Cari Berita

Menggali Makna Praperadilan Terhadap Penyitaan

Reindra Jasper H. Sinaga-Hakim PN Tanjung Balai Karimun - Dandapala Contributor 2025-11-07 11:45:18
Dok. Penulis.

Praperadilan selalu menjadi obyek yang menarik untuk didiskusikan. Selain karena praperadilan adalah bentuk intervensi pengadilan terhadap proses penyidikan yang tertutup, hukum acara yang mengatur praperadilan hingga hari ini masih diatur secara sumir. Hal tersebut menyisakan perdebatan antar praktisi hukum terkait hukum acara praperadilan.

Salah satu perdebatan klasik yang masih relevan adalah apakah penyitaan merupakan obyek dari praperadilan. Terdapat 2 (dua) pendapat yang bertolak belakang.

Pendapat pertama menyatakan bahwa penyitaan merupakan obyek praperadilan, terutama didukung pula pasca Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas  obyek praperadilan.

Baca Juga: Tertutupnya Pintu Upaya Hukum Putusan Praperadilan: Suatu Tinjauan Filosofi

Pendapat kedua yang menolak dengan alasan bahwa izin atau persetujuan penyitaan dari Ketua Pengadilan tidak dapat diuji apalagi dibatalkan lagi oleh hakim praperadilan.

Penulis sendiri berpendapat bahwa penyitaan adalah benar obyek praperadilan, namun terdapat limitasi terhadap pengujian terhadap penyitaan itu sendiri. Bahwa penyitaan terhadap praperadilan malah tidak boleh menguji formalitas dari penyitaan itu sendiri, namun menguji aspek material dari penyitaan itu sendiri. Adapun argumen penulis ini disusun berdasarkan beberapa aspek yang akan dijabarkan satu persatu sebagaimana dibawah ini.

Membaca ulang ketentuan praperadilan dalam KUHAP

Praperadilan diperkenalkan pertama kali dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai sebuah bentuk pengawasan terhadap jalannya proses pidana. Dalam salah satu Risalah pembentukan RUU Hukum Acara Pidana tertanggal 10 Desember 1979, disetujui dapat dilihat bahwa praperadilan adalah semacam pretrial atau habeas corpus. Lebih lanjut konsep habeas corpus yang berasal dari hukum pidana Amerika ternyata tidak diterima penuh dalam konsep praperadilan saat ini.

Obyek praperadilan yang saat ini kita kenal dapat diliat dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP yakni:

a.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b.   ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dari rumusan Pasal tersebut, tidak terdapat penyitaan sama sekali. Sebaliknya penyitaan muncul dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP yakni:

dalam memeriksa  dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;

lebih lanjut dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP penyitaan ini muncul lagi yakni:

dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

Hal ini menimbulkan kerancuan, jika penyitaan memang obyek praperadilan mengapa pengaturannya malah dalam pasal mengenai putusan praperadilan.

Kerancuan tersebut telah diperbaiki dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung melalui Perma no. 4 Tahun 2016 Tentang Larangan PK Putusan Praperadilan, dimana terhadap obyek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP ditambahkan Penyitaan, Penggeledahan dan Penetapan Tersangka. Hal tersebut, sayangnya belum sepenuhnya menyelesaikan masalah sejauh mana penyitaan dapat diadili sebagai obyek praperadilan, apakah hanya sejauh Pasal 82 KUHAP yang mengatur ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian atau termasuk kesalahan prosedur.

selanjutnya adalah bagaimana dengan izin atau penetapan ketua pengadilan yang merupakan prosedur dari penyitaan. Apakah hakim praperadilan dapat membatalkan penetapan tersebut?

Izin Ketua Pengadilan sebagai bentuk Judicial Scrutiny

Dalam tulisan-tulisan mengenai pembentukan RKUHAP akhir-akhir ini, istilah Judical Scrutiny kemudian menjadi istilah yang populer saat membahas mengenai upaya paksa. Secara bebas Judical Scrutiny dapat dimaknai sebagai pengawasan pengadilan terhadap upaya paksa. Pengawasan ini dapat berbentuk pre factum (sebelum pelaksanaan) dan post factum (setelah pelaksanaan).

Penyitaan dalam Pasal 38 KUHAP mengatur bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan dengan surat izin ketua pengadilan, kecuali dalam keadaan mendesak dan hanya atas benda bergerak. Menurut pendapat penulis, izin ketua pengadilan sebelum dilakukan penyitaan adalah bentuk Judicial Scrutiny yang berbentuk Pre-factum.

Sayangnya mekanisme ini, menimbulkan kritik. Pengecualian terhadap izin tersebut, yakni persetujuan penyitaan memberikan ruang kepada penyidik sehingga lebih banyak mengajukan persetujuan penyitaan, sehingga dalam praktik prosedur ini lebih banyak bersifat post-factum.

Bila dianalisa lebih lanjut maka baik praperadilan maupun izin atau persetujuan ketua pengadilan, masing-masing adalah merupakan bentuk Judicial Scrutiny yang dikenal dalam KUHAP. Terlepas dari berbagai problematika dalam praktik, tidak dikenal adanya dua bentuk Judicial Scrutiny terhadap satu bentuk upaya paksa.

Sehingga penulis berkesimpulan bahwa terhadap prosedur penyitaan yang telah mendapat izin atau persetujuan ketua pengadilan tidak dapat diuji lagi dengan praperadilan. Karena diluar efektifitasnya, izin atau persetujuan ketua pengadilan seyogianya adalah pengujian terhadap prosedur penyitaan.

Mengenai hal ini, Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP menyatakan bahwa hanya penyimpangan terhadap izin atau persetujuan Ketua Pengadilan negeri saja yang dapat diajukan praperadilan dengan acuan sebagai berikut:

  1. Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan KPN mutlak menjadi yurisdiksi praperadilan untuk memeriksa keabsahannya;
  2. Dalam hal, penggeledahan atau penyitaan diajukan ke forum praperadilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni:

·       Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau surat persetujuan yang dikeluarkan KPN tentang hal itu,

·       Yang dapat dinilai oleh praperadilan, terbatas pada masalah pelaksanaan surat izin atau persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksaan sesuai atau melampaui surat izin atau tidak

Dalam hemat penulis pemeriksaan praperadilan terhadap penyitaan seharusnya bersifatnya materiil, bukan prosedur penyitaan lagi. Selain yang disebutkan dalam pendapat Yahya Harahap tersebut maka juga termasuk juga apakah benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian. Sehingga praperadilan terhadap penyitaan, berbeda dengan pemeriksaan obyek praperadilan lainnya seperti misalnya penetapan tersangka yang memeriksa formalitas dua alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka.

Penutup

Sampai saat ini, mekanisme judicial scrutiny dalam KUHAP masih dianggap lemah, baik izin/persetujuan ketua pengadilan maupun praperadilan. Peran pengadilan sebagai check and balance dari penyidik dan penuntut umum masih belum mumpuni untuk mengurangi pelanggaran hak yang dapat terjadi dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara pidana.

Diluar kritik tersebut, sebenarnya KUHAP telah mengatur mengenai mekanisme judicial scrutiny dalam perkara pidana terhadap penyitaan. Mekanisme judicial scrutiny dalam penyitaan dapat dianggap lengkap karena terdapat mekanisme pre-factum dan post-factum. Akan tetapi, perlu dipertegas lagi batas-batas praperadilan terhadap penyitaan bukan memeriksa formalitas namun malah memeriksa aspek material terhadap penyitaan suatu barang.

Baca Juga: Relevansi SEMA 5/2021 terkait Praperadilan dan Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP

Sebagai saran, terhadap izin/persetujuan ketua pengadilan atas penyitaan tersebut perlu untuk dipertajam, sehingga Ketua Pengadilan tidak sekedar pemberi stempel prosedur penyitaan semata. Dengan demikian praperadilan terhadap penyitaan dapat fokus memeriksa aspek material penyitaan yaitu pelaksaan izin tersebut atau benda yang disita termasuk alat pembuktian atau tidak. (ypy/ldr)

Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…