SALAH satu adagium klasik dalam hukum pembuktian adalah unus testis, nullus testis—satu saksi bukan saksi (one witness, no witness). Gagasan ini mencerminkan konsep desentralisasi dan kehati-hatian, yakni kebenaran tidak boleh bergantung pada satu sumber tunggal, melainkan harus diverifikasi dengan bukti lain.Konsekuensinya, kesaksian dari satu orang semata tanpa bukti atau saksi lain, dianggap tidak cukup reliabel dan terpercaya. Unius omnino testis responsio non audiatur, artinya keterangan satu orang saksi saja tidak boleh didengar. Lalu dari mana sejarahnya?
Sumber hukum awal mengenai larangan saksi tunggal (singularis testis) tercantum dalam Codex Justinianus (529 M). Teks ini merangkum berbagai kompilasi hukum Romawi, termasuk perintah Konstantinus I di tahun 334 M: “Et nunc manifeste sancimus, ut unius omnino testis responsio non audiatur, etiamsi praeclarae curiae honore praefulgeat (Dan sekarang kami dengan jelas menetapkan, bahwa kesaksian satu orang sama sekali tidak boleh didengar, sekalipun ia bersinar dengan kehormatan jabatan yang paling tinggi).”
Lima abad kemudian, prinsip ini masih dipertahankan melalui Dekrit Gratian yang disusun sekitar tahun 1140: “No judge should easily admit the testimony of one person in any kind of case; rather the response of one witness in no way should be heard, even if he glows with the honor of the praesidial curia (Tidak ada hakim yang seharusnya menerima kesaksian satu orang dalam perkara apa pun dengan mudah; sebaliknya, keterangan dari seorang saksi sama sekali tidak boleh didengar, sekalipun ia bersinar dengan kehormatan jabatan tertinggi).”
Baca Juga: Komnas HAM : Restorative Justice Bukan Celah Transaksi Hukum
Ajaran Teologis
Jauh sebelum hukum Romawi, Taurat telah melarang penggunaan saksi tunggal. Ulangan 19:15 menyatakan: ”Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai perkara kesalahan apapun atau dosa apapun yang mungkin dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi perkara itu tidak disangsikan.” Prinsip ini termuat kembali pada Injil Yohanes 8:17, “Dan dalam kitab Tauratmu ada tertulis, bahwa kesaksian dua orang adalah sah,” serta ditegaskan Paulus melalui 2 Korintus 13:1, “Baru dengan keterangan dua atau tiga orang saksi suatu perkara sah.”
Adagium unus testis nullus testis juga berlaku dalam tradisi Islam. Menurut QS Al-Baqarah ayat 282, harus ada dua orang saksi laki-laki dan bukti tertulis untuk mencatat transaksi utang. Pada kasus perzinaan, standar pembuktian menjadi lebih ketat karena mensyaratkan empat orang saksi (QS An-Nur ayat 4). Jika orang yang menuduh zina gagal memenuhi minimum bukti, ia harus didera 80 kali dan kesaksiannya tak akan diterima selamanya. Tingginya standar pembuktian bertujuan untuk mencegah fitnah, sebab Islam mengancam pelaku zina dengan hukuman yang sangat berat.
Kasus Indicia
Salah satu kasus yang melibatkan kesaksian tunggal pernah terjadi pada abad ke-4 di lingkungan gereja Italia. Berdasarkan laporan Maximus kepada Uskup Syagrius di Verona, seorang perawan bernama Indicia telah dituduh telah melanggar kaul kesucian dan membunuh bayinya. Oleh karena Maximus menolak menjadi saksi, Indicia kemudian dinyatakan bersalah berdasarkan kesaksian Renatus dan Leontius, beserta hasil pemeriksaan seorang bidan.
Baca Juga: Sebuah Harapan kepada Ketua PN Jakpus yang Baru
Indicia kemudian mengajukan banding kepada Uskup Agung Ambrosius di Milan. Hasil penyelidikan ulang menemukan “detail-detail yang berbeda serta tidak selaras” dalam keterangan Renatus dan Leontius—disebabkan oleh “kepalsuan”. Dalam suratnya, Uskup juga menulis baik Maximus maupun saksi-saksi penuduhnya tidak hadir. Padahal, hukum Gereja mengajarkan “Atas kesaksian dua atau tiga orang saksi, setiap perkataan menjadi teguh.” Pemeriksaan terhadap tiga saksi lainnya akhirnya mengonfirmasi tuduhan palsu terhadap Indicia.
Karena hanya ada satu bukti tunggal berupa hasil pemeriksaan bidan, situasi ini merupakan pelanggaran jelas terhadap unus testis nullus testis. Nama baik Indicia lalu dipulihkan, sedangkan Maximus diberi kesempatan bertobat. Renatus dan Leontius dikenai sanksi yang lebih berat berupa ekskomunikasi (pengucilan), dengan syarat penyesalan mendalam untuk memperoleh pengampunan (Adamczewski, 2019).
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI