Cari Berita

Sangkalon, Lambang Hukum dan Keadilan Masyarakat Mandailing

Iwan Lamganda Manalu-Hakim PN Mandailing Natal - Dandapala Contributor 2025-10-04 08:25:57
Dok. Penulis.

Patung Sangkalon berasal dari adat Mandailing memiliki wujud yang khas berupa makhluk hibrida yaitu gabungan figur manusia dengan kepala hewan yang disederhanakan yang mewakili kekuatan alamiah yang kejam, berbeda dari representasi keadilan yang ideal dan rasional.

Secara visual, Patung ini selalu memperlihatkan Sangkalon menjepit atau memegang figur manusia di hadapannya, siap menelan kepalanya dengan mulut yang menganga lebar. Umumnya, patung ini memiliki tinggi sekitar 100 cm dan lebar 30 cm.

Budaya di Mandailing Natal yang berada di Provinsi Sumatera Utara ini banyak dipengaruhi oleh budaya megalitik secara khusus penempatan hewan kurban (kerbau) dalam upacara adat untuk menegakkan tatanan.

Baca Juga: Saharjo: Dari Hakim, Menteri hingga Ganti Dewi Yustisia dengan Pohon Beringin

Patung sangkalon biasanya ditempatkan di halaman depan bangunan Bagas Godang (Istana Raja). Patung tersebut diletakkan mengapit tangga menuju bangunan utama. Posisinya selaras dengan arah hadap Bagas Godang (rumah adat Mandailing).

Namun kadang diletakkan di Sopo Godang (Balai Sidang Adat) bahkan kadang disimpan di bagian dalam Bagas Godang. Hal ini tentunya memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai simbol kedaulatan moral absolut dan simbol otoritas yudisial, artinya sangkalon berfungsi sebagai saksi bisu dan penjamin keadilan dalam setiap proses peradilan adat.

Kehadiran Sangkalon di kedua lokasi tersebut yakni pusat kekuasaan (Bagas Godang) dan ruang penghakiman (Sopo Godang) bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip keadilan harus senantiasa hadir dan dihormati di mana pun keputusan dibuat, baik yang bersifat administratif maupun yudisial.

Sangkalon sebagai Teori Keadilan Absolut

Filsafat hukum Sangkalon diwujudkan dalam julukannya yang mengerikan: “Si pangan anak si pangan boru” (Si pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan). Julukan ini bukan sekadar metafora, melainkan pernyataan filosofis tentang sifat keadilan yang ekstrem dan tanpa kompromi.

 Makna filosofis mendasar dari ungkapan tersebut adalah bahwa menegakkan keadilan menuntut kesediaan untuk mengorbankan bahkan memberikan hukuman terberat seperti "membunuh" anggota keluarga terdekat, misalnya anak kandung sendiri jika mereka terbukti bersalah atas pelanggaran serius. Ini merupakan bentuk manifestasi paling ekstrem dari prinsip imparsialitas (bahwa keadilan tidak pandang bulu).

Prinsip moral yang mutlak ini menjadi landasan bagi para pemegang kekuasaan adat (pemimpin adat) untuk menjalankan fungsi peradilan (yudisial) mereka secara independent tanpa terikat atau dipengaruhi oleh hubungan darah, ikatan kekeluargaan, atau hierarki sosial.

Secara filosofis, keberadaan Sangkalon menolak gagasan penguasa yang sewenang-wenang dan kebal hukum, namun justru memastikan hukum adat berlaku untuk semua tanpa pandang bulu yang sering dikenal hukum sebagai panglima tertinggi.

Jika dibandingkan dengan representasi keadilan Barat (Themis atau Justitia), Sangkalon mengandalkan representasi ancaman yang kejam dan konsekuensi yang mengerikan untuk menegakkan ketakutan primordial terhadap hukum. sedangkan Dewi Keadilan mengandalkan timbangan (rasionalitas) dan mata tertutup (imparsialitas prosedural).

Sangkalon dilaksanakan dalam struktur peradilan adat yakni dalam sidang adat pada Sopo Godang (Balai Sidang Adat) yang sifatnya terbuka. Proses pembentukan dan penerapan hukum adat dilakukan oleh seorang Raja Adat yang kemudian dibantu oleh struktur adat dalihan natolu yakni Mora, Kahanggi, dan Anak Boru. Serta dikuatkan pendapat dari para pemuka agama (Malim) yang ada di masyarakat.

Penerapan hukum di Mandailing didasarkan pada ungkapan adat yang menjelaskan langkah-langkah yudisial yaitu: “muda tartiop opatna, ni paspas naraco holing, ni ungkap buntil ni adat, ni suat dokdok ni hasalaan, ni dabu utang dohot baris”.

Ungkapan tersebut memiliki arti bahwa seseorang hanya dapat diadili jika syarat-syarat telah terpenuhi (muda tartiop opatna). Proses penghukuman harus diukur atau ditimbang menggunakan Naraco Holing (ni paspas naraco holing). Timbangan ini berfungsi untuk menilai beratnya kesalahan (dokdok ni hasalaan) dan menentukan hukuman yang proporsional (ni dabu utang dohot baris).

Patung Sangkalon merupakan manifestasi fisik yang melampaui sekadar warisan budaya; ia adalah representasi nyata dari filsafat hukum adat Mandailing yang unik dan berpandangan jauh ke depan.

Sangkalon berdiri sebagai simbol keadilan yang absolut dan tidak memihak (imparsial), yang terkandung dalam julukan "Si pangan anak si pangan boru" (yang memakan anak dan yang memakan putri).

Prinsip ini berfungsi sebagai alat kendali (mekanisme kontrol) kekuasaan, menegaskan bahwa hukum adalah otoritas tertinggi melampaui otoritas Raja maupun ikatan kekeluargaan. Filosofi mendalam ini dalam penerapannya disempurnakan oleh Naraco Holing di Sopo Godang. Hal ini memperlihatkan betapa sistematis dan matangnya pranata hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing. (ldr)

Baca Juga: Perluas Akses Keadilan, PN Mandailing Natal Gelar Sidang Zitting Plaats

Referensi:

Susilowati, Nenggih. Sisa Tradisi Megalitik Pada Budaya Materiil Masyarakat Mandailing, Balai Arkeologi Medan, Sangkhakala_Vol.XV_No.1-2012.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI