muka bumi sampai hari ini.

Karena asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin, tak sedikit yang beranggapan bahwa rumusan ini berasal dari hukum Romawi kuno. Padahal, menurut Moeljatno, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi kuno. 

“Asas legalitas yang dirumuskan dalam bahasa Latin adalah karena bahasa Latin merupakan bahasa 'dunia hukum' yang digunakan pada waktu itu,” tulis JE Sahetapy.

Meski Asas Legalitas baru lahir pada 1801 melalui buku Feurbach. Namun ruh asas tersebut telah hidup beratus tahun sebelumnya dan dapat ditemukan dalam kitab suci agama-agama samawi.

Menurut M. Shokry El Dakkak, asas legalitas dalam hukum Islam secara implisit terdapat dalam Al-Qur'an, Surat Al Israa ayat 15. Dalam surat tersebut dikatakan:

"Siapa yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah. maka ia sendiri yang akan menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang rasul". 

“Berdasarkan ayat tersebut, hukum Islam tidak hanya mengakui asas legalitas tetapi juga memberi dasar bagi asas pertanggungjawaban pribadi dalam hukum pidana,”kata M.Shokry El-Dakkak dalam State's Crimes Against Humanity: Genocide, Deportation And Torture: From The Prespectives Of International And Islamic Laws, A.S. Noordeen,

Ruh dari asas legalitas juga termuat dalam Perjanjian Baru yang berisi Injil, surat-surat Paulus dan surat-surat lainnya. Dalam Surat Paulus Kepada Jemaat Di Roma, tepatnya Roma Pasal 5 ayat (13) berbunyi:

"Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat", 

Baca Juga: Ironi Kusni Kasdut: Ikut Revolusi Kemerdekaan, Merampok hingga Divonis Mati

Berdasarkan Roma Pasal 5 ayat (13) tersebut, jika kita menganalogikan dosa itu sebagai perbuatan pidana, maka tidak ada perbuatan pidana sebelum ada aturan hukumnya,” demikian sebagaimana dikutip dari Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Dan Kidung Jemaat.

Asas legalitas yang lahir dari pergulatan sejarah panjang melawan kesewenang-wenangan kini menjadi fondasi utama dalam sistem hukum pidana modern, termasuk di Indonesia. Penerapan asas legalitas tercermin jelas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Bahkan, KUHP Nasional (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) tetap meneguhkan keberlakuan asas ini sebagai roh dari hukum pidana nasional. Dengan demikian, perjalanan asas legalitas dari masa absolutisme hingga pengaturan di era modern menegaskan relevansinya yang tak lekang oleh waktu. (jw)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI