Bagaimana seorang hakim muda yang datang dengan idealisme tinggi, yang pernah memandang toga sebagai komitmen moral, akhirnya terjerat korupsi? Pertanyaan ini kerap dijawab dengan menuding karakter pribadi. Namun jawaban semacam itu terlalu sederhana untuk menjelaskan transformasi yang berlangsung diam-diam, perlahan, dan sering kali tanpa disadari oleh pelakunya sendiri.
Psikologi situasional yang dikembangkan Philip Zimbardo menawarkan penjelasan yang lebih kaya dan lebih tenang. Melalui Stanford Prison Experiment, Zimbardo menunjukkan bahwa perilaku ekstrem dapat muncul dari manusia biasa ketika situasi mendorongnya ke arah tertentu. Inilah inti dari Lucifer Effect, kejatuhan moral tidak selalu lahir dari niat jahat, tetapi dari situasi yang salah desain situasi yang menggerus kompas moral seseorang selangkah demi selangkah. (P. Zimbardo, 2007).
I. Ketika Situasi Lebih Kuat daripada Karakter
Baca Juga: Paralax Dalam Hukum: Sumbangsih Pemikiran Lacan, Baudrillard, Zimbardo, dan Becker Untuk para Jurist
Pada penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa yang ditempat sebagai penjaga penjara, Zimbardo menemukan tiga kondisi yang mengubah mahasiswa biasa menjadi pelaku kekejaman (Zimbardo & Haney, 1973):
(1) pemberian otoritas besar,
(2) anonimitas peran, dan
(3) minim pengawasan.
Ketika kondisi ini hadir bersamaan, individu cenderung menyesuaikan diri dengan konteks, bukan dengan nilai moralnya sendiri. Mereka tidak bermaksud menjadi jahat; mereka hanya mengikuti ritme situasi.
Jika kita mencermati dunia kehakiman, ketiga kondisi ini hadir secara nyata. Hakim muda memulai kariernya sebagai individu, tetapi begitu mengenakan toga, ia masuk ke dalam struktur peran yang memiliki logika psikologis tersendiri.
Toga memberi jarak simbolik. Ruang sidang memberikan anonimitas moral yang membuat tindakan terlihat sebagai “bagian dari jabatan”, bukan pilihan personal. Sementara pengawasan internal cenderung administratif, bukan etis Dalam kerangka ini, integritas bukan benteng kokoh, tetapi wilayah yang rapuh bila tidak ditopang situasi yang sehat.
II. Normalisasi Deviasi: Kejatuhan yang Dimulai dari Kompromi Kecil
Korupsi hakim tidak pernah dimulai dari transaksi besar. Kejatuhan moral hampir selalu dimulai dari deviasi kecil yang terasa wajar.
Seorang hakim muda yang idealis memberi ilustrasi nyata. Ia memasuki dunia peradilan dengan keyakinan bahwa sumpah jabatan adalah pagar etik yang tidak boleh disentuh. Namun dalam beberapa bulan pertama bertugas, ia bertemu kenyataan yang berbeda, interaksi informal dengan pihak berperkara dianggap lumrah, hadiah kecil dianggap tidak bermasalah, dan praktik senior yang ambigu seolah menjadi “protokol tak tertulis”.
Awalnya ia menolak. Namun penolakan itu tidak mendapat dukungan lingkungan. Ia diperingatkan bahwa sikap terlalu bersih dianggap “mengganggu ritme kantor” atau menyinggung sensitivitas senior. Dalam situasi seperti ini, integritas justru menjadi sumber tekanan. Idealismenya tidak mendapat ruang sosial untuk tumbuh.
Ketika ia akhirnya menerima satu jamuan kecil atau hadiah yang dianggap “tidak memengaruhi putusan”, ia tidak merasa sedang menyimpang. Ia merasa menyesuaikan diri. Inilah fase awal moral disengagement yang dijelaskan Albert Bandura, manusia dapat menanggalkan standar moralnya ketika tindakannya diberi justifikasi situasional. (A. Bandura, 2002)
Begitu deviasi kecil itu tidak ditegur dan dianggap normal oleh lingkungan, ia berubah menjadi pola. Hakim muda itu tidak merasa berubah; tetapi sebenarnya situasi sedang membentuk ulang moralitasnya.
III. Ketika Peran Mengalahkan Pribadi
Erving Goffman pernah menunjukkan bahwa manusia dapat “terserap” dalam peran sosial sampai batas nilai pribadinya menjadi kabur. (E. Goffman, 1959) Fenomena ini sangat relevan bagi dunia kehakiman. Peran “hakim” dilapisi ritual formal, penghormatan publik yang semu, dan jarak sosial yang cukup besar sebagai bagian dari simbol otoritas.
Ketika identitas peran menjadi dominan, individu mulai mengukur tindakannya berdasarkan apa yang dianggap “normal” oleh lingkungan peran itu bukan berdasarkan nilai pribadinya.
Hakim muda tadi kemudian berhenti mengukur dirinya dengan kompas moral personal. Ia mengukur dirinya lewat standar situasional: bagaimana senior bertindak, bagaimana kultur kantor berjalan, bagaimana sistem memberi sinyal informal mengenai apa yang dianggap “aman”.
Dalam fase ini, deviasi tidak terasa sebagai deviasi. Ia menjadi bagian dari “cara kerja institusi”. Inilah titik ketika konteks menang atas karakter titik kritis dalam Lucifer Effect.
IV. Risiko Struktural yang Tak Terlihat dalam Lembaga Yudisial
Risiko situasional semakin kuat ketika bertemu dengan struktur kelembagaan yang tidak sepenuhnya adaptif terhadap kebutuhan etis profesi hakim. Beban perkara yang tidak realistis, kultur hierarkis yang kaku, serta absennya ruang percakapan etis membuat hakim bekerja dalam isolasi moral. Pengawasan internal lebih fokus pada aspek administratif daripada membangun moral community yang sehat. Dalam banyak pengadilan, ruang diskusi etis tidak berkembang karena kultur organisasi enggan berbicara tentang integritas secara terbuka.
Struktur seperti ini memperkuat logika Lucifer Effect: hakim tidak jatuh karena karakter buruk, tetapi karena sistem secara halus mendorong mereka memilih adaptasi, bukan keteguhan moral.
V. Korupsi sebagai Produk Situasi, Bukan Produk Individu
Jika korupsi hakim dipahami sebagai cacat karakter, solusi yang muncul hanya dua: mengganti orang dan menghukum pelaku. Namun penjelasan situasional membuka perspektif berbeda: korupsi adalah produk interaksi antara individu dan situasi sosial-institusional.
Manusia tidak dilahirkan sebagai pelaku kejahatan. Mereka dibentuk oleh situasi yang secara perlahan mengubah batas moralnya. Zimbardo mengingatkan bahwa siapa pun dapat berubah bila ditempatkan dalam konteks yang salah. Integritas tidak runtuh karena satu keputusan besar, tetapi karena ratusan kompromi kecil yang dinormalisasi lingkungan.
Pada titik ini, korupsi bukan lagi dipahami sebagai cerita tentang malaikat yang jatuh menjadi iblis, tetapi sebagai cerita tentang manusia biasa yang kalah oleh situasi.
Penutup: Menjaga Manusia dengan Memperbaiki Situasi
Pertanyaan terpenting bukan lagi “mengapa hakim menjadi korup?”, tetapi “situasi apa yang membuat kejatuhan itu mungkin?” Jika situasi yang buruk dapat menggerus moral, maka memperbaiki situasi adalah tindakan etis paling mendesak: menata beban kerja, memperkuat budaya etis, membuka ruang percakapan internal, meminimalkan anonimitas moral, dan membangun pengawasan yang berfungsi sebagai cermin, bukan sebagai ancaman.
Integritas bukan benteng pribadi; ia adalah produk interaksi antara nilai individu dan situasi sosial yang menopangnya.
Ketika seorang hakim jatuh dalam korupsi, ia tidak selalu jatuh karena niat jahat, lebih sering ia terseret oleh situasi yang perlahan mengubah dirinya tanpa ia sadari. (ldr)
Daftar Bacaan
P. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil, Random House, 2007.
Zimbardo & Haney, “Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of Criminology and Penology, 1973.
A. Bandura, “Selective Moral Disengagement in the Exercise of Moral Agency,” Journal of Moral Education, 2002.
E. Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, Anchor Books, 1959.
Jennifer Hunt, “Moral Disengagement and Organizational Deviance,” Human Relations, 2018.
Baca Juga: Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI