Cari Berita

Surat Kuasa Khusus, Dapatkah Menjadi Objek Pemeriksaan Pendahuluan dalam Perkara GS?

article | Opini | 2025-06-20 16:25:00

Subyek hukum dalam mengajukan perkara Gugatan Sederhana terutama Penggugat yaitu masyarakat maupun Badan Hukum dapat menunjuk Advokat sebagai Kuasanya, begitu juga dengan Pemerintah/Negara dapat menunjuk Jaksa Pengacara Negara sebagai Kuasanya melalui Surat Kuasa Khusus. Oleh karena itu, maka tentunya mengenai subyek hukum yang berkaitan dengan kedudukan para pihak (legal standing) dan domisili para pihak dalam penyelesaian perkara Gugatan Sederhana penting untuk dipertimbangkan apakah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perma Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, sebagaimana dalam Pasal 4 Perma tersebut menyebutkan: (1) Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama; (2) Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana; (3) Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama; (3a) Dalam hal  penggugat berada  di  luar   wilayah hukum tempat tinggal  atau     domisili  tergugat, penggugat dalam mengajukan  gugatan menunjuk  kuasa,  kuasa insidentil,   atau   wakil  yang  beralamat   di   wilayah hukum   atau  domisili tergugat  dengan  surat  tugas dari  institusi  penggugat; (4) Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap   persidangan   dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi penggugat; Lebih lanjut, dalam menangani perkara Gugatan Sederhana Hakim dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat 1 Perma Nomor 2 tahun 2015 yang telah diubah dengan Perma Nomor 4 Tahun 2019, sehingga hal tersebut maka untuk menilai kedudukan pihak Advokat maupun  Jaksa Pengacara Negara yang mewakili Penggugat Prinsipal berdasarkan Surat Kuasa Khusus penting dipertimbangkan terlebih dahulu sehubungan dengan kewenangan Hakim untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan, karena bisa saja Surat Kuasa Khusus yang dibuat tersebut tidak memenuhi persyaratan formil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1795 KUHPerdata Jo. Pasal 4 ayat (3a) Perma Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perma Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Penilaian tentang Surat Kuasa Khusus tersebut penting dilakukan karena secara formil harus mencantumkan secara jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu dengan subjek dan objek yang tertentu pula, sehingga bila salah satu syarat tidak dipenuhi mengakibatkan kuasa tidak sah atau dinyatakan cacat formil. Surat Kuasa Khusus yang dibuat dalam pengajuan Gugatan Sederhana mengenai subjek termasuk alamat/domisili pemberi dan penerima kuasa sebagai Penggugat serta alamat/domisili Tergugat dan juga objeknya harus dipertimbangkan dengan seksama karena dalam perkara Gugatan Sederhana terutama mengenai objeknya hanya khusus untuk mewakili kepentingan Pemberi Kuasa dalam rangka mengajukan Gugatan Sederhana dan mendampingi Pemberi Kuasa dipersidangan, karena untuk Penggugat Prinsipal selaku Pemberi Kuasa wajib hadir ketika persidangan (vide: pasal 4 ayat (4) Perma Nomor 4 Tahun 2019) artinya keberadaan Advokat/Pengacara maupun Jaksa Pengacara Negara dalam persidangan Gugatan Sederhana ini seperti Penasihat Hukum dalam perkara pidana karena setelah mengajukan Gugatan Sederhana ia hanya bisa mendampingi Pemberi Kuasa dan bukan mewakili Pemberi Kuasa dipersidangan. Berkaitan dengan persoalan diatas,  Penulis berpendapat terhadap kewenangan Hakim dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan pada perkara Gugatan Sederhana kaitannya dengan kedudukan para pihak/legal standing dan domisili para pihak, maka penilaian terhadap Surat Kuasa Khusus memenuhi syarat formil atau tidak dengan mengacu pada Pasal 11 ayat 1 Perma Nomor 2 tahun 2015 Jo. Pasal 4 ayat (3), (3a) dan (4) Perma Nomor 4 Tahun 2019, dapat menjadi objek penilaian Hakim dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan karena apabila Penggugat Prinsipal menunjuk Kuasanya melalui Surat Kuasa Khusus maka hal tersebut merupakan pintu masuk bagi Penggugat untuk  beracara, selain itu dalam perkara Gugatan Sederhana tidak diperbolehkan adanya Jawaban dari pihak Tergugat terkait eksepsi,  dimana kita ketahui bersama eksepsi tersebut berkaitan dengan tanggapan Tergugat terhadap Gugatan Penggugat yang menyangkut formalitas Gugatan salah satunya mengenai penilaian formalitas terhadap Surat Kuasa Khusus Penggugat, sehingga berdasarkan keadaan tersebut maka Penulis berpendapat untuk melakukan penilaian formalitas terhadap Surat Kuasa Khusus Penggugat cukup dinilai oleh Hakim ketika melakukan pemeriksaan pendahuluan dalam perkara Gugatan Sederhana ini. Surat Kuasa Khusus yang tidak memenuhi formalitas, maka tidak perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara sehingga apabila tidak terpenuhi maka Hakim dapat menyatakan Gugatan Penggugat bukan Gugatan Sederhana melalui Penetapan, lalu kapan Hakim dapat memeriksa formalitas Surat Kuasa Khusus tersebut kalau termasuk kedalam objek pemeriksaan pendahuluan?Menjawab pertanyaan tersebut maka berdasarkan Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Bidang Perdata Peradilan Umum, Edisi 2007, MA RI Tahun 2009, bagian (F) halaman 53 s/d 54, angka 2 menyebutkan “Kuasa/wakil harus memiliki surat kuasa khusus yang harus diserahkan di persidangan atau pada saat mengajukan gugatan/permohonan”, artinya Pemeriksaan/penilaian Surat Kuasa Khusus tersebut tidak mesti diperiksa saat persidangan dan dapat dilakukan oleh Hakim dengan melihat Surat Kuasa Khusus yang telah diunggah ke Sistem Informasi Pengadilan (e-Court) oleh Advokat maupun Jaksa Pengacara Negara ketika melakukan pendaftaran perkara, karena saat ini Mahkamah Agung mewajibkan bagi Penggugat untuk mendaftarkan perkaranya melalui Sistem Informasi Pengadilan (e-Court), untuk Advokat wajib memiliki Akun sebagai Pengguna Terdaftar yang telah lolos verifikasi oleh Pengadilan Tinggi setempat, dimana untuk bisa lolos verifikasi tersebut salah satu syaratnya yakni Advokat harus bisa menunjukkan Asli Berita Acara Sumpah Advokat dan begitu juga dengan Jaksa Pengacara Negara sebagai Pengguna Lain harus memiliki Akun yang telah lolos verifikasi oleh Pengadilan Tingkat Pertama, setelah Advokat maupun Jaksa Pengacara Negara lolos verifikasi dan berhasil memiliki Akun barulah dapat mewakili Pemberi Kuasa melakukan pendaftaran perkara Gugatan Sederhana yang dalam pendaftaran tersebut salah satu dokumen persyaratan yang wajib diunggah ke Sistem Informasi Pengadilan (e-Court) adalah Surat Kuasa Khusus tersebut.Mengenai tata cara pendaftaran perkara gugatan melalui Sistem Informasi Pengadilan (e-Court) tersebut selengkapnya dapat dibaca dalam Perma Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik Jo. SK KMA Nomor 363/KMA/SK/XII/2022, dimana aturan tersebut juga sejalan dengan ketentuan Pasal 6A Perma Nomor 4 Tahun 2019, oleh karena itu dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut maka Penulis berpendapat terkait penilaian formalitas Surat Kuasa Khusus tersebut tidak mesti dijatuhkan dalam Putusan Akhir, jadi penilaian Formil Gugatan Sederhana kaitannya dengan penilaian formalitas Surat Kuasa Khusus memenuhi persyaratan atau tidak cukup dinilai saat Pemeriksaan Pendahuluan oleh Hakim, sehingga “Penilaian Formil Surat Kuasa Khusus Menjadi Objek Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Gugatan Sederhana sangat memungkinkan untuk dapat dilakukan oleh Hakim” karena hal tersebut juga termasuk bagian dari penyederhanaan penyelesaian perkara Gugatan Sederhana yang memenuhi Asas Cepat, Sederhana dan Berbiaya Ringan. (ZM/LDR)

Perdamaian Gugatan Sederhana di PN Lamongan Hampir 50 Persen per Tahun

article | Berita | 2025-05-08 08:00:47

Lamongan- Pengadilan Negeri (PN) Lamongan, Jawa Timur, adalah salah satu Pengadilan kelas 1 B di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Surabaya, Jawa Timur. Waktu tempuh rata rata dari dari Kota Surabaya ke kota Lamongan rata rata satu jam. Keadaan perkara pidana satu tahun rata rata Pengadilan Negeri Lamongan memeriksa dan mengadili kira kira 350 perkara, sedangkan untuk perkara perdata kira-kira mengadili 40-50 perkara. Sedangkan untuk perkara gugatan sederhana bersifat fluktuatif artinya kadang sedikit yang masuk dan kadang masuk dalam jumlah yang signifikan secara bersamaan.Pengertian gugatan sederhana adalah mekanisme penyelesaian sengketa perdata dengan nilai gugatan  materiil paling banyak Rp. 500.000.000,-  (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana. Perkara yang dapat diselesaikan melalui gugatan sederhana meliputi cidera dan atau perbuatan melawan hukum. Yang membedakan antara gugatan sederhana dengan gugatan perkara perdata biasa antara lain adalah nilai maksimal yang diperbolehkan. Untuk perkara perdata biasa tidak ada batasan nilai sedangkan gugatan sederhana dibatasi nilai gugatan materiil paling banyak Rp.500.000.000,-.Selain itu yang membedakan antara gugatan sederhana dengan dengan gugatan perdata biasa adalah dalam gugatan sederhana tidak diatur mengenai kewajiban melaksanakan mediasi, sedangkan dalam perkara perdata biasa terdapat kewajiban untuk melaksanakan mediasi. Sebagaimana diatur dalam Perma No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan dan Perma No.3 Tahun 2022 tentang Mediasi Di Pengadilan Secara Elektronik.Meskipun demikian tidak terdapat larangan dalam peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan perdamaian dalam fase pemeriksaan perkara gugatan sederhana. Apabila kita cermati dari awal mengenai konsep penyelesaian masalah atau sengketa di Indonesia dimulai dari tradisi musyawarah yang terdapat dalam tradisi semua suku di Indonesia. Musyawarah sendiri berasal dari Bahasa arab “Syura” yang berarti berunding, urun rembug, saling bertukar fikiran untuk mencapai kesepakatan. Dari sisi peraturan perundang-undangan konsep perdamaian di Pengadilan pertama kali diatur dalam pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg yang mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mengupayakan perdamaian sebelum pemeriksaan perkara.Pelaksanaan pasal 130 HIR dan pasal 154 Rbg sendiri pada masa lalu berupa anjuran yang disampaikan oleh hakim di persidangan perdata kepada para pihak untuk melaksanakan perdamaian secara lebih intensif. Kemudian diatur lebih lanjut dalam Sema RI No.1 Yahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Untuk Menerapkan Lembaga Damai Atau Mediasi Dalam Penyelesian Sengketa. Lebih lanjut kemudian diatur dalam Perma No.2 Tahun 2003, Perma No.1 Tahun 2008 dan Perma No.1 Tahun 2016 serta Perma No.3 Tahun 2022.Di Dalam Perma No.4 tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana tidak diatur mengenai konsep, prosedur, tatacara penyelesaian sengketa gugatan sederhana secara damai. Karena itu secara hukum, pengaturan yang dipakai dalam perdamaian di perkara gugatan sederhana kembali pada pengaturan pokok mengenai perdamaian di pengadilan yaitu pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg, yaitu hakim diwajibkan untuk terlebih dahulu mengupayakan proses perdamaian.Pertimbangan awal pembentukan Gugatan Sederhana itu sendiri antara lain berangkat dari harapan terselenggaranya peradilan sederhana cepat serta biaya ringan. Juga bahwa perkembangan hukum di bidang ekonomi dan keperdataan lainnya membutuhkan prosedur penyelsaian sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan terutama dalam hubungan hukum yang bersifat sederhana. Merujuk pada pengaturan ini maka peran hakim dalam mengupayakan perdamaian dalam perkara gugatan sederhana menjadi sangat luas dan leluasa. Ini sebangun dengan karakter perkara gugatan sederhana yang bersifat tidak rumit, sehingga peluang terlaksananya perdamaian dalam perkara gugatan sederhana cukup luas.Di Pengadilan Negeri Lamongan pada tahun 2024 perkara gugatan sederhana yang diperiksa di PN Lamongan sebanyak 56 perkara, dari jumlah tersebut yang berhasil damai sebesar 25 perkara atau dalam prosentase adalah 44,64 persen yang berhasil selesai secara perdamaian. Sedangkan pada tahun 2025 perkara yang masuk sebesar 23 perkara dan yang berhasil damai sebesar 11 perkara atau dalam prosentase berarti sebesar 47,8 persen. Sebuah angka maupun prosentase yang menggembirakan dalam dua tahun berjalan angka keberhasilan perdamaian di perkara gugatan sederhana hampir mendekati 50 persen.Nama-nama hakim yang berhasil mendamaikan perkara gugatan sederhana tersebut antara lain Olyviarin Rosalinda Taopan, SH, MH,  Andi Muhammad Ishak, SH, Anastasia Irene, SH, MH dan Satriani Alwi, SH, MH. Dalam perbincangan dengan penulis mereka menyampaikan beberapa kiat keberhasilan sehingga cukup banyak perkara yang bisa didamaikan. Pertama tentu memberi pengertian kepada para pihak mengenai pentingnya penyelesaian perkara secara damai. Termasuk keuntungan bagi para pihak apabila bisa menemukan kesepakatan untuk penyelesaian sengketa tersebut. Kemudian dalam proses pemeriksaan perkara gugatan sederhana hakim menyampaikan pentingnya berdialog atau berdiskusi mengenai permasalahan sebagaimana tertuang dalam gugatan sederhana. Disela-sela pemeriksaan perkara hakim memberi tawaran gagasan yang sekiranya bisa diterima olah para pihak dalam perkara tersebut. Termasuk juga menekankan bahwa perdamaian dalam perkara Gugatan Sederhana akan memudahkan pelaksanaan isi putusan perkara tersebut. Adapun jenis perdamaian dalam perkara Gugatan Sederhana di PN Lamongan adalah restrukturisasi hutang atau pemberian waktu tambahan bagi debitur untuk melunasi pinjaman.Hakim di PN Lamongan memerankan peran sebagai “katalisator” atau memerankan fungsi sebagai pendorong lahirnya suasana konstruktif dan bersahabat termasuk juga membuka pemikiran para pihak untuk saling mengusulkan klausul serta mentelaah secara mendalam. Peran lainnya adalah sebagai “resource person” atau pendayaguna sumber-sumber informasi yang tersedia. Dan yang ketiga yaitu selaku “agent of reality” yaitu memberikan gambaran tentang realitas yang bisa disepakati. Tiga aspek tersebut diperankan bersama sama sehingga membawa suasana persidangan dalam perkara Gugatan Sederhana ke dalam iklim persidangan yang nyaman, dialogis serta konstruktif, sehingga probabilitas perdamaian dalam gugatan sederhana bisa meningkat.  

Ramah Disabilitas, PN Bekasi dan HWDI Jalin Kolaborasi

photo | Berita | 2025-02-14 16:00:15

Kota Bekasi - Pengadilan Negeri (PN) Bekasi Kelas 1 A Khusus telah menandatangani Nota Kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) dengan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Mou tersebut dilakukan pada hari Jumat tanggal 14 Fabruari 2025 bertempat di ruang pertemuan Prof. Dr. H.M Syarifuddin, S.H., M.H yang terletak kantor Pengadilan Negeri Bekasi Klas IA Khusus, Jalan Pangeran Jayakarta, Harapan Mulya, Medan Satria, Kota Bekasi, Jawa Barat.

Menyederhanakan Gugatan Sederhana

article | Opini | 2024-12-18 10:25:25

Lahirnya mekanisme gugatan sederhana tentu tidak dapat dilepaskan dari cita mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Asas yang mendasari keberadaan penyelenggaraan peradilan.Kebutuhan akan penyelesaian sengketa perdata, dengan nilai obyek, gugatan serta sederhana tidaknya pembuktian karena tidak terakomodir dengan ketentuan hukum acara yang ada. Bukankah dikatakan keadilan yang terlambat adalah ketidakadilan? Karenanya dalam mekanisme gugatan sederhana, banyak ‘penyederhanaan’ yang dilakukan dengan memangkas hal menjadi penghambatnya. Salah satunya adalah mengenai domisili atau alamat Penggugat dan Tergugat harus dalam satu wilayah hukum.Dengan merujuk pada asas gugatan diajukan di tempat tinggal atau domisili Tergugat, maka mau tidak mau hanya Penggugat yang berdomisili sama yang dapat mengajukan gugatan sederhana. Demikian diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Lalu bagaimana jika Penggugat berdomisili berbeda dengan Tergugat? Ketika baik nilai obyek gugatan maupun pembuktian masuk kategori sederhana. Nah, terkait hal tersebut Perma Nomor 4 Tahun 2019 merubah aturan Perma sebelumnya. Penggugat dapat menunjuk kuasa, kuasa insidentil bahkan wakil yang beralamat atau domisili sama dengan Tergugat. Tentu saja dengan surat kuasa atau surat tugas yang membuktikan hal tersebut.Selanjutnya menjadi menarik, kenapa atau mengapa alamat atau domisili Penggugat dan Tergugat harus dalam satu wilayah hukum? Jika merujuk pada maksud dan tujuan keberadaan mekanisme gugatan sederhana salah satunya adalah persoalan panggilan. Diakui atau tidak, persoalan panggilan, pada saat itu masih menjadi kendala, terutama dalam hal panggilan delegasi. Ketika kedua belah pihak dalam satu wilayah hukum tentu kendala panggilan delegasi tidak akan terjadi pada gugatan sederhana.Perkembangan berikutnya, transformasi administrasi dan persidangan secara elektronik muncul kemudian. Hal tersebut juga telah disadari dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019. Kehadiran Pasal 6A menunjukkan hal tersebut, mekanisme gugatan sederhana juga memanfaatkan administrasi persidangan secara elektronik.Hal tersebut tentu beralasan karena, sebelum  kehadiran Perma Nomor 4 Tahun 2019, lahir aturan mengenai administrasi dan persidangan secara elektronik. Administrasi perkara secara elektronik mendapat pijakan aturan dalam Perma Nomor 3 Tahun 2018 yang kemudian diperbarui mencakup pula persidangannya pada Perma Nomor 1 Tahun 2019. Demikian juga Perma Nomor 7 Tahun 2022 yang kemudian memperluas administrasi perkara secara elektronik juga meliputi upaya hukum.Lalu apa kaitannya semua itu dengan mekanisme gugatan sederhana? Sebelum membahas hal tersebut, tidak ada salahnya terdapat hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu domisili elektronik. Nah soal ini yang kemudian menjadi menarik jika dikaitkan dengan mekanisme gugatan sederhana.Secara singkat domisili elektronik diartikan sebagai alamat elektronik dan/atau layanan pesan (masseging services)  yang terverifikasi milik para pihak. Lalu untuk apa domisili elektronik itu? dan mengapa pula harus terverifikasi? Domisili elektronik, sebagaimana alamat atau domisili dalam gugatan konvensional adalah untuk menentukan kedudukan hukum dan keperluan bagi pemanggilan dan/atau pemberitahuan tentunya.Sebagaimana diketahui, alamat atau domisili diperlukan dalam perkara perdata karena ada kewajiban Pengadilan untuk melakukan pemanggilan dan/atau pemberitahuan bagi kelancaran jalannya persidangan, termasuk dalam hal dilakukan upaya hukum. Dalam perjalananya, panggilan dan/atau pemberitahuan juga mengalami perubahan seiring dengan administrasi, persidangan maupun upaya hukum elektronik. Jika pada awalnya panggilan dilakukan secara langsung oleh petugas pengadilan (jurusita/jurusita pengganti) secara sah dan patut, maka saat ini telah bergeser. Kehadiran domisili elektronik tentu memerlukan perlakuan khusus, yaitu dengan melakukan panggilan juga secara elektronik. Dan panggilan elektronik dijalankan langsung, tidak peduli apakah alamat atau domisili konvensionalnya berada di dalam ataupun diluar wilayah hukum pengadilan tersebut.Selain itu, saat ini, terhadap pihak yang masih menggunakan domisili atau alamat konvensional dan bukan domisili elektronik panggilan juga telah mengalami pergeseran. Tidak lagi dilakukan secara langsung, melainkan melalui pos tercatat khusus. Imbasnya, terhadap domisili atau alamat yang berada di luar wilayah hukum, pengadilan tidak perlu melalui delegasi akan tetapi dapat langsung mengirimkan melalui pos tersebut. Singkatnya administrasi perkara secara elektronik telah menghilangkan panggilan dan/atau pemberitahuan dengan delegasi.Dengan berbagai perkembangan terkait administrasi daan persidangan elektronik tersebut lalu bagaimana dengan gugatan sederhana? Ini yang menjadi menarik, karena dalam salah satu pasal Perma Nomor 4 Tahun 2019, Pasal 4 ayat 3a masih mensyaratkan alamat atau domisili Penggugat satu wilayah hukum dengan Tergugat?Bukankah saat ini seluruh pendaftaran gugatan wajib hukumnya didaftarkan secara elektronik? Dan konsekuensi hal tersebut adalah harus memiliki domisili elektronik yang terverifikasi? Jika demikian maka terhadap pendaftaran gugatan sederhana akan tercantum alamat atau domisili konvensional dan elektronik?Bagaimana cara menentukan bahwa Penggugat dan Tergugat memiliki domisili dalam satu wilayah hukum? Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melihat sejarah serta maksud dan tujuan penyederhanaan gugatan sederhana terkait domisili para pihak. Panggilan dan/atau pemberitahuan, ya hal tersebutlah yang selama ini Mahkamah Agung terus upayakan dalam mewujudkan asas peradilan, termasuk dan tidak terbatas melalui domisili elektronik.Apa artinya? Artinya ketika pihak, dalam hal ini Penggugat telah mencantumkan domisili elektronik (terlebih telah terverifikasi melalui akun ecourt) maka seluruh panggilan dan/atau pemberitahuan seluruhnya akan disampaikan secara elektronik. Tidak akan pernah ada ceritanya panggilan dan/atau pemberitahuan akan dilakukan secara langsung oleh jurusita dan/atau jurusita pengganti, bahkan panggilan pos tercatat khusus sekalipun tidak akan dilakukan? Kenapa? Ya karena telah ada domisili elektronik yang terverifikasi.Lalu apa konsekuensinya? Kehadiran domisili elektronik, terutama untuk Penggugat yang memasukan gugatan secara elektronik telah menafikan (atau mengganggap) alamat atau domisili konvensional. La sudah tidak ada fungsinya terkait keperluan pencantumannya dalam gugatan. Pun demikian dalam gugatan sederhana tentunya.Pencantuman domisili elektronik dengan segala konsekuensinya di atas, tentu berimbas dalam cara memahami keberadaan Pasal 4 ayat 3a Perma Nomor 4 Tahun 2019. Apabila alamat atau domisili konvensional Penggugat dan Tergugat berada dalam satu wilayah hukum tentu tidak jadi persoalan. Lalu bagaimana jika sebaliknya? Tentu harus dikembalikan kepada hakekat keberadaan domisili elektronik seiring dengan perubahan administrasi perkara secara elektronik berikut perubahan tata cara pemanggilan dan atau pemberitahuan. Jika tidak demikian, maka penyederhanaan gugatan sederhana tidak akan mencapai tujuannya. Semoga tidak demikian.Kayuagung, 12122024 pada sebuah tanggal cantik dimana Timnas Indonesia kurang main cantik.