Cari Berita

Akui Hukum Adat, PT Kupang Bebaskan 3 Terdakwa di Kasus Pencemaran Nama Baik

article | Sidang | 2025-04-23 11:20:38

Kupang- Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) membebaskan 3 terdakwa di kasus pencemaran nama baik. Sebelumnya mereka dihukum 2 bulan dan 4 bulan penjara.Perkara ini bermula dari laporan pasangan suami istri Fenasius Dae (Terdakwa II) dan Imelda Goti (Terdakwa III) terhadap Yohanes Dhosa Nay, yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap Imelda. Namun laporan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Akibatnya, pasangan itu membawa kasus ini ke Lembaga Pemangku Adat (LPA) yang dipimpin oleh Yakobus Ture Boro alias Kobus (Terdakwa I).Dalam penyelesaian secara adat, korban dipanggil untuk menjalani proses persidangan adat, namun menolak menjawab dan menolak bersumpah. Berdasarkan keterangan ahli adat, penolakan untuk bersumpah dalam hukum adat setempat dianggap sebagai bentuk pengakuan atas tuduhan yang diajukan.Atas dasar tersebut, ketiga terdakwa kemudian menjatuhkan sanksi adat berupa meneriakkan yel-yel di tempat umum yang dianggap sebagai bentuk pernyataan bersalah terhadap korban. Aksi tersebut lantas dianggap sebagai penistaan oleh korban, dan perkara pun bergulir ke ranah pidana dan para terdakwa didakwa dengan pasal 310 ayat (1) KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri (PN) Bajawa memutuskan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penistaan dan menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa I selama 2 (dua) bulan, Terdakwa II dan Terdakwa III masing-masing selama 4 (empat) bulan. Selain itu terhadap barang bukti berupa 1 (satu) lembar surat pernyataan tetap terlampir dalam berkas perkara masing-masing sejumlah Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah). Namun, dalam putusan banding, majelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan putusan sebelumnya.“Perbuatan Terdakwa I, Terdakwa II, dan Terdakwa III berupa meneriakkan yel-yel tersebut telah diatur atau dilindungi oleh ketentuan hukum adat setempat yang masih hidup dalam masyarakat, dalam arti masih relevan untuk diberlakukan,” demikian bunyi pertimbangan majelis hakim dikutip oleh DANDAPALA, Rabu (23/4/2025).Majelis juga menilai bahwa korban yang mengaku merasa martabatnya diserang, justru sebelumnya telah melukai kehormatan Terdakwa II dan III melalui perbuatan kekerasan seksual terhadap istri orang. Dalam konteks hukum adat, perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap norma-norma sosial-komunal.Dengan pertimbangan tersebut, majelis hakim tingkat banding menyatakan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penistaan sebagaimana dakwaan tunggal penuntut umum. Mereka dibebaskan dari segala dakwaan, dipulihkan hak-haknya, serta barang bukti berupa satu lembar surat pernyataan dikembalikan kepada Terdakwa II. Biaya perkara dibebankan kepada negara.Putusan ini diputus pada 25 Maret 2025. Duduk selaku etua majelis yaitu Pujo Saksono dengan anggota Slamet Suripto dan Agnes Hari Nugraheni.Putusan ini menjadi preseden penting dalam pengakuan hukum adat sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian konflik yang sah di luar jalur hukum formal. Terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut martabat, kehormatan, dan relasi sosial dalam masyarakat adat. (asp/asp)

Jejak Prasasti Jayapatra, Bukti Hukum Acara Pengadilan di Jawa Abad ke-9 M

article | History Law | 2025-04-19 14:35:25

PADA zaman masyarakat Jawa Kuno putusan-putusan pengadilan pada umumnya ditulis di dalam prasasti yang dinamakan Prasasti Jayapatra. Prasasti Jayapatra pada prinsipnya berisi catatan kemenangan dalam perkara hukum yang diberikan kepada pihak yang menang baik masalah sengketa utang-piutang maupun masalah kewarganegaraan yang lainnya. Di dalam Prasasti Jayapatra bisa diketahui pihak yang kalah dan menang dan juga bagaimana proses pengadilan serta pejabat hukum yang ada pada masa itu. Pada abad 9-10 Masehi masyarakat Jawa Kuno berada dalam kekuasaan kerajaan Mataram Kuno. Struktur kerajaan Mataram Kuno terbagi atas 3 kesatuan wilayah yaitu Rajya (pusat), Watak (daerah), dan Wanua (desa). Di tingkat pusat raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi termasuk juga pengadilan. Dalam menjalankan tugasnya raja dibantu oleh pejabat tinggi kerajaan yang bergelar Samgat yaitu Samgat Tiruan dan Samgat Manhuri. Samgat Tiruan merupakan pejabat tinggi kerajaan golongan pertama yang mempunyai kedudukan dan hak yang sama dengan para putera raja. Sementara itu, Samgat Manhuri merupakan pejabat tinggi kerajaan tingkatan golongan kedua yang kedudukannya berada di bawah Samgat Tiruan.Kemudian, di tingkat Watak kekuasaan dalam menjalankan pengadilan berada di tangan Samgat yaitu Samgat Pinapan yang bernama Pu Gawul dan Pu Gallam. Selain Samgat Pinapan, juga terdapat Samgat Padan, Samgat Lucem, dan Samgat Juru. Pada waktu itu, seorang hakim haruslah seorang pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab sastra. Seorang hakim tidak boleh bingung menghadapi kesulitan dalam mencari persesuaian antara astadasawyawahara dengan hukum adat. Pandangannya harus tegas karena pengetahuan seorang hakim harus mendalam karena dianggap sudah memahami semua kitab sastra. Seorang hakim harus mampu memberikan keputusan dalam pengadilan atas semua sengketa yang terjadi di antara penduduk kerajaan. Seorang hakim juga harus ahli dalam salah satu atau berbagai cabang ilmu. Berjalannya Perkara di PengadilanPada prinsipnya, penyelesaian sengketa perdata pada masyarakat Jawa Kuno dapat diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan jalan damai. Namun apabila tidak bisa sepakat damai, maka perkara tersebut dapat diajukan melalui pejabat pengadilan yang terdapat di Watak. Apabila perkara tersebut tidak dapat diselesaikan di tingkat Watak, maka perkara tersebut akan diajukan ke tingkat pusat. Sama seperti kehidupan modern saat ini, apabila suatu perkara ingin diselesaikan melalui institusi pengadilan masyarakat harus membayar biaya administrasi yang telah ditentukan. Ketika perkara sudah masuk ke dalam pengadilan, pejabat pengadilan akan memanggil para pihak untuk didengarkan keterangannya di dalam persidangan. Ketika sudah selesai diperiksa kemudian hakim akan menjatuhkan putusan. Bagi pihak yang kalah pada umumnya sanksinya adalah denda. Sementara itu, bagi pihak yang menang akan diberikan tanda bukti kemenangan berupa Surat Jayapatra sebagai bukti apabila di kemudian hari si pemenang digugat kembali oleh seseorang. Dalam hal pembuktian ketika di dalam persidangan, terdapat 3 (tiga) jenis alat bukti yang diakui pada saat itu yaitu Saksi, Likhita, dan Bhukti. Dalam hal ini, Bhukti adalah alat bukti yang paling kuat dan Saksi adalah alat bukti yang paling lemah. Berikut penjelasan mengenai alat bukti:SaksiPada prinsipnya, saksi adalah orang lain yang menyaksikan atau mengalami sendiri suatu peristiwa. Dalam hal ini, terdapat 3 jenis saksi yaitu: (1) Saksi yang melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa; (2) Saksi yang memang sengaja diminta untuk menyaksikan suatu perbuatan hukum seperti menyaksikan pelunasan suatu hutang atau jual beli tanah; (3) Saksi yang mendengar suatu peristiwa dari orang lain (hearsay). Selanjutnya, terkait dengan jumlah saksi seorang tergugat baru dapat dikatakan bersalah bila telah dibuktikan minimal 3 orang saksi. Apabila saksi yang dihadirkan kurang dari 3 orang, maka penggugat wajib menghadirkan alat bukti yang lain.Selanjutnya, terkait dengan syarat untuk menjadi saksi yaitu laki-laki yang sudah berkeluarga, penduduk asli, orang terpercaya yang benar-benar mengerti tentang tugas dan kewajibannya, dan orang yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara itu dengan tujuan agar keterangannya objektif. Sementara itu, orang yang tidak dapat dijadikan saksi adalah orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara seperti teman atau sekutu, terhukum, orang yang sakit keras, raja, para tukang dan pandai, para pendeta yang telah meninggalkan keduniawian, siswa spirituil yang sedang belajar weda, brahmana ahli, budak, orang yang tercemar namanya, pelayan, orang yang menduduki jabatan terlarang, orang tua, orang cacat, anak kecil, orang dari kasta terendah, orang yang sedang berduka, pemabuk, orang gila, orang yang menderita lapar dan haus, orang yang tertekan karena lelah, orang yang tersiksa oleh nafsu, orang yang pemarah, dan pencuri.     2. Likhita (keterangan tertulis)Pada prinsipnya Likhita merupakan suatu akte yang sengaja dibuat sebagai alat bukti dari sebuah perbuatan hukum. Kekuatan pembuktian Likhita lebih kuat dari Saksi. Secara umum. Likhita dibagi menjadi dua yaitu: (1) Akte yang dibuat oleh pejabat yang berwenang; (2) Akte yang dibuat sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, baik akte yang dibuat oleh pejabat yang berwenang maupun akte yang dibuat oleh para pihak mempunyai kekuatan pembuktian yang sama sebagai alat bukti tertulis.    3. Bhukti Pengertian dari Bhukti adalah sesuatu yang telah dilakukan oleh para pihak sebagai akibat dari suatu perjanjian atau bisa juga sesuatu yang telah dinikmati. Bhukti merupakan alat bukti terkuat di antara alat bukti yang lain. Dalam hal ini, contoh dari Bhukti yaitu pembayaran cicilan hutang atau gadai. Dalam perkara hutang-piutang yang termasuk dalam Bhukti adalah pembayaran bunga bulanan atau tahunan. Selain itu, dalam perkara sengketa tanah yang termasuk dalam Bhukti adalah keterangan atau informasi bahwa si pemilik tanah sudah bertahun-tahun menikmati hasil dari tanahnya tanpa ada yang menggugat.  Selanjutnya, setelah pembuktian selesai Samgat akan menjatuhkan putusan mengabulkan atau menolak gugatan. Bagi pihak yang kalah mendapatkan hukuman berupa denda sementara itu bagi pihak yang menang akan diberikan surat tanda bukti kemenangan berupa Surat Jayapatra untuk disimpan. Hal ini bertujuan agar perkara tersebut tidak diungkit-ungkit lagi (AAR/YBB)Referensi:Proses Pengadilan Pada Masyarakat Jawa Kuno Jaman Mataram Abad IX-X Masehi Berdasarkan Prasasti Jayapatra (Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1987)https://www.merahputih.com/post/read/susunan-pengadilan-dalam-kerajaan-majapahit https://historia.id/kuno/articles/main-judi-masa-jawa-kuno-vYMd5/page/5