Patung
Sangkalon berasal dari adat
Mandailing memiliki wujud yang khas berupa
makhluk hibrida yaitu gabungan figur manusia dengan kepala hewan yang
disederhanakan yang mewakili kekuatan alamiah yang kejam, berbeda
dari representasi keadilan yang ideal dan rasional.
Secara
visual, Patung ini selalu memperlihatkan Sangkalon menjepit atau memegang figur
manusia di hadapannya, siap menelan kepalanya dengan mulut yang menganga lebar.
Umumnya, patung ini memiliki tinggi sekitar 100 cm dan lebar 30 cm.
Budaya
di Mandailing Natal yang berada di Provinsi Sumatera Utara ini banyak dipengaruhi
oleh budaya megalitik secara khusus penempatan hewan
kurban (kerbau) dalam upacara adat untuk menegakkan tatanan.
Baca Juga: Saharjo: Dari Hakim, Menteri hingga Ganti Dewi Yustisia dengan Pohon Beringin
Patung sangkalon
biasanya ditempatkan di halaman depan bangunan Bagas Godang (Istana
Raja). Patung tersebut diletakkan mengapit tangga menuju bangunan utama.
Posisinya selaras dengan arah hadap Bagas Godang (rumah adat Mandailing).
Namun kadang diletakkan
di Sopo Godang (Balai Sidang Adat) bahkan kadang disimpan di bagian
dalam Bagas Godang. Hal ini tentunya memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai simbol
kedaulatan moral absolut dan simbol otoritas yudisial, artinya sangkalon
berfungsi sebagai saksi bisu dan penjamin keadilan dalam setiap proses
peradilan adat.
Kehadiran
Sangkalon di kedua lokasi tersebut yakni pusat kekuasaan (Bagas Godang) dan
ruang penghakiman (Sopo Godang) bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip
keadilan harus senantiasa hadir dan dihormati di mana pun keputusan dibuat,
baik yang bersifat administratif maupun yudisial.
Sangkalon sebagai Teori
Keadilan Absolut
Filsafat hukum
Sangkalon diwujudkan dalam julukannya yang mengerikan: “Si pangan anak si
pangan boru” (Si pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan). Julukan
ini bukan sekadar metafora, melainkan pernyataan filosofis tentang sifat
keadilan yang ekstrem dan tanpa kompromi.
Makna filosofis mendasar dari ungkapan
tersebut adalah bahwa menegakkan keadilan menuntut kesediaan untuk mengorbankan
bahkan memberikan hukuman terberat seperti "membunuh" anggota
keluarga terdekat, misalnya anak kandung sendiri jika mereka terbukti bersalah
atas pelanggaran serius. Ini merupakan bentuk manifestasi paling ekstrem dari
prinsip imparsialitas (bahwa keadilan tidak pandang bulu).
Prinsip moral yang
mutlak ini menjadi landasan bagi para pemegang kekuasaan adat (pemimpin adat)
untuk menjalankan fungsi peradilan (yudisial) mereka secara independent tanpa
terikat atau dipengaruhi oleh hubungan darah, ikatan kekeluargaan, atau
hierarki sosial.
Secara filosofis,
keberadaan Sangkalon menolak gagasan penguasa yang sewenang-wenang dan kebal
hukum, namun justru memastikan hukum adat berlaku untuk semua tanpa pandang
bulu yang sering dikenal hukum sebagai panglima tertinggi.
Jika dibandingkan
dengan representasi keadilan Barat (Themis atau Justitia), Sangkalon
mengandalkan representasi ancaman yang kejam dan konsekuensi yang mengerikan
untuk menegakkan ketakutan primordial terhadap hukum. sedangkan Dewi Keadilan
mengandalkan timbangan (rasionalitas) dan mata tertutup (imparsialitas
prosedural).
Sangkalon dilaksanakan dalam
struktur peradilan adat yakni dalam sidang adat pada Sopo Godang (Balai
Sidang Adat) yang sifatnya terbuka. Proses pembentukan dan penerapan hukum adat
dilakukan oleh seorang Raja Adat yang kemudian dibantu oleh struktur adat
dalihan natolu yakni Mora, Kahanggi, dan Anak Boru. Serta dikuatkan
pendapat dari para pemuka agama (Malim) yang ada di masyarakat.
Penerapan hukum di
Mandailing didasarkan pada ungkapan adat yang menjelaskan langkah-langkah
yudisial yaitu: “muda tartiop opatna, ni paspas naraco holing, ni ungkap
buntil ni adat, ni suat dokdok ni hasalaan, ni dabu utang dohot baris”.
Ungkapan tersebut
memiliki arti bahwa seseorang hanya dapat diadili jika syarat-syarat telah
terpenuhi (muda tartiop opatna).
Proses penghukuman harus diukur atau ditimbang menggunakan Naraco Holing (ni paspas naraco holing). Timbangan ini
berfungsi untuk menilai beratnya kesalahan (dokdok
ni hasalaan) dan menentukan hukuman yang proporsional (ni dabu utang dohot baris).
Patung Sangkalon
merupakan manifestasi fisik yang melampaui sekadar warisan budaya; ia adalah
representasi nyata dari filsafat hukum adat Mandailing yang unik dan
berpandangan jauh ke depan.
Sangkalon berdiri
sebagai simbol keadilan yang absolut dan tidak memihak (imparsial), yang
terkandung dalam julukan "Si pangan anak si pangan boru" (yang
memakan anak dan yang memakan putri).
Prinsip ini berfungsi
sebagai alat kendali (mekanisme kontrol) kekuasaan, menegaskan bahwa hukum
adalah otoritas tertinggi melampaui otoritas Raja maupun ikatan kekeluargaan.
Filosofi mendalam ini dalam penerapannya disempurnakan oleh Naraco Holing
di Sopo Godang. Hal ini memperlihatkan betapa sistematis dan matangnya pranata
hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing. (ldr)
Baca Juga: Perluas Akses Keadilan, PN Mandailing Natal Gelar Sidang Zitting Plaats
Referensi:
Susilowati, Nenggih. Sisa Tradisi Megalitik Pada Budaya Materiil Masyarakat Mandailing, Balai Arkeologi Medan, Sangkhakala_Vol.XV_No.1-2012.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI