Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prinsip fundamental bagi
tegaknya negara hukum yang menjamin hak warga negara atas peradilan yang
mandiri dan tidak memihak (imparsial). Prinsip ini mensyaratkan kemandirian
fungsional hakim dan aparatur peradilan lainnya agar bebas dari intervensi
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun tekanan litigasi dari siapa pun
dan dalam bentuk apapun.
Kemandirian ini tidak dapat berdiri tegak tanpa adanya prinsip
perlindungan secara kelembagaan dan profesi yang dikenal dengan Imunitas
Yudisial (Judicial Immunity). Dalam Black’s Law Dictionary, Judicial
Immunity diartikan sebagai: “The immunity of a judge from civil
liability arising from the performance of judicial duties” yang dalam
terjemahan bebas diartikan sebagai kekebalan hakim dari tanggung jawab secara
perdata yang timbul akibat pelaksanaan tugas peradilan.
Secara garis besar, imunitas yudisial merupakan kekebalan hukum yang tidak
hanya melindungi hakim, tetapi juga aparatur peradilan lainnya dari gugatan
perdata atau tuntutan pidana yang timbul sehubungan dengan tindakan yang mereka
lakukan dalam kapasitas resmi yudisial mereka.
Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945
Dalam konteks judicial immunity di Indonesia, landasan hukum yang
mengaturnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 9 Tahun 1976
tentang Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim (SEMA 9/1976). Beleidsregel ini
diterbitkan sebagai respons atas maraknya gugatan secara perdata yang diarahkan
kepada lembaga peradilan dan para hakim terutama dalam hal pelaksanaan tugas
yudisialnya, sehingga dibuatlah suatu panduan kebijakan yang resmi untuk
menyikapi dan mengatasi situasi tersebut demi menjaga kebebasan dan
independensi badan peradilan.
Tidak berhenti pada gugatan secara perdata terhadap pengadilan dan hakim,
aparatur peradilan lainnya seperti panitera, juru sita, dan juru sita pengganti
pun kerap kali dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan alasan telah melakukan
perbuatan pidana karena masyarakat pencari keadilan merasa tidak menerima
kenyataan atas pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh aparatur peradilan tersebut,
seperti tugas aparatur peradilan dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan
(eksekusi).
Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Agung merespons dengan kembali
menerbitkan SEMA, yakni SEMA Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang
Melaksanakan Tugas Yustisial Tidak Dapat Diperiksa, Baik sebagai Saksi atau
Tersangka kecuali yang Ditentukan oleh Undang-Undang (SEMA 4/2002). Beleidsregel
ini pada pokoknya memberikan petunjuk bahwa aparatur peradilan tidak perlu
memenuhi panggilan aparat penegak hukum lain apabila menyangkut suatu perkara
yang sudah diputus maupun yang masih dalam proses pemeriksaan pengadilan. Sebaliknya,
aparatur peradilan dapat memenuhi panggilan atau undangan tersebut apabila
diminta untuk membahas rancangan peraturan perundang-undangan atau memberikan
pertimbangan hukum sebagai sumbangan pemikiran.
Selain dalam bentuk SEMA, terdapat pula Yurisprudensi Putusan Mahkamah
Agung Nomor 41 K/Pdt/1990 mengenai judicial immunity yang memberikan
kaidah hukum bahwa aparat peradilan yang bertindak melaksanakan tugas-tugas
teknis peradilan atau kekuasaan kehakiman tidak dapat diperkarakan secara
perdata. Apabila terdapat tindakan aparat peradilan yang melanggar kewenangan
atau melampaui batas yang diberikan oleh hukum, maka dapat diajukan kepada
instansi peradilan yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung)
untuk diadakan tindakan pengawasan. Lebih lanjut ditegaskan bahwa atas tindakan
penyelenggaraan peradilan yang mengandung cacat hukum dapat diajukan gugatan
perdata untuk pembatalan, dengan menarik pihak yang mendapatkan hak dari
tindakan tersebut sebagai tergugat, dan bukan menarik aparatur peradilan (hakim,
panitera, atau juru sita) yang bersangkutan.
Dapat diamati bahwa petunjuk maupun kaidah hukum yang diberikan oleh SEMA
dan Yurisprudensi tersebut bertujuan untuk melindungi para aparatur peradilan
(terutama hakim, panitera, dan juru sita dalam konteks tugas yudisial mereka)
dari upaya intervensi atau tekanan dari pihak luar, termasuk lembaga penegak
hukum lain, yang dapat mengganggu proses pengambilan keputusan maupun
pelaksanaan tugas-tugas yudisial mereka. Perlindungan ini penting untuk
menghindari adanya kriminalisasi atas pelaksanaan fungsi peradilan dan agar
aparatur peradilan dapat melaksanakan tugasnya secara independen tanpa adanya
rasa takut.
Salah satu contoh konkret yang dapat ditemui dalam praktik peradilan
adalah Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 658/Pdt.G/2022/PN Sby yaitu
gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh 4 (empat) orang
penggugat terhadap Pengadilan Negeri Surabaya sebagai Tergugat dan Mahkamah
Agung Republik Indonesia sebagai salah satu dari Turut Tergugat.
Para Penggugat mengajukan gugatan a quo karena keberatan dan
merasa dirugikan atas tindakan Tergugat (PN Surabaya) yang mengeluarkan
Penetapan dalam Perkara Perdata Permohonan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby pada
tanggal 26 April 2022 yang isinya memberikan izin perkawinan beda agama, yang
mana menurut Para Penggugat, hal tersebut sejatinya bertentangan dengan hukum
agama dan hukum negara, terlepas dari Mahkamah Agung yang kemudian pada tanggal
17 Juli 2023 mengeluarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim
dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang
Berbeda Agama dan Kepercayaan yang pada pokoknya memberikan pedoman bahwa
pengadilan tidak diperkenankan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan
antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan karena hal demikian bertentangan
dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo menyatakan bahwa Para
Penggugat tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan
terhadap Tergugat karena Pengadilan atau Hakim tidak dapat digugat dengan dasar
telah salah dalam melaksanakan tugas dan fungsi yudisialnya, terutama tugasnya
dalam mengadili perkara, sehingga gugatan Para Penggugat dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke verklaard). Putusan ini telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) karena Para Penggugat tidak
mengajukan upaya hukum sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam hukum
acara.
Hal penting yang perlu dicatat adalah judicial immunity tidaklah
bersifat absolut karena ia harus diseimbangkan dengan prinsip akuntabilitas dan
integritas aparaturnya. Hakim dan aparatur peradilan lainnya tidaklah kebal
hukum sepenuhnya, imunitas tersebut hanya melindungi mereka dari gugatan
perdata atas tindakan yudisial yang dilakukan dengan iktikad baik dalam
menjalankan fungsi pengadilan.
Jika seorang hakim atau aparatur peradilan lainnya diduga melakukan
tindak pidana seperti korupsi, suap, penipuan, atau pelanggaran hukum pidana
lainnya, maka imunitas yudisialnya menjadi gugur dan sirna, karena tujuan utama
dari imunitas yudisial adalah memastikan independensi penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman serta penyelenggaraan tugas dan fungsi yudisial, bukan untuk
memberikan impunitas (kekebalan hukum) atas kejahatan maupun memberikan perlindungan
terhadap individu yang menggunakan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi
atau melawan hukum.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa imunitas yudisial (judicial
immunity) merupakan pilar yang tak terpisahkan dari prinsip independensi
kekuasaan kehakiman yang menjamin bahwa hakim dan aparatur peradilan dapat
menjalankan tugas dan fungsi yudisial mereka secara merdeka dan imparsial,
tanpa rasa takut akan tuntutan hukum yang tidak berdasar, selama ia benar-benar
menjalankannya dengan profesional dan berintegritas.
Baca Juga: Imparsial Sejak Dalam Pikiran
Penulis: Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H., M.H. (Hakim
Pengadilan Negeri Wamena)
Referensi
- Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- SEMA
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim.
- SEMA
Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang Melaksanakan Tugas Yustisial
Tidak Dapat Diperiksa, Baik sebagai Saksi atau Tersangka kecuali yang
Ditentukan oleh Undang-Undang.
- Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 41 K/Pdt/1990.
- Putusan
Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 658/Pdt.G/2022/PN Sby.
- Bryan A. Garner. Black's Law Dictionary: Ninth Edition. St. Paul: Thomson Reuters, 2009.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI