Sebelum tahun 2004, struktur peradilan di Indonesia masih terfragmentasi karena aspek organisasi, administrasi, dan keuangan peradilan tidak berada langsung di bawah Mahkamah Agung (MA). Bahkan jauh sebelum itu, Rapat PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 sempat melahirkan dua hal penting terkait kelembagaan MA.
Pertama, Koesoemah Atmadja dilantik sebagai Ketua MA yang pertama. Kedua, menetapkan kedudukan Kejaksaan berada di bawah kewenangan Departemen Kehakiman yang saat itu dipimpin oleh Mr. Soepomo. [1] Konsekuensi itu berimplikasi pada kedudukan MA dan Kejaksaan berada di bawah satu atap yang sama di bawah Departemen Kehakiman. [2]
Kemudian, Dekrit Presiden yang dibacakan Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 menandakan titik awal penataan ulang fungsi lembaga-lembaga negara. Secara khusus pemerintah memisahkan Kejaksaan dari kendali Departemen Kehakiman dengan membentuk Departemen Kejaksaan melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kejaksaan. [3]
Baca Juga: Integrasi Core Crimes Dalam KUHP Nasional: Analisis De Minimis Implikasinya
Perjuangan MA untuk megimplementasikan sistem satu atap yang utuh tidak berhenti disitu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kewenangan pembinaan peradilan terbagi pada dua jalur.
Saat itu, MA yang saat itu dipimpin oleh Soebekti menjalankan pembinaan teknis yudisial terhadap empat lingkungan peradilan, sedangkan aspek administratif, organisatoris, dan finansial masih berada di bawah eksekutif.
Secara lebih rinci, Departemen Kehakiman bertanggung jawab atas Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Departemen Agama membina Peradilan Agama, dan Departemen Pertahanan dan Keamanan mengatur Peradilan Militer.[4]
Situasi ini menimbulkan dualisme kewenangan: di satu sisi, MA memiliki fungsi sebagai puncak kekuasaan kehakiman; di sisi lain, urusan administratif, organisasi dan finansial pengadilan masih ditentukan oleh eksekutif.
Penerapan sistem peradilan satu atap yang bertujuan memperkuat independensi lembaga peradilan dari campur tangan eksekutif mulai dilaksanakan pada era reformasi. Kebijakan ini pertama kali ditegaskan melalui Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang pemisahan fungsi yudikatif dan eksekutif secara tegas.
Ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang selanjutnya diperkuat melalui Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001.
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pelimpahan kewenangan pembinaan administrasi peradilan dari pemerintah ke MA mulai berlaku efektif pada tahun 2004, yakni tepat lima tahun setelah undang-undang tersebut disahkan. Momentum peralihan kewenangan tersebut ditandai dengan penandatanganan berita acara serah terima antara Menteri Kehakiman, Yusril Mahendra, dan Ketua MA, Bagir Manan, pada tanggal 31 Maret 2004. [5]
Tidak berhenti disitu, proses integrasi dilanjutkan dengan serah terima kewenangan oleh Kementerian Agama pada tanggal 30 Juni 2004 dan diakhiri melalui penerbitan Keppres Nomor 56 Tahun 2005 yang mengalihkan kewenangan organisasi, administrasi, dan keuangan peradilan militer dari Mabes TNI oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto kepada Bagir Manan.
Dengan demikian, empat lingkungan peradilan telah resmi berada di bawah satu atap yang sama, sesuai amanat UUD 1945 Pasca-Amandemen yang menegaskan independensi kekuasaan kehakiman.
Reformasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menjadi tonggak penting dalam perjalanan hukum Indonesia, yang mana selalu menjadi topik perjuangan para hakim pada setiap Munas IKAHI. [6]
Puncak dari perjuangan ini ditunjukkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara, Dan Peradilan Agama Ke Mahkamah Agung.
Keppres ini secara resmi memusatkan kewenangan teknis yudisial sekaligus pengelolaan organisasi, administrasi, dan keuangan seluruh peradilan umum, tata usaha negara, dan agama di bawah MA. Langkah ini menandai dimulainya integrasi peradilan di Indonesia. Selain itu, penerapan sistem satu atap pada badan peradilan dimaksudkan untuk memperkuat independensi lembaga peradilan. [7] (SNR/LDR)
Daftar Referensi
[1] Marwan Effendy, Kejaksaan RI: (Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 56.
[2] Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Jakarta, 2012, hlm. 27.
[3] Dio Ashar Wicaksana, Kedudukan Kejaksaan RI dalam Sistem Hukum Tata Negara Indonesia, Fiat Justitia MaPPI FHUI, Vol. 1., No. 1, Maret 2013, hlm. 4-6.
[4] Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 143/KMA/SK/VIII/2007 tentang Memberlakukan Buku I, hlm. 1.
[5] Dian Rositawati, Judicial Governance in Indonesia: Judicial Independence under the One Roof System”, Disertasi pada Universitas Tillburg, Desember 2019, hlm. 108.
Baca Juga: Integrasi Kesekretariatan Pengadilan di Bawah Ditjen Badan Peradilan
[6] Wahyu Widiana, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat, Balitbang, Jakarta, 2005, hlm. 94-95.
[7] Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 295.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI