Cari Berita

Judicial Immunity: Pilar Penting dalam Memperkuat Independensi Kekuasaan Kehakiman

Gerry Geovant Supranata Kaban - Dandapala Contributor 2025-11-28 06:05:49
Dok. Ist.

Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prinsip fundamental bagi tegaknya negara hukum yang menjamin hak warga negara atas peradilan yang mandiri dan tidak memihak (imparsial). Prinsip ini mensyaratkan kemandirian fungsional hakim dan aparatur peradilan lainnya agar bebas dari intervensi cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun tekanan litigasi dari siapa pun dan dalam bentuk apapun.

Kemandirian ini tidak dapat berdiri tegak tanpa adanya prinsip perlindungan secara kelembagaan dan profesi yang dikenal dengan Imunitas Yudisial (Judicial Immunity). Dalam Black’s Law Dictionary, Judicial Immunity diartikan sebagai: “The immunity of a judge from civil liability arising from the performance of judicial duties” yang dalam terjemahan bebas diartikan sebagai kekebalan hakim dari tanggung jawab secara perdata yang timbul akibat pelaksanaan tugas peradilan.

Secara garis besar, imunitas yudisial merupakan kekebalan hukum yang tidak hanya melindungi hakim, tetapi juga aparatur peradilan lainnya dari gugatan perdata atau tuntutan pidana yang timbul sehubungan dengan tindakan yang mereka lakukan dalam kapasitas resmi yudisial mereka.

Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945

Dalam konteks judicial immunity di Indonesia, landasan hukum yang mengaturnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 9 Tahun 1976 tentang Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim (SEMA 9/1976). Beleidsregel ini diterbitkan sebagai respons atas maraknya gugatan secara perdata yang diarahkan kepada lembaga peradilan dan para hakim terutama dalam hal pelaksanaan tugas yudisialnya, sehingga dibuatlah suatu panduan kebijakan yang resmi untuk menyikapi dan mengatasi situasi tersebut demi menjaga kebebasan dan independensi badan peradilan.

Tidak berhenti pada gugatan secara perdata terhadap pengadilan dan hakim, aparatur peradilan lainnya seperti panitera, juru sita, dan juru sita pengganti pun kerap kali dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan alasan telah melakukan perbuatan pidana karena masyarakat pencari keadilan merasa tidak menerima kenyataan atas pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh aparatur peradilan tersebut, seperti tugas aparatur peradilan dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi).

Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Agung merespons dengan kembali menerbitkan SEMA, yakni SEMA Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang Melaksanakan Tugas Yustisial Tidak Dapat Diperiksa, Baik sebagai Saksi atau Tersangka kecuali yang Ditentukan oleh Undang-Undang (SEMA 4/2002). Beleidsregel ini pada pokoknya memberikan petunjuk bahwa aparatur peradilan tidak perlu memenuhi panggilan aparat penegak hukum lain apabila menyangkut suatu perkara yang sudah diputus maupun yang masih dalam proses pemeriksaan pengadilan. Sebaliknya, aparatur peradilan dapat memenuhi panggilan atau undangan tersebut apabila diminta untuk membahas rancangan peraturan perundang-undangan atau memberikan pertimbangan hukum sebagai sumbangan pemikiran.

Selain dalam bentuk SEMA, terdapat pula Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 41 K/Pdt/1990 mengenai judicial immunity yang memberikan kaidah hukum bahwa aparat peradilan yang bertindak melaksanakan tugas-tugas teknis peradilan atau kekuasaan kehakiman tidak dapat diperkarakan secara perdata. Apabila terdapat tindakan aparat peradilan yang melanggar kewenangan atau melampaui batas yang diberikan oleh hukum, maka dapat diajukan kepada instansi peradilan yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung) untuk diadakan tindakan pengawasan. Lebih lanjut ditegaskan bahwa atas tindakan penyelenggaraan peradilan yang mengandung cacat hukum dapat diajukan gugatan perdata untuk pembatalan, dengan menarik pihak yang mendapatkan hak dari tindakan tersebut sebagai tergugat, dan bukan menarik aparatur peradilan (hakim, panitera, atau juru sita) yang bersangkutan.

Dapat diamati bahwa petunjuk maupun kaidah hukum yang diberikan oleh SEMA dan Yurisprudensi tersebut bertujuan untuk melindungi para aparatur peradilan (terutama hakim, panitera, dan juru sita dalam konteks tugas yudisial mereka) dari upaya intervensi atau tekanan dari pihak luar, termasuk lembaga penegak hukum lain, yang dapat mengganggu proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan tugas-tugas yudisial mereka. Perlindungan ini penting untuk menghindari adanya kriminalisasi atas pelaksanaan fungsi peradilan dan agar aparatur peradilan dapat melaksanakan tugasnya secara independen tanpa adanya rasa takut.

Salah satu contoh konkret yang dapat ditemui dalam praktik peradilan adalah Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 658/Pdt.G/2022/PN Sby yaitu gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh 4 (empat) orang penggugat terhadap Pengadilan Negeri Surabaya sebagai Tergugat dan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu dari Turut Tergugat.

Para Penggugat mengajukan gugatan a quo karena keberatan dan merasa dirugikan atas tindakan Tergugat (PN Surabaya) yang mengeluarkan Penetapan dalam Perkara Perdata Permohonan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby pada tanggal 26 April 2022 yang isinya memberikan izin perkawinan beda agama, yang mana menurut Para Penggugat, hal tersebut sejatinya bertentangan dengan hukum agama dan hukum negara, terlepas dari Mahkamah Agung yang kemudian pada tanggal 17 Juli 2023 mengeluarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan yang pada pokoknya memberikan pedoman bahwa pengadilan tidak diperkenankan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan karena hal demikian bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo menyatakan bahwa Para Penggugat tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan terhadap Tergugat karena Pengadilan atau Hakim tidak dapat digugat dengan dasar telah salah dalam melaksanakan tugas dan fungsi yudisialnya, terutama tugasnya dalam mengadili perkara, sehingga gugatan Para Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Putusan ini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) karena Para Penggugat tidak mengajukan upaya hukum sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam hukum acara.

Hal penting yang perlu dicatat adalah judicial immunity tidaklah bersifat absolut karena ia harus diseimbangkan dengan prinsip akuntabilitas dan integritas aparaturnya. Hakim dan aparatur peradilan lainnya tidaklah kebal hukum sepenuhnya, imunitas tersebut hanya melindungi mereka dari gugatan perdata atas tindakan yudisial yang dilakukan dengan iktikad baik dalam menjalankan fungsi pengadilan.

Jika seorang hakim atau aparatur peradilan lainnya diduga melakukan tindak pidana seperti korupsi, suap, penipuan, atau pelanggaran hukum pidana lainnya, maka imunitas yudisialnya menjadi gugur dan sirna, karena tujuan utama dari imunitas yudisial adalah memastikan independensi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman serta penyelenggaraan tugas dan fungsi yudisial, bukan untuk memberikan impunitas (kekebalan hukum) atas kejahatan maupun memberikan perlindungan terhadap individu yang menggunakan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi atau melawan hukum.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa imunitas yudisial (judicial immunity) merupakan pilar yang tak terpisahkan dari prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang menjamin bahwa hakim dan aparatur peradilan dapat menjalankan tugas dan fungsi yudisial mereka secara merdeka dan imparsial, tanpa rasa takut akan tuntutan hukum yang tidak berdasar, selama ia benar-benar menjalankannya dengan profesional dan berintegritas.

Baca Juga: Imparsial Sejak Dalam Pikiran

Penulis: Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Negeri Wamena)

Referensi

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. SEMA Nomor 9 Tahun 1976 tentang Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim.
  3. SEMA Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang Melaksanakan Tugas Yustisial Tidak Dapat Diperiksa, Baik sebagai Saksi atau Tersangka kecuali yang Ditentukan oleh Undang-Undang.
  4. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 41 K/Pdt/1990.
  5. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 658/Pdt.G/2022/PN Sby.
  6. Bryan A. Garner. Black's Law Dictionary: Ninth Edition. St. Paul: Thomson Reuters, 2009.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…