Cari Berita

Keadilan di Tengah Krisis: Urgensi Pedoman Mengadili dalam Situasi Darurat

Muamar Azmar Mahmud Farig - Dandapala Contributor 2025-09-05 10:05:38
Dok. Penulis.

Krisis sosial sering merobek sendi-sendi kehidupan bersama. Jalanan dipenuhi suara protes, air mata keluarga korban menetes, dan institusi negara ditantang mempertahankan legitimasinya. Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada satu kebutuhan yang tidak boleh hilang: keadilan.

Tanpanya, darurat hanya akan melahirkan kekerasan yang dilegalkan. Realitas ini kembali mengemuka dalam gelombang demonstrasi Agustus 2025 yang melanda berbagai kota di Indonesia.

Aksi yang bermula dari protes terhadap kebijakan kontroversial berakhir tragis dengan jatuhnya korban jiwa, mulai dari Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob, hingga empat korban di Makassar yang meliputi petugas dan warga sipil.

Baca Juga: Rekonstruksi Amnesti dan Abolisi dalam Tata Hukum Indonesia

Peristiwa ini mengingatkan pada pola berulang dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998 yang berakar pada krisis ekonomi-politik, konflik Aceh dengan basis separatisme bersenjata, dinamika Papua yang kompleks dengan isu identitas dan pembangunan, hingga demonstrasi-demonstrasi kontemporer yang lebih sering berfokus pada kebijakan pemerintah.

Masing-masing krisis memiliki karakter yang berbeda, tetapi benang merahnya sama: selalu muncul dilema antara menjaga stabilitas negara dan menegakkan hak asasi manusia.

Di tengah situasi seperti ini, pengadilan tidak boleh berhenti beroperasi, justru diuji: apakah masih mampu menghadirkan rasa keadilan, atau tenggelam dalam logika darurat yang serba represif?

Dalam menjawab tantangan tersebut, kita perlu kembali pada fondasi filosofis keadilan itu sendiri.

Plato dalam Republic menggambarkan keadilan sebagai harmoni di mana setiap elemen menjalankan fungsinya dengan baik.

John Rawls melalui teori justice as fairness-nya juga menekankan bahwa keadilan harus dipahami dalam posisi asali (original position) di mana setiap orang tidak mengetahui posisi sosialnya, sehingga prinsip-prinsip yang dipilih akan adil bagi semua.

Sementara itu, Pancasila mengajarkan keadilan sosial sebagai cita-cita bangsa yang harus diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan bernegara.

Dari perspektif manapun, keadilan bukan boleh absen saat krisis, melainkan harus menjadi jangkar yang mencegah negara tergelincir pada otoritarianisme. Bahkan dalam kondisi darurat sekalipun, prinsip salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) tidak boleh diartikan sebagai pembenaran untuk mengorbankan hak-hak dasar warga negara tanpa prosedur yang adil dan proporsional.

Paradoks utama yang dihadapi hakim dalam situasi darurat sosial terletak pada tekanan ganda yang sulit direkonsiliasi. Di satu sisi, ada desakan dari aparatur negara untuk memberikan putusan yang cepat dan memberikan efek jera, sesuai dengan logika law and order yang mengutamakan stabilitas.

Tekanan ini sering kali disertai dengan argumen bahwa situasi luar biasa memerlukan langkah-langkah luar biasa pula (exceptio facit legem). Di sisi lain, terdapat hak-hak dasar warga negara yang berisiko dikorbankan, mulai dari hak atas due process, presumption of innocence, hingga proporsionalitas hukuman.

Tanpa pedoman yang jelas, hakim dapat terjebak pada dua ekstrem yang sama-sama berbahaya: tunduk sepenuhnya pada logika darurat sehingga mengabaikan prinsip-prinsip hukum fundamental, atau sebaliknya, dianggap mengabaikan kepentingan stabilitas negara sehingga dinilai tidak responsif terhadap krisis.

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa ketiadaan pedoman ini dapat berujung pada erosi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, sebagaimana terjadi dalam berbagai kasus di negara-negara yang mengalami transisi demokrasi.

Perbandingan dengan praktik negara lain menunjukkan pentingnya keberadaan pedoman khusus untuk situasi darurat.

Amerika Serikat, melalui Emergency Court Administration guidelines yang dikembangkan pasca-9/11, memberikan kerangka kerja bagi pengadilan untuk tetap beroperasi dalam situasi krisis sambil mempertahankan due process.

Jerman memiliki konsep Wehrverfassung yang mengatur bagaimana sistem peradilan harus beroperasi dalam situasi darurat sambil tetap menjaga prinsip-prinsip negara hukum.

Bahkan Inggris, yang tidak memiliki konstitusi tertulis, mengembangkan Civil Contingencies Act 2004 yang memberikan panduan tentang bagaimana sistem hukum harus beroperasi dalam kondisi darurat.

Indonesia, dengan kompleksitas geografis dan sosio-politiknya, membutuhkan adaptasi prinsip-prinsip tersebut dalam konteks Pancasila dan sistem hukum nasional. Pengalaman masa lalu Indonesia dengan berbagai bentuk darurat, mulai dari darurat militer di Aceh, status keadaan bahaya di berbagai daerah, hingga darurat kesehatan masyarakat saat COVID-19, menunjukkan perlunya standardisasi pendekatan yudisial yang dapat menjamin konsistensi dan akuntabilitas.

Karena itulah pedoman mengadili dalam situasi darurat diperlukan bukan untuk membatasi independensi hakim, melainkan untuk menjaga agar setiap putusan tetap berpijak pada prinsip keadilan, bahkan ketika jalan negara penuh gejolak.

Menurut penulis, pedoman ini harus mencakup beberapa elemen kunci:

Pertama, kriteria objektif untuk mengidentifikasi situasi darurat, meliputi gangguan ketertiban umum yang meluas di berbagai lokasi, ancaman signifikan terhadap keselamatan publik, dan ketidakmampuan aparatur normal mengatasi situasi.

Kedua, prinsip proporsionalitas dalam menjatuhkan sanksi, di mana tingkat pembatasan hak harus sebanding dengan tingkat ancaman aktual, dengan prioritas rehabilitasi untuk pelaku anak di bawah umur dan pembedaan perlakuan antara provokator dan peserta pasif.

Ketiga, mekanisme pemeriksaan yang dipercepat namun tetap menghormati due process, termasuk batas waktu maksimal 1x24 jam untuk pemeriksaan pendahuluan, hak atas bantuan hukum sejak penangkapan, dan akses keluarga dalam batas wajar.

Keempat, standar pembuktian yang ketat untuk kasus-kasus terkait kerusuhan, dengan kewajiban verifikasi rekaman video/foto dan larangan penggunaan pengakuan di bawah tekanan.

Kelima, prosedur khusus untuk perlindungan kelompok rentan seperti diversi wajib untuk anak di bawah 18 tahun, asesmen kesehatan mental untuk terduga pelaku, dan proteksi khusus untuk jurnalis.

Keenam, mekanisme oversight dan review berkala setiap 30 hari dengan keterlibatan ombudsman dan Komnas HAM, termasuk sunset clause untuk pedoman darurat. Implementasi pedoman ini harus disertai dengan pelatihan khusus bagi para hakim dan aparatur peradilan, serta sistem monitoring yang melibatkan masyarakat sipil untuk menjaga akuntabilitas.

Pedoman mengadili dalam situasi darurat pada akhirnya bukan sekadar aturan prosedural, melainkan janji moral negara bahwa bahkan ketika jalanan penuh asap dan tangis, hukum tetap berpijak pada keadilan. Dengan pedoman itu, pengadilan dapat menjaga agar martabat manusia tidak dikorbankan atas nama stabilitas, dan cita keadilan bangsa tetap bersinar bahkan di tengah gelapnya krisis. (ldr)

Daftar bacaan

Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (Moscow: Roman Roads Media, 2013) John Rawls, A Theory of Justice, revised edition (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 11-15.

Administrative Office of the US Courts, "Emergency Guidelines for Court Operations," Federal Judicial Center

Christoph Möllers, "The Three Branches: A Comparative Model of Separation of Powers" (Oxford: Oxford University Press, 2013), 187-210.

Baca Juga: Potensi Konflik Internasional dan Pengaruhnya terhadap Proses Penegakan Hukum di Indonesia

https://www.legislation.gov.uk/ukpga/2004/36/contents.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI