Pesisir Laut: Ruang Hidup yang Harus Dilindungi
Ketika garis pantai berubah karena reklamasi, ketika
mangrove hilang demi pelabuhan baru, dan ketika nelayan kehilangan ruang
tangkapnya karena tambang pasir laut, serta ketika nelayan kehilangan akses
menuju tempat pencahariannya. Kita sadar bahwa laut bukan sekedar hamparan
biru.
Laut adalah ruang hidup yang harus diatur dan dijaga.
Untuk itu, negara menghadirkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang Laut (PKKPRL).
Baca Juga: Mengenal Jenis Sanksi Hukum di Jawa Abad ke-18, dari Cambuk hingga Dibuang
Instrumen ini memastikan bahwa setiap kegiatan ekonomi di laut, mulai dari pariwisata, pelabuhan, energi, hingga reklamasi, sesuai dengan tata ruang laut dan tidak merusak ekosistem. Namun, pelanggaran PKKPRL masih kerap terjadi. Bagaimana hukum merespons hal ini?
Apa Itu PKKPRL?
PKKPRL adalah izin dari pemerintah agar pemanfaatan ruang
laut sesuai rencana tata ruang. Dasarnya antara lain, adalah UU No. 27 Tahun
2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, serta UU
No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pelaksanaannya ditegaskan dalam Permen KP No. 28 Tahun 2021. PKKPRL bukan sekedar dokumen administratif. Ia adalah alat untuk menjaga keberlanjutan ekologi laut dan memastikan keadilan antar pengguna ruang laut. Pelanggaran terhadapnya bisa berujung pada sanksi administratif maupun pidana.
Siapa yang Terlibat?
Pelanggaran PKKPRL tidak hanya dilakukan oleh
perusahaan besar yang menggarap reklamasi atau tambang pasir laut. Kadang
pemerintah daerah ikut bersalah karena lalai mengawasi, bahkan aparat bisa
lemah dalam penegakan hukum.
Siapa yang paling dirugikan? Tentunya adalah masyarakat pesisir, di mana nelayan tradisional kehilangan wilayah tangkap, komunitas adat pesisir kehilangan hak ulayat, dan generasi mendatang mewarisi laut yang telah terdegradasi.
Dimana berlakunya PKKPRL?
PKKPRL berlaku di seluruh laut Indonesia, dari pesisir hingga zona ekonomi eksklusif (ZEE). Tetapi kasus pelanggaran banyak ditemukan di kawasan dengan nilai ekonomi tinggi, seperti Teluk Jakarta, Kepulauan Riau, hingga beberapa kawasan wisata di Bali adalah contoh lokasi yang rawan. Laut Indonesia adalah ruang strategis nasional. Tanpa PKKPRL, ia akan jadi rebutan kepentingan ekonomi yang tak terkendali.
Sejak kapan berlaku?
PKKPRL menjadi wajib setelah UU Cipta Kerja lahir
tahun 2020 dan peraturan turunannya ditegakkan tahun 2021. Artinya, sejak 2021
hingga kini, semua pemanfaatan ruang laut wajib memiliki PKKPRL.
Namun, dalam praktiknya, banyak kegiatan berjalan tanpa izin atau menyalahgunakan izin. Data menunjukkan tren pelanggaran meningkat dalam lima tahun terakhir, seiring derasnya pembangunan proyek strategis di wilayah laut.
Mengapa sanksi perlu ditegakkan?
Pertanyaan sederhana adalah mengapa kita perlu tegas
menegakkan sanksi?
Pertama, karena laut adalah ruang
ekologi yang rapuh. Sekali rusak, sulit dipulihkan.
Kedua, karena pelanggaran PKKPRL
merugikan negara dan masyarakat.
Ketiga, karena penegakan hukum
masih inkonsisten, seperti ada yang hanya kena teguran, ada pula yang langsung
diproses pidana.
Tanpa kepastian hukum, pelanggaran akan terus terjadi. Itulah pentingnya pemetaan sanksi terhadap pelanggan ketentuan PKKPRL agar jelas, tegas, dan konsisten.
Bagaimana bentuk sanksinya?
Hukum Indonesia mengatur dua jenis sanksi:
administratif dan pidana.
- Sanksi Administratif
(Pasal 32 Permen KP 28/2021, Pasal 75-77 UU PWP3K):
● Peringatan tertulis.
● Penghentian sementara
kegiatan.
● Pembekuan atau pencabutan
PKKPRL.
● Kewajiban pemulihan
lingkungan.
● Sanksi ini cepat, fleksibel, dan fokus menghentikan pelanggaran.
- Sanksi Pidana (jika
dampaknya serius, sesuai UU PWP3K, UU Kelautan, UU Lingkungan Hidup):
● Penjara maksimal 10 tahun.
● Denda maksimal Rp10 miliar.
● Prinsipnya, pidana adalah ultimum remedium, sehingga jalan terakhir ketika kerusakan sudah fatal.
Matriks ini menegaskan tentang sanksi berlapis, mulai dari administratif hingga pidana.
Matriks Singkat Pelanggaran–Sanksi
Jenis Pelanggaran PKKPRL |
Dasar Hukum |
Sanksi Administratif |
Sanksi Pidana |
Memanfaatkan ruang laut
tanpa PKKPRL |
Pasal 73 UU PWP3K |
Pencabutan izin, pemulihan
lingkungan |
Penjara max 10 thn, denda
max Rp10 M |
Menyalahgunakan PKKPRL
(izin berbeda dengan kegiatan) |
Pasal 77 UU PWP3K |
Pembekuan, pencabutan
PKKPRL |
Penjara max 10 thn, denda
max Rp10 M |
Pemanfaatan ruang laut
menimbulkan kerusakan lingkungan |
Pasal 55 UU Kelautan, Pasal
98 UU LH |
Pemulihan ekosistem wajib |
Penjara 3–10 thn, denda
Rp3–10 M |
Mengabaikan kewajiban
masyarakat pesisir |
Pasal 60 UU PWP3K |
Penghentian kegiatan |
Penjara max 5 thn, denda
Rp2 M |
Rekomendasi
Sebagai opini, penulis menilai pemerintah harus konsisten
dalam menegakkan hukum. Tidak boleh ada kompromi untuk pelanggaran PKKPRL.
Langkah pertama adalah penguatan sanksi administratif.
Peringatan dan pencabutan izin harus dijalankan tanpa pandang bulu. Tetapi jika
pelanggaran menimbulkan kerugian besar, merusak ekosistem, atau merugikan
nelayan, sanksi pidana wajib ditegakkan.
Selain itu, pengawasan perlu melibatkan masyarakat pesisir. Mereka yang sehari-hari hidup dari laut punya kepentingan langsung untuk menjaganya. Jika mereka dilibatkan, pengawasan akan lebih kuat, transparan, dan partisipatif.
PKKPRL adalah kompas hukum yang menuntun pembangunan
laut agar tetap seimbang antara ekonomi dan ekologi. Tanpa kepatuhan
terhadapnya, laut akan jadi korban eksploitasi.
Pemetaan sanksi hukum penting agar semua pihak paham
konsekuensi pelanggaran. Hukum yang ditegakkan konsisten akan memberi efek jera
dan melindungi hak masyarakat pesisir. Pada akhirnya, laut adalah wajah masa
depan kita. Menjaganya berarti menghormati hukum, melindungi rakyat, dan
memastikan keberlanjutan bangsa. (ldr)
Baca Juga: Histori dan Prinsip Representasi dalam Pengaturan Sanksi Pidana
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI