Cari Berita

Peredaran Gelap-Penyalahgunaan Narkotika: Analisis Interpretasi Teleologis Pasal 35

Bony Daniel - Dandapala Contributor 2025-11-24 07:40:58
Dok. Ist.

UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) berlandaskan filosofi dualistik inheren, memposisikan narkotika sebagai pharmakon, esensial secara medis namun ancaman eksistensial jika sirkulasinya ilegal.

Dualisme ini mengamanatkan implementasi rezim hukum bifurkatif: pendekatan represif retributif terhadap peredaran gelap (illicit trafficking) dan pendekatan humanis restoratif terhadap penyalahgunaan.

Kompleksitas tersebut memicu tensi paradigmatik dalam praktis yudisial, menuntut penalaran kognitif superior untuk menentukan differentia specifica antara pengedar dan pecandu/penyalah guna.

Baca Juga: Memahami Esensi Pidana Narkotika Dalam Kacamata Teleologis

Akurasi kualifikasi yuridis menjadi imperatif krusial, mengingat implikasi hukum yang diametral, pemidanaan minimum khusus versus intervensi rehabilitasi.

Inkonsistensi putusan kerap bersumber dari kegagalan epistemologis dalam mendefinisikan peredaran gelap atau interpretasi mekanistik terhadap beleidsregel (SEMA). Risiko fundamentalnya adalah terjadinya error in judicando; mengkriminalisasi korban murni atau mengekskulpasi pengedar.

Guna mengatasi vacuum normatif terkait batasan kuantitatif, SEMA Nomor 4 Tahun 2010 menginstitusionalisasi parameter objektif "pemakaian sehari". Ini memicu diskursus epistemologis fundamental mengenai kualifikasi yuridis penguasaan narkotika yang eksesif di tengah ketiadaan bukti langsung aktivitas distribusi, sehingga memerlukan formulasi presumsi hukum kuantitatif (quantitative legal presumption).

Analisis demarkasi konseptual mensyaratkan dekonstruksi definisi autentik legislator. Peredaran gelap (Pasal 1 angka 6 UU Narkotika) bersifat lato sensu, mencakup segala aktivitas melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika. Interpretasi sistematis dengan Pasal 35 adalah imperatif.

Pasal ini mendefinisikan peredaran sebagai penyaluran atau penyerahan, secara eksplisit mencakup aktivitas "bukan perdagangan". Signifikansi krusialnya adalah penegasan bahwa motif ekonomis bukanlah conditio sine qua non. Penyerahan non komersial tetap terkualifikasi sebagai peredaran gelap, ratio legis-nya adalah interupsi rantai distribusi ilegal secara komprehensif.

Secara diametral, penyalah guna (Pasal 127 ayat 1) dicirikan oleh orientasi konsumtif internal, yakni penggunaan "bagi diri sendiri" sebagai end user. Perbedaan fundamental antara keduanya terletak pada orientasi actus reus: sirkulasi eksternal versus konsumsi personal. Analisis ini mengeksplorasi cakupan ekstensif Pasal 35 dan justifikasi Presumsi Kuantitatif dalam menentukan kualifikasi delik.

Demarkasi fundamental antara peredaran gelap dan penyalahgunaan terletak pada orientasi actus reus dan mens rea: sirkulasi eksternal versus konsumsi internal. Problematika yuridis mengemuka pada kualifikasi delik penguasaan (Pasal 112), yang inheren dalam penggunaan (Pasal 127), menciptakan potensi concursus idealis. Resolusi atas ambiguitas ini mensyaratkan determinasi niat batin pelaku di muka persidangan.

Dalam konteks ini, SEMA Nomor 4 Tahun 2010 berfungsi sebagai kebijakan (beleidsregel) interpretatif untuk penerapan Pasal 103, menetapkan kriteria kumulatif identifikasi penyalah guna murni. Klausula esensialnya adalah ketiadaan bukti keterlibatan dalam peredaran gelap. Ini menegaskan supremasi pembuktian materiil di atas parameter kuantitatif.

Konsekuensinya, apabila actus reus peredaran gelap terbukti, termasuk penyerahan non komersial sebagaimana cakupan ekstensif Pasal 35, kualifikasi delik wajib mengikuti rezim peredaran gelap (misalnya Pasal 114). Fakta materiil sirkulasi ilegal secara imperatif menganulir relevansi kuantitas barang bukti dalam kualifikasi penyalahgunaan.

Kompleksitas yuridis mengemuka dalam skenario di mana seorang Terdakwa didapati menguasai narkotika dalam kuantitas yang melampaui ambang batas kewajaran konsumsi pribadi (sebagaimana diatur dalam SEMA), namun dalam proses pembuktian, tidak ditemukan bukti langsung yang mengindikasikan aktivitas peredaran gelap (misalnya, absensi saksi pembeli atau bukti transaksi). Terdakwa, dalam kondisi ini, lazimnya berdalih bahwa jumlah tersebut merupakan stok untuk konsumsi pribadi.

Dalam menghadapi fakta hukum demikian, berlaku sebuah konstruksi logika yang dapat dijustifikasi sebagai presumsi hukum kuantitatif (quantitative legal presumption), atau dalam terminologi lain, sebuah fiksi hukum (legal fiction). Presumsi ini dioperasikan melalui interpretasi sistematis dan teleologis terhadap UU Narkotika dan SEMA, yang esensinya berfungsi sebagai instrumen kebijakan kriminal (criminal policy tool).

Formulasi logika hukum atas presumsi ini dapat dibangun melalui penalaran silogistik yang terstruktur. Landasan utamanya adalah premis mayor (norma primer), di mana rezim peredaran gelap, melalui pasal-pasal terkaitnya dalam UU Narkotika, secara tegas melarang dan mengancam pidana berat atas setiap perbuatan memiliki, menyimpan, atau menguasai Narkotika tanpa hak.

Hal ini dikontraskan dengan premis minor (lex specialis), yaitu rezim penyalahgunaan melalui pasal mengenai penyalah guna, yang merupakan pengecualian spesifik bagi penyalah guna yang penguasaannya semata-mata untuk konsumsi pribadi, dengan potensi penerapan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal terkaitnya.

Kunci penalaran ini terletak pada standar objektif kewajaran, yang ditetapkan oleh SEMA yang relevan sebagai tolok ukur yuridis kuantitatif (misalnya, batasan spesifik untuk jenis metamfetamina) untuk menilai kredibilitas klaim penggunaan pribadi.

Apabila fakta hukum menunjukkan Terdakwa menguasai Narkotika dalam jumlah yang secara signifikan melampaui standar objektif kewajaran SEMA tersebut, maka terjadi negasi negation of the exception. Konsekuensinya, Terdakwa gagal memenuhi syarat kumulatif untuk dikualifikasikan sebagai penyalah guna murni dalam konteks rezim penyalahgunaan. Klaim Terdakwa bahwa penguasaan tersebut semata-mata untuk penggunaan pribadi menjadi tidak kredibel secara yuridis.

Pada titik inilah presumsi hukum kuantitatif aktif. Dengan gugurnya kualifikasi rezim penyalahgunaan, perbuatan Terdakwa secara otomatis kembali tunduk pada norma primer (rezim peredaran gelap). Hukum mempresumsikan bahwa penguasaan dalam jumlah eksesif tersebut telah memenuhi unsur delik dalam ranah peredaran gelap. Kuantitas eksesif berfungsi sebagai bukti sirkumstansial (circumstantial evidence atau indicium) yang sangat kuat, yang melahirkan inferensi logis mengenai adanya niat selain konsumsi pribadi, setidaknya niat untuk "menyediakan" (providing) atau menyimpan stok yang memfasilitasi sirkulasi ilegal.

Konstruksi ini tidak mencederai asas praduga tak bersalah, sebab unsur inti penguasaan tanpa hak telah terbukti secara faktual. Presumsi ini idealnya bersifat rebuttable presumption (dapat dibantah), namun beban argumentasi (burden of argument) untuk membuktikan bahwa kuantitas eksesif tersebut murni akibat kondisi ketergantungan ekstrem, secara wajar bergeser kepada Terdakwa melalui pembuktian ahli yang kredibel.

Penanganan perkara narkotika menuntut kecermatan epistemologis dan kebijaksanaan yudisial yang paripurna. Polarisasi antara peredaran gelap dan penyalahgunaan bukanlah sekadar pilihan teknis pasal, melainkan penentuan fundamental antara pendekatan punitif dan rehabilitatif.

Pemahaman yang mendalam terhadap Pasal 35 UU Narkotika adalah imperatif. Peredaran gelap mencakup spektrum aktivitas sirkulasi ilegal yang sangat luas, termasuk penyaluran, penyerahan, dan pemindahtanganan tanpa motif ekonomis.

Ketiadaan bukti transaksi komersial tidak serta merta meniadakan kualifikasi peredaran gelap jika terbukti adanya penyerahan kepada pihak lain. SEMA Nomor 4 Tahun 2010 harus diposisikan secara proporsional sebagai pedoman interpretatif, bukan norma absolut. Parameter kuantitatif hanyalah salah satu syarat kumulatif. Syarat ketiadaan bukti keterlibatan dalam peredaran gelap tetap superior.

Fakta materiil keterlibatan dalam peredaran gelap akan menganulir klaim penyalah guna, meskipun kuantitas barang bukti berada di bawah ambang batas yang ditentukan. Sebaliknya, dalam menghadapi situasi di mana barang bukti melampaui ambang batas SEMA namun bukti langsung peredaran gelap tidak ditemukan, penerapan presumsi hukum kuantitatif adalah sebuah keniscayaan yuridis yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui konstruksi logika yang sistematis, kegagalan memenuhi standar objektif kewajaran konsumsi pribadi mengakibatkan perbuatan tersebut harus dikualifikasikan dalam rezim peredaran gelap. Konstruksi ini memastikan bahwa hukum ditegakkan secara efektif untuk memberantas peredaran gelap, sembari tetap menjaga keseimbangan dan proporsionalitas dalam pemidanaan. (ldr)

Baca Juga: KUHP Baru, Masalah Lama: Pasal (Keranjang Sampah) Narkotika Kembali Menghantui


Penulis Dr. Bony Daniel, S.H., M.H. adalah Hakim PN Serang

Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag
Memuat komentar…