Cari Berita

Hakim Agung Sutarjo: Hakim Pencipta Keadilan Substantif, Bukan Hanya Corong UU  

article | Berita | 2025-09-22 11:20:40

Bogor-  Hakim agung Sutarjo menyampaikan bahwa KUHP baru membawa misi pembaharuan yang memberikan peran strategis terhadap para hakim. Juga pencipta keadilan substantif, bukan sekadar keadilan procedural. Hal itu disampaikan di Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (BSDK) MA saat membuka Pelatihan Singkat Pendalaman Substansi dan Kebaruan Hukum Pidana Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) Gelombang III pada hari Senin (22/09/25). Pelatihan ini diikuti oleh 901 hakim yang terdiri dari pimpinan pengadilan tinggi, pimpinan pengadilan negeri, serta hakim pemeriksa perkara pidana tingkat banding dan tingkat pertama dari lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Peserta terbagi dalam tiga kelas dan diwajibkan mengikuti pelatihan dengan metode blended learning. Kegiatan ini berlangsung pada hari Senin hingga Jum’at (22–26 September 2025) dengan dua tahapan. Tahap I dilaksanakan pada 22–23 September 2025 berupa pembelajaran mandiri melalui platform e-learning yang mencakup pre-test, pengenalan materi, serta penugasan mandiri. Tahap II berlangsung pada 24–26 September 2025 berupa penyampaian materi secara daring melalui Zoom Meeting disertai kuis interaktif. Seluruh peserta sebelumnya diwajibkan melakukan registrasi dan mengunggah dokumen administrasi melalui aplikasi LASKAR (Layanan Administrasi Kediklatan dan Rekapitulasi). Dalam laporannya, Kepala BSDK MA RI, Syamsul Arief menekankan pentingnya kegiatan ini untuk memperkuat pemahaman hakim terhadap aspek-aspek penting dalam KUHP baru yang bernuansa lebih restoratif.“Diharapkan dengan acara ini, para hakim akan memahami aspek-aspek penting dalam KUHP baru yang bernuansa lebih restoratif. Meskipun kegiatan dilaksanakan secara daring, hal ini tidak mengurangi pemahaman pembelajaran terhadap KUHP,” ujar Syamsul. Pelatihan ini dibuka secara resmi oleh Hakim Agung Kamar Pidana, Sutarjo, yang hadir mewakili Wakil Ketua MA Bidang Yudisial. Dalam pembukaan tersebut, Ia juga menyampaikan bahwa KUHP baru membawa misi pembaharuan yang memberikan peran strategis terhadap para hakim. “Kebaruan yang dibawa KUHP bukan hanya kodifikasi ulang, namun juga nilai-nilai Pancasila dan pembaharuan yang selaras dengan perkembangan zaman. Hakim bukan hanya corong undang-undang, melainkan pencipta keadilan substantif, bukan sekadar keadilan prosedural. Hakim harus meninggalkan pemikiran lama yang bersifat retributif (lex talionis) karena merupakan pemikiran usang dan tidak sesuai lagi,” tegas Hakim Agung Sutarjo. Hakim Agung Sutarjo juga menegaskan akan pentingnya kegiatan ini sebagai sarana pemahaman bersama. “Pelatihan ini menjadi momentum bagi seluruh hakim untuk menyamakan persepsi terhadap kebaruan KUHP, sehingga setiap putusan yang lahir benar-benar mencerminkan keadilan dan kepastian hukum,” tambah Hakim Agung Sutarjo. Adapun materi pelatihan akan terbagi dalam enam pokok bahasan, yaitu: (1) Kebaruan dan asas-asas hukum pidana dalam KUHP (UU No. 1 Tahun 2023), (2) Tindak Pidana dalam KUHP, (3) Pertanggungjawaban Pidana, (4) Pidana dan Tindakan, (5) Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana dan Tindakan, serta (6) Amar Putusan Pidana berdasarkan KUHP dengan menghadirkan para pengajar yustisial dan pakar-pakar hukum pidana sebagai pengajar. (zm/wi)

Mengulas Eksistensi Pidana Kurungan pada KUHP Nasional

article | Opini | 2025-09-19 12:05:13

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) akan diberlakukan pada awal tahun 2026 kelak. Seiring dengan itu pula maka Wetboek van Strafrecht (WvS) yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP Lama) sudah tidak lagi berlaku. Misi dekolonisasi yang diusung oleh KUHP Nasional diharapkan dapat membawa perubahan signifikan terhadap pembaruan sistem hukum di Indonesia.  Salah satu perubahan yang diusung oleh KUHP Nasional ialah perihal jenis-jenis pemidanaan. Rumusan pemidanaan pada KUHP Nasional telah memerhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku tindak pidana (daad-daderstrafrecht). Bahkan dalam menjatuhkan pidana, hakim harus senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan mendahulukan jenis pidana yang lebih ringan.Pada Pasal 65 ayat (1) KUHP Nasional sendiri disebutkan bahwa pidana pokok terdiri atas:a.   Pidana penjarab.   Pidana tutupanc.   Pidana pengawasand.   Pidana dendae.   Pidana kerja sosialMelalui pasal tersebut dapat dilihat perbedaan substantif dengan absennya pidana mati dan kurungan yang sebelumnya termasuk dalam jenis pidana pokok pada Pasal 10 KUHP Lama. Hanya saja berbeda dengan pidana mati yang diklasifikasikan dalam pidana yang bersifat khusus, kurungan tidak lagi dikenal dalam sistem pidana (straf stelsel).Pidana kurungan sebelumnya diatur pada Pasal 23 KUHP Lama. Pada pidana kurungan, terpidana diberikan ruang untuk meringankan nasibnya pada saat dihukum yang juga dikenal sebagai hak pistole. Pistole sendiri berasal dari nama koin emas yang berlaku di Perancis pada abad ke-17 dan 18. Pada saat itu, seorang terpidana dapat menggunakan pistole untuk memperbaiki kualitas jerujinya.[1]Hak pistole itu pulalah yang membedakan pidana kurungan dengan pidana penjara. Bahkan dalam Pasal 28 KUHP Lama, pidana penjara dan kurungan dapat dilaksanakan di satu tempat yang sama namun harus terpisah.Ketiadaan pidana kurungan kemudian menghasilkan pertanyaan baru. Lalu bagaimana penerapan penjatuhan hukuman kurungan yang diatur pada Undang-Undang (UU) khusus lain?Melalui KUHP Nasional, pidana kurungan yang sering diancam alternatif pada UU khusus dan Peraturan Daerah (Perda) telah ditiadakan dan digantikan dengan penjatuhan denda. Seperti yang diatur pada Pasal 615 KUHP Nasional, yang mengatur:1.  pidana kurungan kurang dari 6 (enam) bulan diganti dengan pidana denda paling banyak kategori I; dan2.  pidana kurungan 6 (enam) bulan atau lebih diganti dengan pidana denda paling banyak kategori II;Pasal 615 KUHP Nasional tersebut pula akan berjalan seiringan dengan ketentuan-ketentuan lain yang mengatur pemidanaan. Sebagai contoh ialah Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa ketentuan pidana pada Perda ialah berupa ancaman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Setelah KUHP Nasional berlaku nanti maka seluruh ancaman pidana kurungan pada Perda di seluruh Indonesia secara mutatis mutandis berganti dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Sesuai Dengan Tujuan KUHP NasionalH.B. Vos, ahli hukum pidana Belanda, menyebutkan bahwa pidana kurungan memiliki 2 (dua) tujuan.[2] Tujuan pertama ialah sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delik culpa dan beberapa dolus. Tujuan kedua pidana kurungan ialah sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Sehingga secara konseptual, memang benar jika disebut bahwa pidana kurungan adalah pidana pokok bagi delik-delik pelanggaran.Tiadanya pidana kurungan juga dipengaruhi dengan eksistensi delik pelanggaran pada KUHP Nasional itu sendiri. Bukan kebetulan jika pada KUHP Nasional pembedaan tindak pidana kejahatan (rechtsdelict) dan pelanggaran (wetsdelict) telah dihapuskan. Jika pada KUHP lama terdiri atas 3 (tiga) buku yakni Aturan Umum, Kejahatan, dan Pelanggaran, maka KUHP Nasional hanya terdiri dari 2 (dua) buku yakni tentang Aturan Umum dan Tindak Pidana. Konsep pembedaan kejahatan dan pelanggaran sebagai selama ini memang dianggap tidak dapat dipertahankan secara konsisten.[3]Secara konseptual, dihapusnya pidana kurungan sendiri merupakan pengejewantahan dari tujuan KUHP Nasional untuk mencegah penjatuhan pidana dalam waktu singkat.[4] Sebagai gantinya KUHP Nasional lebih mendorong cita untuk memasyaratkan terpidana, salah satunya dengan memasukkan kerja sosial sebagai jenis pidana pokok.Tiadanya pidana kurungan juga menjadi wujud KUHP Nasional dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Mengingat pidana kurungan merupakan bentuk perampasan kemerdekaan sekaligus pembatasan kebebasan bagi seorang terpidana. Sebagaimana defenisi kebebasan sebagai segala sesuatu yang dilakukan tanpa adanya kontrol dan paksaan dari orang lain atau lembaga. Salah satu bentuk kebebasan tersebut adalah kebebasan untuk bergerak.[5] Eksistensi pidana kurungan di saat sudah ada pidana penjara tentu dirasa kurang memberikan solusi terhadap implementasi nilai HAM pada sistem hukum Indonesia. Terlebih dengan tujuan pemidanaan pada KUHP Nasional yakni pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Sehingga memang tepat rasanya tindakan pembuat Undang-Undang yang menghapus kurungan sebagai salah satu jenis pidana pokok.Referensi:[1] www.paris-conciergerie.fr, "Prison life during the Revolution"[2] Farid, A.Z. Abidin dan Andi Hamzah. (2006). Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, (Jakarta: Rajawali Pers). h. 289[3] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana[4] Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. (Depok: Rajawali Pers), h. 634. [5] Dirk Ehlers. (2007). European Fundamental Rights and Freedoms. Berlin

Cultural Shock Amidst The New Indonesia Criminal Code

article | Opini | 2025-04-26 09:05:24

IntroductionOn January 2026, the Law Number 1 of 2023 on Criminal Code (Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)(hereafter as “KUHP Nasional”) will be fully prevail. Some key elements will alter the culture or the way Indonesian people implement their criminal law. This situation may lead to a “cultural shock”, which often refers to the situation where strain and anxiety result from contact with a new situation and the feeling of confusion resulting from loss of accustomed cultural cues and social rules.[1] In other research, cultural shock happens when a person cannot understand a new situation or behaviour. The result is the person may become confused or even get stressed. In the final stage, the person may fail to communicate what to say and what to do or act around the new situation.[2]The impacts of cultural shock are varied, from only resulting stress to a destructive effect. Based on Anugerah’s research, one of the cultural shock symptoms is the rejection of the new situation or rules.[3] This rejection may cause the failure of the new regulation. For instance, the cultural shock may be a significant obstacle for the Indonesia government to apply the KUHP Nasional in this remaining transition period (more or less 8 months). Therefore, in this article, the Writer will discuss on two main issues: 1) What are the key changes on KUHP Nasional?; and 2) How does cultural shock affect the implementation of KUHP Nasional?The Key ChangesAs the KUHP Nasional has enacted, several new rules have been introduced. These new rules are claimed may change the implementation of criminal law in Indonesia. Among these new rules, the Writer will highlight the most anticipated, which based on the Writer’s opinion, will be the game changer: 1. Living Law IssuesArticle 2 (1) KUHP Nasional raises another issue of living law implementation. In the future, there is a possibility that a person will be sentenced based on living law or customary law that live in certain area. This provision will conflict with the Legality Principle, which demands that only regulated acts may be sentenced. Although Article 2 (3) KUHP Nasional stated the implementation of living law will be further regulated under government regulation. However, the uncertainty on how these rules will be implemented remains unknown. There is a possibility that unwritten living law will be used by the law enforcer.We shall travel back to the Roman Empire era to learn the main purpose of the Legality Principle. The principle was born as a critic toward the tyranny that restrained the people democratie in the past. Before the legality principle, criminal law utilized the principle of crimine extra ordinaria, which allows the unwritten criminal act to be used by the law enforcer. The excess, many people have been sentenced by the king over an uncertain regulation in that era[4]. Therefore, as an antithesis, the Legality Principle was introduced. 2. Decriminalization and RevocationArticle 3(4) KUHP Nasional introduces a new methodology on how a criminal sentencing shall be banished by the law. In terms of the court decision has had a permanent legal force (berkekuatan hukum tetap or BHT), however the criminal act that occurred is no longer a crime based on the new laws (decriminalization)[5], hence the criminal sentencing should be stopped. Another issue is related to revocation. Many criminal acts have been repealed and declared invalid by Article 622 KUHP Nasional. At least there are more than 28 regulations that are revoked without any explanation and proper public socialization. At a glance, there is some confusion between decriminalization and revocation. The revocation does not always end with decriminalisation. Example Article 111 Law No. 35 of 2009 is revoked but re-regulated under article 609 KUHP Nasional. People will be confused about which one is only revoked then re-regulated and which one is the decriminalisation. This situation is even worse in the absence of proper public socialization from the government.3. The New Sentencing GoalIn the early stages of Indonesia's independence, the law emerged as a tool of power and politics. The government often uses force to maintain law and order, due to the old criminal code promotes the retributive theory. This theory suggests that law enforcement should use force in responding to criminals (such as imprisonment). This approach is also confirmed in Law No. 8 of 1981 on the Code of Criminal Procedure.[6] In fact, over 98% of criminal acts in the old criminal code only used jail as the sole sentencing option.[7]Almost every criminal act ends with imprisonment in Indonesia. Eventually, law experts come up with the idea of restorative justice as the antithesis of the retributive theory.[8] As we may refer to Article 51(c) KUHP Nasional, the new regulation does not only include the retributive theory but also promotes the restoration over the crime impact. Article 71 (1) KUHP Nasional demands that imprisonment should not be imposed if the judge finds several conditions such as the suspect is a minor, over 75 years old or another 15 conditions.  To achieve the restoration, Article 65 KUHP Nasional introduced several new sentencing methods, among others provision (probation) and community service. Article 54 KUHP Nasional also introduced the concept of judicial pardon, where judge may not impose any sanction although the crime act is proven. However, at least for 400 years since the colonial era, Indonesian already accustomed with idiom “evil (criminals) should be jailed”. The negative sentiment over free or even low sentencing is outrageous in Indonesia. Since “no viral, no justice” is being hyped, every court decision that does not suit the people will be poorly judged.Culture Shock: The AftermathCultural shock often refers to the context of cultural migration, when a person moves to another place with a different culture from his origin. However, regarding regulation shifting, this term is also relevant in the writer's opinion. We may see that one of culture shock cause is the implementation of new rules.[3] When new rules are applied, people may lose cues. Losing cues also means losing signs, daily life routine patterns, or even an accustomed way of life (driving, walking, communing, etc.). The impact of culture shock may cause someone to fear living in the new situation, leading him to refuse the new situation, and when they fail to adapt the negative stigma over the new situation will rise (stereotype).[9] Hence, there are adversarial effects of cultural shock that may be occurred when the KUHP Nasional is implemented:1. Fear of FailureFear of failure indicates a lousy involvement in several things, such as actions taken or choice of tasks. This condition indirectly affects decision making, such as avoiding the cause of fear or avoiding the implementation of certain conditions.[10] This fear may be caused by the lack of understanding over KUHP Nasional. As mentioned, several fundamental changes in KUHP Nasional alter the old principle in the previous rule. Such as the living law regulation that may alter the legality principle. If this view is unclear, fear will surround the law enforcement perception. Fear of failure may also cause law enforcement to avoid the new sentencing method in KUHP Nasional. Thus, imprisonment will remain as the main option of our sentencing method, or they will hardly try to avoid the new rules, only implementing the one that is still in line with the old way. 2. Negative Sentiment and Rejection The new goal of KUHP Nasional to restore the criminal impact may be achieved by the new sentencing method. Not only by imprisonment, but the judge also may impose community service and supervision (probation). But, law enforcement is facing negative sentiment from the people. In Indonesia, whatever the case, when judges impose a low sentence or declare the suspect innocent, the people will respond with negative sentiment. As note, negative sentiment may impact decision making, as common sense humans will avoid negative sentiment. Thus, they will avoid or reject the action or rules that may bring the negative sentiment, which is the new regulation or the new sentencing method. So, we will face an era when regulation only remains on paper.   3. Losing of Public Trust In the final stages, when negative stigma and rejection surround the KUHP Nasional, law enforcement will lose the public trust. As we know, law enforcement is a process that ensures people will follow the rules so order may be achieved. When people lose their trust in law enforcement, it is possible that it could damage the legal system that has maintained order in the society.[11] Closing For almost 400 years, the Wetboek Van Strafrecht has been implemented in Indonesia. The birth of KUHP Nasional for indonesia is similar to a conditioan when a long married couple that just been blessed with a biological child. However, the key changes contained in KUHP Nasional required a long adaptation process. Cultural shock will eventually occur and become a significant obstacle in the implementation. The role of the government is very central in helping both law enforcers and the community to adapt. Change is inevitable in life, but those who succeed in adapting are those who always struggle to learn and fight.Bagus Sujatmiko(Larantuka District Court Judge)References:[1] M. Winkelman, “Cultural Shock and Adaptation,” Journal of Counseling & Development, vol. 73, no. 2, pp. 121–126, 1994, doi: 10.1002/j.1556-6676.1994.tb01723.x.[2] D. A. Rafika, “Culture Shock Experienced by Foreign Workers,” Archives of Business Research, vol. 6, no. 4, Apr. 2018, doi: 10.14738/abr.64.4331.[3] A. Salon Bidang, E. Erawan, and K. A. Sary, “PROSES ADAPTASI MAHASISWA PERANTAUAN DALAM MENGHADAPI GEGAR BUDAYA (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantauan di Universitas Mulawarman Samarinda),” Onilne, 2018.[4] “nurdhin,+(6)+Asas+Legalitas-Tahir”.[5] D. Handoko Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, “KLASIFIKASI DEKRIMINALISASI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA (Classification of Decriminalization in Law Enforcement in Indonesia),” Desember, vol. 10, no. 2, pp. 145–160, 2019, doi: 10.30641/ham.2019.10.143-160.[6] Fachrizal Afandi, “Mendesak, Reformasi Hukum Acara Penyidikan,” Kompas.Id.[7] Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, 1st ed., vol. 1. Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009.[8] B. Sujatmiko and M. Istiqomah, “MENDORONG PENERAPAN PIDANA BERSYARAT PASCA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL BADAN PERADILAN UMUM NOMOR 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 SEBAGAI ALTERNATIF KEADILAN RESTORATIF,” Jurnal Bina Mulia Hukum, vol. 7, no. 1, pp. 46–62, Sep. 2022, doi: 10.23920/jbmh.v7i1.787.[9] T. Intan, “GEGAR BUDAYA DAN PERGULATAN IDENTITAS DALAM NOVEL UNE ANNÉE CHEZ LES FRANÇAIS KARYA FOUAD LAROUI,” 2019.[10] K. Akan et al., “Prosiding KONFERENSI ILMIAH MAHASISWA UNISSULA (KIMU) 2 The Relationship Between Perception Of Parental Expectations and Self-Efficacy With Fear Of Failure In Students Who Finishing Final Thesis,” 2019.[11] Aristo Pangaribuan, “Sistem Hukum Tanpa Kepercayaan,” https://www.hukumonline.com/berita/a/sistem-hukum-tanpa-kepercayaan-lt4bf4f6fef3d1f/ . 

Harmonisasi Konsep Pemaafan Hakim (Recterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP

article | Opini | 2025-04-07 14:05:02

KITAB Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht/KUHP) yang berlaku di Republik Indonesia selama ini merupakan warisan kolonial Belanda dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah. Wetboek Van Strafrecht dilandasi oleh aliran klasik yang terfokus pada perbuatan atau tindak pidana terjadi, sehingga dalam perkembangannya sudah tertinggal jauh dan tidak lagi mengakomodir kepentingan pelaku. Sementara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), mendasarkan pada pemikiran Neo Klasik yang terfokus menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan) dan faktor subjektif (sikap batin), dimana tidak hanya tertuju pada perbuatan atau tindak pidana namun tertuju pada aspek individual pelaku.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat maka tingkat kejahatan semakin kompleks sehingga perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana materiil sudah dilakukan pemerintah dengan mengesahkan dan mengundangkan KUHP Baru pada tanggal 2 Januari 2023, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026, sedangkan pembaharuan hukum pidana formil (Rancangan KUHAP) saat ini masih dalam tahap pembahasan. Dalam Pasal 54 ayat (2) KUHH Baru memperkenalkan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Secara expressis verbis ketentuan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru menyatakan,”ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Menurut Penulis, konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) merupakan putusan yang dijatuhkan Majelis hakim kepada Terdakwa yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan namun Terdakwa tidak dikenakan pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) berasal dari Negara Belanda dengan merevisi Wetbook van Strafrecht Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a. Beberapa Negara yang telah menggunakan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah Belanda, Yunani, Portugal dan Uzbekistan. Tujuan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah untuk memberikan rasa keadilan kepada pelaku tindak pidana yang sifatnya ringan sehingga pemidanaan tidak merendahkan martabat manusia namun hakim wajib menegakan hukum dan keadilan. Dimana pemidanaan merupakan ultimum remedium adalah upaya terakhir dalam penegakan hukum. Selain itu, dengan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) untuk mengurangi overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan yang selama ini terjadi. Berpedoman dalam ketentuan Pasal 51 dan Pasal 52 serta Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, terdapat tujuan pemidanaan salah satunya adalah menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Kemudian dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Sehingga tujuan pemidanaan sangat relevan dengan Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Bahwa Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dapat dilihat dari 3 (tiga) kategori yakni: Ringannya perbuatanKeadaan pribadi pelakuKeadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian. Dalam KUHP Baru, untuk frasa ringannya perbuatan diatur dalam beberapa pasal yaitu: Tindak Pidana Penghinaan Ringan, diatur dalam Pasal 436, menyatakan penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis  yang dilakukan terhadap orang lain baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang  yang dihina tersebut  secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan  dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penganiayaan Ringan, diatur dalam Pasal 471, menyatakan selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana denda paling lama banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Pencurian Ringan, diatur dalam Pasal 478, menyatakan dilakukan tidak dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan harga barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dipidana karena pencurian ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penggelapan Ringan, diatur dalam Pasal 487, menyatakan jika yang digelapkan bukan ternak atau barang yang bukan sumber mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, dipidana karena penggelapan ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak pidana Penipuan Ringan, diatur dalam Pasal 494, menyatakan dipidana karena penipuan ringan dengan pidana denda paling banyak kategori II jika barang yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 492 bukan ternak, bukan sumber mata pencaharian, utang, atau piutang yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau nilai keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 493. Selanjutnya untuk frasa keadaan pribadi pelaku  dapat  berpedoman dalam Pasal 70  Ayat (1) KUHP Baru,  berbunyi dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan, jika dijumpai keadaan: Terdakwa adalah Anak;Terdakwa berumur di atas 70 (tujuh puluh) tahun;Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;Terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;Korban tindak pidana mendorong  atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut;Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;Pembinaan diluar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga dan/ atau;Tindak pidana terjadi karena kealpaan. Selanjutnya keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian.   Menurut Penulis  frasa keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian sebagai alasan pemaafan hakim  (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Bary, dimana  maksud frasa ini apakah perbuatan tindak pidana tersebut dilakukan direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte rade) atau tindak pidana tersebut dilakukan dengan kesengajaan (dolus) atau dilakukan karena kelalaian (culpa), kalau tindak pidana dilakukan dengan kelalaian (culpa) maka termasuk tindak pidana ringan, kemudian apakah tindak pidana tersebut masuk dalam tindak pidana percobaan (poging) atau tindak pidana yang merupakan delik yang selesai baik tindak pidana formil (menitik beratkan pada perbuatan dilarang) dan materil (menitik beratkan pada akibat dilarang), apabila tindak pidana dilakukan merupakan percobaan (poging) maka termasuk tindak pidana ringan dan selanjutnya apakah tindak pidana tersebut masuk dalam kategori tindak penyertaan yakni pleger, doen pleger, medepleger, uitloking, atau masuk dalam membantu tindak pidana (medeplictige), kalau ternyata pelaku hanya berperan sebagai medeplictige maka termasuk kategori tindak pidana ringan. Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) di Negara Belanda selain diatur dalam hukum pidana materiil juga diatur dalam hukum pidana formil. Di Negara Belanda mengenal 4 (empat) jenis putusan yakni putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas dan putusan pemaafan. KUHP yang saat ini berlaku (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) termasuk KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), sama sekali tidak mengatur mengenai konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon), sehingga ada kekosongan norma. Selama ini Hakim dalam menjatuhkan Putusan Perkara Pidana terhadap Terdakwa mengenal 3 (tiga) bentuk Putusan yakni: Putusan Pemidanaan (verrordeling). Jika Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 Ayat 1 KUHAP).Putusan bebas (vrij spraak). Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP).Putusan lepas (onslag van recht vervolging). Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat 2 KUHAP). Penulis mencermati adanya pertentangan antara Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 193 ayat (1) KUHAP dan Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP. Dimana konsep pemafaan hakim dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru, menyatakan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat menjadi dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenai tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam arti Majelis Hakim dalam putusan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana namun Terdakwa tidak dikenakan atau dijatuhi pidana baik pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Sedangkan dalam KUHAP saat ini, ketika Hakim dalam putusannya menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka Hakim dalam putusannya terhadap Terdakwa harus dijatuhi pidana atau tindakan. Apabila salah satunya tidak ada dijatuhi pidana atau tindakan maka mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) dan (2) KUHAP. Sehingga pengaturan terhadap Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) tidak dapat hanya diatur dalam KUHP Baru yang hanya memuat hukum pidana materil, namun pengaturan Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) harus diharmonisasikan dengan Rancangan KUHAP, sehingga adanya kepastian hukum. Sehingga konsep pemaafan hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru perlu diharmonisasikan dalam Rancangan KUHAP menjadi:Pemidanaan (verrordeling)Putusan Bebas (vrij spraaak),Putusan lepas (onslag van recht vervolging);Putusan pemaafan Hakim (rechterlik pardon)

FKDP Kupas Kontroversi Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Nasional

article | Berita | 2025-03-15 16:05:55

Jakarta- Kontroversi mengenai Pasal Penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden kembali mencuat. Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) mengenai Tindak Pidana Penghinaan Presiden Pasal 217-240 KUHP Nasional. Diskusi ini diinisiasi oleh Forum Kajian Dunia Peradilan(FKDP) sebuah kelompok diskusi yang digagas oleh para hakim di daerah. Diskusi yang ke-35 kali ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman hakim, praktisi hukum, dan masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidanaatau kerap disebut sebagai “KUHP Nasional” yang akan diberlakukan pada tahun 2026."FGD ini bukan sekadar diskusi satu arah, melainkan diskusi interaktifyang melibatkan seluruh peserta," kata Sekretaris FKDP, Aulia Ali Reza dalam sambutannya.Pada FGD kali ini, Galuh Wahyu Kumalasari (Hakim PN Tais) bertindak sebagai moderator, sementara Dzakky Hussein (Hakim PN Sarolangun) menjadi pemantik diskusi.Sejarah dan Kontroversi Pasal Penghinaan PresidenDalam KUHP lama, pasal penghinaan terhadapPresiden sebelumnya diatur dalam Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Namun, ketentuan ini kemudian dibatalkanoleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006, dengan alasan bertentangan denganUUD 1945.Sejarah mencatat bahwa ada tiga Presiden Indonesia pernah bersinggungan dengan pasal penghinaanPresiden yaitu Megawati Soekarnoputri, Susilo BambangYudhoyono, dan Joko Widodo. Menariknya, pada era Presiden Joko Widodo, pasal penghinaan Presiden telah dihapus, tetapi kasus serupa masih ditindak dengan Pasal310 KUHP tentang penghinaan umum serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Pro dan Kontra Pasal Penghinaan PresidenDiskusi berkembang dengan pertanyaan pemantikmengenai urgensi pengaturan kembali pasal penghinaanPresiden dalam KUHP Nasional. Padahal KUHP Nasional telah mengatur Pasal Penghinaan yang bersifat umum.Dzakky Hussein kemudian memaparkan pro dankontra atas munculnya kembali pasal ini. Sejumlah negaracenderung menghapus pasal penghinaan kepala negarakarena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat. Namun, di beberapa negara, pasal serupatetap dipertahankan sebagai bagian dari perlindunganterhadap martabat negara.Bagus Sujatmiko (Hakim PN Larantuka) menyorotibahwa konsep penghinaan terhadap raja dalam sistemmonarki tidak bisa serta-merta disamakan denganpenghinaan terhadap Presiden dalam sistem demokrasi. Ia merujuk pada putusan Haris Azhar dan Fatia, yang melahirkan kaidah bahwa “Pejabat publik harus siap dikritik”. Selain itu, ada pula putusan lain yang menegaskan kaidah hukum bahwa pasal penghinaantidak dapat diterapkan jika pernyataan yang disampaikanmerupakan kebenaran atau hasil sebuah penelitian.Penerapannya harus objektif atau patokannya pasal iniharus diterapkan pada hal-hal yang menyasar pribadi, fisikatau bahkan mengenai rasnya.Perbandingan dengan Negara LainDari perspektif internasional, Andi Ahsanal Zamakhsyari (Hakim PN Unaaha) yang tengahmenempuh studi di Turki membandingkan bagaimananegara tersebut mengatur pasal penghinaan terhadapkepala negara. Di Turki, penghinaan terhadap Kepala Negara merupakan tindak pidana berat karena Kepala Negara dianggap sebagai simbol martabat negara.Mayoritas negara yang mempertahankan pasalpenghinaan kepala negara adalah negara yang memilikilatar belakang sistem pemerintahan monarki. Sebaliknya, di negara-negara demokratis, pasal ini kerap menuai kritik karena kepala negara dianggap sebagai pejabat publikyang harus siap menerima aspirasi.Tantangan Penegakan HukumSebagai penutup, diskusi ini menyimpulkan bahwapenerapan Pasal Penghinaan Presiden yang termuat dalam Pasal 217 sampai dengan Pasal 240 KUHP Nasional menuntut aparat penegak hukum untuk cermat membedakan antara penghinaan yang menyerang kehormatan pribadi dengan kritik yang dilakukan untukkepentingan umum.

Ketua PT Bengkulu Sebut KUHP Belanda Bertumpu Balas Dendam, Tepat Diganti

article | Berita | 2025-03-12 11:10:12

Bengkulu- Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Bengkulu, Dr Lilik Mulyadi menyatakan KUHP Belanda bertumpu balas dendam. Oleh sebab itu sudah tepat KUHP Nasional menggantiannya dan mulai diterapkan pada 2 Januari 2026.“KUHP lama yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (Wvs) Belanda merupakan produk hukum kolonial yang masih bertumpu pada filosofi retributif atau lex talionis (balas dendam). Padahal, paradigma hukum pidana modern sudah mengarah pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Oleh karena itu, pembaruan KUHP menjadi suatu kebutuhan mendesak,” kata Lilik Mulyadi.Hal itu disampaikan dalam diskusi virtual yang berlangsung melalui zoom meeting dan kanal Youtube PT Bengkulu, Rabu (12/3/2025). Lilik memberikan pemaparan mendalam mengenai aspek krusial, implementatif, dan kebaruan yang terkandung dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Diskusi ini menyoroti urgensi pembaruan hukum pidana nasional, misi pembaruan yang diusung oleh KUHP baru, serta dampaknya terhadap kualitas putusan hakim di Indonesia.“Selain itu, KUHP lama dianggap tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan Indonesia,” ucap Lilik.Tidak adanya terjemahan resmi dari KUHP lama juga menjadi masalah dalam penerapannya. Lilik menekankan bahwa ketidaksamaan terjemahan yang digunakan oleh para ahli hukum seperti Moeljatno, Andi Hamzah, dan Soesilo kerap menimbulkan perbedaan tafsir dalam praktik peradilan.Misi Pembaruan Hukum dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 KUHP baru membawa lima misi utama, yakni:Dekolonialisasi – Menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi hukum pidana lama dengan mewujudkan keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Selain itu, UU ini juga mengatur standar pemidanaan yang lebih humanis serta alternatif sanksi yang lebih variatif.Demokratisasi – Menyesuaikan rumusan pasal dalam RKUHP dengan konstitusi serta mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian pasal-pasal KUHP lama.Konsolidasi – Penyusunan ulang ketentuan pidana secara menyeluruh dengan sistem rekodifikasi terbuka-terbatas.Harmonisasi – Menyesuaikan KUHP dengan perkembangan hukum nasional dan internasional, termasuk memperhatikan hukum yang hidup di masyarakat (living law).Modernisasi – Menggeser filosofi pemidanaan dari sekadar pembalasan klasik (daad-strafrecht) menjadi pendekatan yang lebih integratif, yang mempertimbangkan aspek perbuatan, pelaku, dan korban.Putusan Hakim Berkualitas sebagai Mahkota PeradilanLebih lanjut, Dr. Lilik Mulyadi menekankan pentingnya kualitas putusan hakim dalam menegakkan keadilan. Ia mengibaratkan putusan hakim sebagai ‘mahkota’ peradilan yang menjadi puncak bagi terdakwa sekaligus refleksi integritas dan kompetensi hakim. Bagi terdakwa, putusan hakim menentukan status hukum mereka serta menjadi dasar untuk mengambil langkah hukum selanjutnya, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Sementara bagi hakim, putusan merupakan cerminan penguasaan hukum, fakta, nilai keadilan, serta moralitas hakim itu sendiri.Dalam konteks ini, Lilik menekankan beberapa prinsip utama dalam penyusunan putusan yang berkualitas:Asas Incriminalibus Probationes Bedent Exxe Lusse Clariores – Dalam hukum pidana, pembuktian harus dilakukan dengan sangat jelas dan terang.Ketelitian dan Kehati-hatian – Putusan harus dibuat dengan penuh pertimbangan agar tidak terjadi kesalahan baik secara formal maupun materiil.Kepastian Hukum – Putusan hakim dianggap benar dan harus dilaksanakan sebelum dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi (res judicata pro veritate habetur).Otoritas Hakim – Hakim tidak perlu menjelaskan isi putusannya secara pribadi di luar persidangan (judicium semper pro veritate acciputir).Finalitas Putusan – Perkara harus ada akhirnya, sehingga tidak boleh ada ketidakpastian hukum yang berkepanjangan (litis finiri oportet).Dengan diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 2023, diharapkan sistem peradilan pidana Indonesia semakin sesuai dengan nilai-nilai nasional dan perkembangan hukum global. Reformasi ini bukan hanya tentang perubahan aturan, tetapi juga tentang pembentukan sistem peradilan yang lebih berkeadilan.Hingga berita ini diturunkan, sosialisasi masih berlangsung yang akan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab antara narasumber dan peserta. (IKAW/ASP/FAC)