Cari Berita

Mencari Akar Gratifikasi: Dari Romawi, Sriwijaya hingga UU Tipikor

article | Opini | 2025-05-28 09:10:48

ISTILAH gratifikasi sudah dikenal sejak zaman Romawi kuno. Di mana pada saat itu gratifikasi yang dikenal di mana individu memberikan hadiah kepada pejabat publik yang saat itu berpengaruh dengan harapan dari pemberiannya tersebut, akan mendapat perlakuan khusus berupa keuntungan yang didapat. Praktik gratifikasi di Indonesia pada awalnya ditemukan dalam catatan seorang Biksu Buddha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke-7, di mana pedagang dari Champa serta Cina yang datang berusaha untuk membuka perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya yang pada saat itu yaitu pada tahun 671 M merupakan pusat perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Para pedagang dari Champa dan Cina tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga kerajaan Sriwijaya pada saat akan bertemu pihak kerajaan Sriwijaya untuk membahas mengenai masalah perdagangan. Praktik pemberian tersebut dimaksud untuk mempermudah komunikasi dan menjalin hubungan baik antara pedagang dari Champa dan Cina agar dikenal baik oleh kerajaan Sriwijaya.Berdasarkan catatan sejarah di atas, pada prinsipnya tujuan dari pemberian gratifikasi merupakan upaya untuk memperoleh manfaat baik langsung maupun tidak langsung agar terhadap kepentingan dari si pemberi dapat diperhatikan oleh pejabat publik atau penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu kebijakan. Praktik gratifikasi yang saat ini ada di masyarakat, menganggap bahwa pemberian hadiah/gratifikasi merupakan sesuatu yang lumrah bahkan merupakan sesuatu hal yang penting dalam hal “kohesi sosial” dalam masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, apabila terhadap praktik gratifikasi ini tidak diatur, maka dikhawatirkan sebagai cikal bakal dari praktik korupsi di kemudian hari. Oleh sebab itu, praktik gratifikasi seyogyanya perlu untuk diatur dalam ketentuan peraturan guna membatasi terhadap praktik-praktik gratifikasi yang lebih mengarah kepada upaya “balas budi” bagi si penerima kepada si pemberi yang mengakibatkan kebijakan yang dikeluarkan tidak bersifat objektif dan sarat akan konflik kepentingan. Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan gratifikasi di Indonesia serta ratio legis dari pengaturan tersebut.Pengaturan GratifikasiPengaturan gratifikasi saat ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) yang mana dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) yang mendefinisikan bentuk dari gratifikasi. Dengan demikian, sebagai upaya untuk menghindari konflik kepentingan tersebut, Mahkamah Agung selaku penyelenggara negara telah membuat kebijakan dan pedoman melalui Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025 tentang Petunjuk Teknis dan Pelaksanaan Pengendalian Gratifikasi pada Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, serta telah diikuti dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pelaporan Gratifikasi sebagai bentuk mendorong pencegahan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan Mahkamah Agung termasuk di dalamnya badan peradilan umum.Apabila dicermati dalam ketentuan Pasal 12 B ayat 1, UU 20/2001, definisi dari gratifikasi hanya sebatas pada bentuk gratifikasi bukan definisi yang menjelaskan apa itu gratifikasi. Oleh sebab itu, makna gratifikasi dalam Pasal 12 B ayat 1 memiliki makna yang netral, yaitu bisa bermakna positif dan juga bermakna negatif, itulah yang menyebabkan terhadap gratifikasi ada yang berupa gratifikasi wajib dilaporkan, dan tidak wajib dilaporkan berdasarkan kriteria dan ketentuan yang telah diatur. Sifat netral dalam definisi gratifikasi itulah yang menyebabkan kalimat dalam peraturan disebut sebagai “pengendalian” bukan “pencegahan” sebab pada dasarnya tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan gratifikasi yang terbatas pada unsur Pasal 12 B ayat 1 UU 20/2001 dan peraturan lainnya yang termasuk ke dalam kategori gratifikasi yang dilarang atau dengan kata lain, gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan/atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas pada prinsipnya wajib ditolak dan penolakan wajib dilaporkan sebagaimana termuat dalam Keputusan Bawas Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025;Pelaporan atas penerimaan gratifikasi yang wajib dilaporkan merupakan sesuatu hal yang penting, karena terhadap gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang termasuk ke dalam gratifikasi yang wajib dilaporkan, yaitu yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban tugasnya, dianggap sebagai pemberian suap apabila tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Oleh sebab itu, Keputusan Bawas Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025 memberikan pedoman untuk pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) yang terdiri atas UPG Pusat dan UPG Satuan Kerja yang memiliki tugas di antaranya adalah; (i) Menerima, menganalisis, dan mengadministrasikan laporan penerimaan gratifikasi dari hakim dan aparatur pengadilan; (ii) Meneruskan laporan penerimaan gratifikasi kepada KPK; dan (iii) Melakukan sosialisasi aturan gratifikasi kepada pihak internal dan eksternal. Hal itu sebagai wujud rasa semangat dari Mahkamah Agung guna melakukan pengendalian terhadap penerimaan gratifikasi.Menghindari Konflik KepentinganMemahami gratifikasi dengan cara membedakan suatu pemberian hadiah yang merupakan ke dalam kategori dilarang atau diperbolehkan, dapat dilihat dari sebuah contoh kasus ketika seorang siswa yang datang kepada guru untuk meminta fotokopi dari rangkuman materi pelajaran lalu guru tersebut memberikan, maka hal tersebut merupakan pemberian antara siswa dan guru yang wajar dan diperbolehkan. Hal ini akan berbeda ketika orang tua siswa datang kepada guru lalu memberikan sejumlah uang pada saat pengambilan rapor dengan harapan agar nilai dari si anak dapat diperhatikan, merupakan pemberian gratifikasi yang ilegal atau dilarang sebab terdapat konflik kepentingan atau bertolak belakang dengan kewajiban atau tugas;Dengan kata lain, pemberian hadiah kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri perlu untuk mengidentifikasi terkait dengan; (i) apa motif dari pemberian hadiah tersebut, apakah berkaitan dengan tugas dan kewajiban atau dapat memengaruhi keputusan sebagai pejabat publik; (ii) apakah pemberian tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di suatu masa yang akan datang; dan (iii) bagaimana kepantasan nilai dan frekuensi pemberian yang diterima. Ketiga ukuran tersebut merupakan sesuatu yang beralasan mengingat pemberian hadiah kepada penyelenggara negara dapat berakibat pada terbentuknya konflik kepentingan, selain dikhawatirkan dapat memengaruhi pembuatan kebijakan ke depannya juga akan berdampak pada; (i) memengaruhi objektivitas dan profesionalitas; (ii) mengaburkan tindak pidana korupsi; dan (iii) adanya vested interest dan kewajiban timbal balik sehingga tidak lagi independen.Oleh sebab itu, untuk menghindari adanya konflik kepentingan yang timbul, hendaknya seluruh penyelenggara negara atau pegawai negeri dapat membuat suatu declaration of interest dan komitmen untuk tidak menggunakan kepentingan pribadi, guna memberikan pelayanan dan kebijakan yang objektif. Mulai dari lingkungan keluarga dengan mewujudkan prinsip kesederhanaan lalu diikuti di dunia kerja dengan mengedepankan profesionalitas dan kejujuran.

Pelaporan Gratifikasi Hakim Naik Tajam, dari Parsel Lebaran-Suvenir Pj Bupati

article | Berita | 2025-04-17 16:05:22

Jakarta- Pelaporan gratifikasi Triwulan I 2025 hakim dan aparatur pengadilan meningkat tajam dari sebelum-sebelumnya. Hal itu diapresiasi Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA).“Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengapresiasi nama-nama di bawah ini atas inisiatif melaporkan penerimaan/penolakan gratifikasi. Semoga inisitaif untuk melaporkan gratifikasi tetap dipertahankan guna membangun budaya jujur di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya,” kata Plt Kabawas Sugiyanto.Hal itu disampaikan dalam Pengumuman Nomor: 1115/BP/PENG.HM1.1.1/IV/2025 yang dilansir hari ini, Kamis (17/4/2025). Tercatat yang melaporkan sebanyak 115 orang yang berasal dari 65 hakim dan sisanya adalah aparatur pengadilan. Termasuk di antaranya Plt Kabawas Sugiyanto sendiri yang ikut melaporkan gratifikasi.Dibandingkan periode Triwulan IV 2024, pelaporan gratifikasi ini kali ini meningkat tajam. Sebelumnya pada Triwulan IV 2024 tercatat baru 62 orang yang melaporkan. Dari jumlah itu, 27 di antaranya hakim.Saat dihubungi terpisah, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Pati, Jawa Tengah (Jateng) Dr Ahmad Syafiq membenarkan pengumuman tersebut. Ia termasuk yang melaporkan gratifikasi sepanjang triwulan I.“Untuk yang bulan puasa, itu parsel lebaran semua yang dilaporkan. Ada yang berupa parsel barang pecah belah dan makanan ringan,” kata Dr Ahmad Syafiq saat berbincang dengan DANDAPALA.Di luar parsel yang dikirim, ada juga instansi Pemda Pati yang menghubungi terlebih dahulu. Apakah pengadilan menerima parsel atau tidak. Hal itu dijawab tegas bila pengadilan tidak menerima parsel. Sehingga Pemda memahami dan tidak sampai mengirim parsel.Ada juga gratifikasi kain batik dari Pj Bupati dan juga suvenir buku. Untuk yang kain batik, ia tolak ditempat oleh satpam pengadilan.“Tapi sesuai aturan, yang ditolak di tempat juga harus tetap dilaporkan,” ujar Dr Ahmad Syafiq. (asp/asp)

Bagikan Bunga ke Warga, PN Mojokerto Kampanye Tolak Suap-Gratifikasi

article | Berita | 2025-04-11 10:05:30

Mojokerto- Para hakim dan puluhan pegawai Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto, Jawa Timur (Jatim) menggelar aksi bagi-bagi bunga kepada warga yang melintas di depan kantor. Aksi itu bukan bagian Valentine Day, tapi adalah campaign untuk menolak suap dan gratifikasi.’’Kami telah memperoleh sertifikat Wilayah Bebas dari  Korupsi (WBK) dan akan menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Tujuan public campaign ini agar masyarakat pencari keadilan di Kota dan Kabupaten Mojokerto dapat memahami bahwa Pengadilan Negeri Mojokerto dalam melayani pencari keadilan tidak menerima suap atau gratifikasi dalam bentuk apa pun,’’ kata Ketua PN Mojokerto, Ida Ayu Sri Adriyanthi Astuti Widja, Jumat (11/4/2025).Campaign itu digelar di depan kantor pengadilan di Jalan RA Basuni, Sooko, Mojokerto, Kamis (10/4) pagi. Aksi ini dalam rangka public campaign pembangunan Zona Integritas PN Mojokerto dari Wilayah Bebas dari  Korupsi (WBK) menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Selain sosialisasi, kegiatan ini sekaligus untuk menegaskan komitmen PN Mojokerto dalam menolak tindak suap atau gratifikasi.Dalam kampanyenya, 11 hakim dan 63 Aparatur Sipil Negera (ASN) serta honorer juga memberikan brosur dan stiker tentang penolakan gratifikasi kepada pengendara. Hal ini bertujuan agar masyarakat ikut mengawal dan mengawasi pembangunan Zona Integritas pada Pengadilan Negeri Mojokerto.Dalam komitmennya, PN Mojokerto turut ditunjuk untuk mengikuti Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) oleh  Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA). Keikutsertaannya untuk menciptakan transparansi serta akuntabilitas pada Peradilan di Indonesia, khususnya di Kota dan Kabupaten Mojokerto.“PN Mojokerto siap mengikuti SMAP yang diselenggarakan Badan Pengawas MA,” kata Ida Ayu Sri Adriyanthi Astuti Widja. (asp/asp)

Plt Kabawas MA: Hakim dan Aparatur Pengadilan Dilarang Terima Parsel Lebaran!

article | Berita | 2025-03-21 08:00:47

Jakarta- Plt Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Kabawas MA), Sugiyanto melarang tegas hakim dan aparatur pengadilan menerima parsel lebaran atau dalam bentuk lain. Bila parsel dalam bentuk bingkisan makanan, wajib segera disalurkan ke panti asuhan dll.Kebijakan itu diambil sehubungan dengan upaya memperkuat budaya anti korupsi dan anti gratifikasi di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya serta mengingat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2013 tentang Larangan Memberikan Parsel Kepada Pejabat Mahkamah Agung dan Pimpinan Pengadilan serta Surat Edaran Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7 Tahun 2025 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gtraifikasi Terkait Hari Raya. “Hakim dan aparatur pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya wajib menjadi teladan dengan tidak memberi, atau menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan tugasnya, termasuk dalam perayaan hari raya,” demikian bunyi surat Kabawas sebagaimana dikutip DANDAPALA, Jumat (21/3/2025).Surat itu ditantangani Sugiyanto pada Kamis (20/3) kemarin.“Permintaan dana atau hadiah dilarang, seperti permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) atau sebutan lain, baik secara individu maupun mengatasnamakan institusi kepada masyarakat, perusahaan, atau sesama Hakim dan Aparatur Pengadilan,” tegas Sugiyanto.Bagaimana bila gratifikasi itu berupa barang/makanan?“Terhadap penerimaan gratifikasi berupa bingkisan makanan/minuman yang mudah rusak dan/atau kedaluwarsa dapat disalurkan sebagai bantuan sosial kepada panti asuhan, panti jompo, atau pihak yang membutuhkan, dan melaporkan kepada Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di Satuan Kerja masing-masing disertai dengan penjelasan dan dokumentasi penyerahannya untuk kemudian dilaporkan melalui aplikasi pelaporan gratifikasi Gol KPK https://gol.kpk.go.id/login/“ kata Sugiyanto.Selain itu, hakim dan aparatur pengadilan juga dilarang membawa fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Sebab hakim dan aparatur pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya wajib mendukung upaya pencegahan korupsi, khususnya pengendalian gratifikasi terkait hari raya keagamaan atau perayaan hari besar lainnya.“Melarang penggunaan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi,” tegas Sugiyanto.

Catat! Mahkamah Agung Larang Pejabat MA-Pengadilan Terima Parsel Lebaran

article | Berita | 2025-03-20 09:45:43

Jakarta- Ketua Mahkamah Agung (MA) melarang keras pimpinan pengadilan menerima parsel lebaran dari warga pengadilan. Bila ketahuan, maka sanksi etik dan hukuman disiplin menanti!Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Larangan Memberikan Parsel kepada Pejabat Mahkamah Agung dan Pimpinan Pengadilan. SEMA itu ditandatangani Ketua MA Hatta Ali.“Dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Natal dan Tahun Baru, setiap warga dalam lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya, dilarang memberikan parsel. Baik dalam bentuk karangan bunga, bingkisan makanan, atau barang berharga lainnya kepada pejabat Mahkamah Agung Republik Indonesia dan pimpinan pengadilan serta pimpinan unit kerjanya,” demikian bunyi SE KMA 2/2013 yang dikutip DANDAPALA, Kamis (20/3/2025).Lalu apa sanksi bagi yang melanggar?“Apabila ketentuan tersebut dilanggar, baik kepada pemberi maupun kepada penerima akan dikenakan hukuman disiplin,” ujarnya.SEMA 2/2013 itu kemudian ditindaklanjuti oleh surat Kepala Badan Pengawasan (Bawas) MA Prof Sunarto pada 21 Juni 2016. Surat itu menindaklanjuti hasil Rapat Pimpinan MA dengan Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama se-Jakarta pada 21 Juni 2016.“Bersama ini dikirimkan kembali Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2013 tentang Larangan Memberikan Parsel kepada Pejabat Mahkamah Agung dan Pimpinan Pengadilan,” demikian bunyi Surat Ketua Bawas MA itu.Sekedar catatan,saat ini Prof Sunarto menjadi Ketua MA ke-15. Meski sudah berusia 12 tahun, SEMA Nomor 2/2013 masih berlaku.“Sampai sejauh ini masih berlaku karena belum ada aturan terbaru yang memperbaharui SEMA tersebut. Rencana nanti Bawas akan membuat surat edaran juga untuk mengingatkan kembali terkait penerapan SEMA tersebut,” kata Asisten Kabawas MA, Supandriyo saat dikonfirmasi DANDAPALA pagi ini. SEMA Nomor 2/2013 itu selaras dengan Surat Edaran Ketua KPK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Pencegahan dan Pengendalian Gratifikasi Terkait Hari Raya. Himbauan ini tidak hanya berlaku bagi ASN dan Penyelenggara Negara, namun juga masyarakat luas.“Pimpinan asosiasi/perusahaan/masyarakat agar melakukan langkah-langkah pencegahan dengan mengimbau anggotanya tidak memberikan dan/atau menerima gratifikasi yang dapat dianggap suap, uang pelicin, atau suap dalam bentuk lain,” demikian bunyi rilis KPK tersebut yang dikutip DANDAPALA, Rabu (19/3/2025).KPK juga menghimbau agar ASN dan Penyelenggara Negara wajib menjadi teladan dengan tidak memberi, atau menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan tugasnya. Termasuk dalam perayaan hari raya. Permintaan dana maupun hadiah sebagai tunjangan hari raya (THR) atau dengan sebutan lain oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara secara individu maupun atas nama institusi kepada masyarakat, perusahaan, atau sesama pegawai/penyelenggara negara.Tindakan tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan dan kode etik, serta memiliki risiko sanksi pidana.“Setiap pihak mendukung upaya pencegahan korupsi khususnya pengendalian gratifikasi terkait hari raya keagamaan atau perayaan hari besar lainnya”, bunyi Poin 1 Isi Edaran tersebut.

Melihat Alur Mudah Pelaporan Gratifikasi

article | Opini | 2025-01-14 06:05:38

Dokumentasi Pelaporan Gol KPKDokumentasi tanda terima pelaporan KPKUpaya mewujudkan peradilan bersih dan membantu terlaksananya kehidupan bernegara bebas korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN) terus ditunjukan oleh aparatur Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya. Berdasarkan Surat Apresiasi Laporan Penerimaan/Penolakan Gratifikasi Periode Triwulan IV 2024 yang diterbitkan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 2025 yakni terdapat 62 Pejabat dan aparatur pengadilan yang melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi pada periode Oktober sampai dengan Desember 2024. Pejabat dan aparatur Mahkamah Agung RI serta badan peradilan dibawahnya yang melaporkan terdiri Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum pada Ditjen Badan Peradilan Umum, Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding, Para Pimpinan Pengadillan Tingkat Pertama, Para Hakim sampai Pegawai PPNPN. Bahwa pelaporan atas penolakan atau penerimaan gratifikasi memedomani Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Gratifikasi Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Dibawahnya Penulis salah satu pelapor penerimaan gratifikasi kepada KPK RI sebagaimana Surat Apresiasi Laporan Penerimaan/Penolakan Gratifikasi Periode Triwulan IV 2024 akan membagikan penjelasan singkat tentang gratifikasi, contoh gratifikasi yang wajib dilaporkan penyelenggara negara serta tips singkat dan mudah dalam melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi. Pelaporan atas gratifikasi sangat mudah karena hanya dalam satu genggaman smartphone atau menggunakan komputer yang terkoneksi internet dapat dilakukan dari seluruh penjuru Indonesia. Pengaturan Hukum dan Bentuk Gratifikasi  Gratifikasi awalnya berasal dari Belanda yang disebut gratikatie. Selanjutnya Inggris mengadopsinya dengan istilah gratification yang dalam Black Law Dictionary memiliki pengertian sebagai pemberian yang diberikan berdasarkan bantuan atau keuntungan. Gratifikasi di Indonesia yang diberikan kepada penyelenggara negara atau PNS dapat menjadi suap bilamana berhubungan dengan jabatan dan berlawanan terhadap kewajiban atau tugasnya. Adapun gratifikasi tidak menjadi delik korupsi bilamana penyelenggaran negara atau PNS yang menerima gratifikasi melaporkan gratifikasi kepada KPK RI sesuai Pasal 12B Ayat 1 dan Pasal 12C Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Bentuk gratifikasi secara luas berupa pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan lain-lainnya, dimana gratifikasi tersebut diterima dalam negeri ataupun di luar negeri yang dilakukan secara konvensional atau menggunakan sarana elektronik sebagaimana Penjelasan Pasal 12 B Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 1 Angka 1 Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi Contoh Gratifikasi Wajib Dilaporkan  Bahwa secara prinsip seluruh gratifikasi yang diterima oleh Penyelenggara Negara wajib dilaporkan. Sedangkan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan terhadap kewajiban atau tugas penyelenggara negara/pns wajib ditolak sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019. Namun dalam kondisi yang tidak memungkinkan ditolak, terhadap gratifikasi yang berkaitan dengan tugas Hakim atau aparatur pengadilan seperti tidak diterima secara langsung, pemberi gratifikasi tidak diketahui, penerima ragu atas kualifikasi yang diterimanya dan adanya kondisi yang tidak mungkin ditolak seperti rusaknya hubungan antar instansi, membahayakan diri sendiri/karir atau ada ancaman lain yakni wajib dilaporkan sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Hal mana telah diatur juga gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan menurut KPK RI dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI seperti pemberian terkait pernikahan, tunangan, khitan atau upacara agama/adat lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk seorang pemberi, honorarium dari profesi lain seperti mengajar yang tidak melanggar kode etik, pemberian terkait musibah atau bencana alam dan bentuk gratifikasi lainnya yang tidak wajib dilaporkan sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Penulis mencontohkan gratifikasi yang tidak mungkin ditolak karena kondisi tertentu meskipun bersinggungan jabatan atau tugas penyelenggara negara yang biasanya terjadi pada lingkungan peradilan antara lain pemberian bahan batik/baju untuk seragam perayaan ulang tahun daerah yang diberikan pejabat daerah kepada Pimpinan Pengadilan, kenang-kenangan pengantar alih tugas yang diberikan kepada Pimpinan Pengadilan oleh Instansi Penegak Hukum lainnya atau nasi kotak/hadiah makanan lainnya yang telah disiapkan untuk seluruh aparatur pengadilan dan diberikan dalam rangka perayaan keterpilihan sebuah Firma Hukum sebagai penyelenggara Pos Bantuan Hukum di suatu Pengadilan. Berdasarkan pengalaman penulis untuk pelaporan gratifikasi yang tidak mungkin ditolak karena kondisi tertentu, maka gratifikasi akan menjadi milik institusi atau dikelola institusi, seperti bahan pakaian yang akhirnya dikelola untuk suatu instansi Pengadilan. Adapun gratifikasi makanan yang lekas rusak dapat dikonversi dalam rupiah dan penerima gratifikasi wajib membayarkan hadiah yang telah dikonversi rupiah kepada kas negara; Berdasarkan pengalaman pribadi penulis sebagai seorang Hakim yang pernah melaporkan honorarium sebagai pengajar pendidikan profesi Advokat yang diselenggarakan organisasi Advokat di Provinsi Banten, meskipun honorarium mengajar tidak termasuk gratifikasi yang wajib dilaporkan sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021, akan tetapi penulis ragu akan kualifikasi gratifikasi tersebut karena tidak menutup kemungkinan adanya konflik kepentingan antara penulis yang Hakim dengan Advokat walaupun berbeda wilayah hukum dengan tempat penulis bertugas. Penulis juga pernah melaporkan baju yang didapatkan ketika menjadi narasumber Siniar yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), karena penulis berpendapat dapat saja ICW menjadi pihak dalam suatu persidangan yang penulis adalah seorang hakimnya Langkah Melaporkan Penerimaan atau Penolakan Gratifikasi Adanya kemudahan dalam pelaporan atas penerimaan atau penolakan gratifikasi, dimana tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional dengan mendatangi langsung kantor Kpk RI di Jakarta atau menyampaikan kepada unit pengendali gratifikasi satuan kerja. Melainkan dapat secara daring mengakses aplikasi gratifikasi online (GOL) KPK yang hanya membutuhkan waktu 5 sampai 10 menit untuk melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi. Langkah pertama bagi aparatur pengadilan yang akan melaporkan gratifikasi melalui aplikasi GOL KPK yakni dengan mendaftarkan akun pada https://gol.kpk.go.id dan mengisi biodata dari calon pelapor gratifikasi yang terdiri dari nama lengkap, jabatan, alamat, satuan kerja, unit kerja dan identitas pribadi lainnya. Selanjutnya setelah teregistrasi yakni pelapor dapat melaporkan gratifikasi pada kolom laporan gratifikasi dan memilih laporan baru. Selanjutnya mengisi informasi laporan yang dapat ditembuskan kepada UPG Mahkamah Agung RI dan memilih apakah yang dilaporkan bentuknya penolakan atau penerimaan gratifikasi. Kemudian pelapor gratifikasi mengisi identitas pemberi, institusi dan alamat gratifikasi, menjelaskan hubungan pemberi dengan penerima gratifikasi, peristiwa terkait gratifikasi, lokasi objek gratifikasi, jenis dan uraian objek gratifikasi, serta konversinya dalam bentuk rupiah benda gratifikasi tersebut. Hal lain yang wajib diisi oleh pelapor gratifikasi yang menggunakan aplikasi GOL KPK adalah kronologi penerimaan atau penolakan gratifikasi yang berisikan juga tanggal penerimaan atau penolakan gratifikasi. Demikian juga pelapor gratifikasi dapat memilih apakah mengkompensasi objek gratifikasi dengan menyerahkan uang pengganti seandainya objek gratifikasi ditetapkan menjadi milik negara. Selain itu pelapor dapat melampirkan dokumentasi objek gratifikasi. Pelaporan gratifikasi menggunakan aplikasi GOL KPK disarankan dalam tenggang waktu 30 hari kerja sejak menerima atau menolak gratifikasi sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Sedangkan pelaporan diatas 30 hari kerja sejak diterima atau ditolak gratifikasi, tetap akan diproses oleh KPK RI. Semoga kemudahan pelaporan gratifikasi oleh KPK RI menjadi upaya bagi aparatur pengadilan untuk melaporkan gratifikasi yang diterima atau ditolaknya. Demikian juga contoh positif pelaporan gratifikasi yang telah dilakukan aparatur pengadilan menjadi motivasi bagi aparatur pengadilan lainnya untuk melaporkan ketika adanya penerimaan atau penolakan gratifikasi, sehingga ikut berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang bebas KKN.

Saat Pak Hakim Laporkan Gratifikasi Parsel Buah ke KPK

article | Berita | 2025-01-11 08:30:41

Jakarta- Bagi masyarakat kebanyakan, saling berbagi parsel bisa menjalin silaturahmi tetap terjaga. Tapi bagi pejabat publik (hakim salah satunya) menerima parsel bisa menjadi pantangan. Malah bisa berujung ke pelanggaran etik.“Waktu itu Senin malam. Jam pastinya saya lupa,” kata seorang hakim saat berbincang dengan DANDAPALA, Jumat (10/1/2025).Senin malam yang dimaksud itu terjadi pada akhir November 2024. Cuaca di luar cukup cerah.  Lampu teras tidak terlalu terang. Saat itu ada orang naik kendaraan sepeda motor turun di depan rumah dinas hakim. Lalu pelan-pelan membuka pagar pintu dan masuk.“Saya dari dalam rumah dengar suara pagar dibuka. Lalu saya intip. Saya familiar mukanya,” kisahnya.Ibu yang datang ternyata pihak berperkara. Dia lalu mengetuk pintu dan izin mau silaturahmi.“Saya bilang ‘Maaf Bu, nggak usah. Nggak usah repot-repot. Ibu pulang saja’. Saya bilang berkali-kali, ” ucapnya.Mendapati jawaban tuan rumah berulang kali, tamu tersebut langsung menaruh parsel buah yang dibawanya di kursi teras rumah. Lalu buru-buru meninggalkan rumah dinas hakim.“Saya baru ingat, ibu itu pihak berperkara. Perkaranya tidak lama lagi diputus,” tuturnya.Besok paginya, Pak Hakim itu berinisiatif melaporkan parsel itu ke KPK. Lalu ia konsultasi ke pimpinan dan akhirnya Pak Hakim itu membuat laporan gratifikasi online ke KPK.“Adapun buahnya saya kasih ke panti asuhan. Saya foto. Lalu dilaporkan ke KPK secara online,” ucap pak hakim yang meminta namanya ditutup rapat-rapat.Baginya, bukan nilai parsel buahnya. Tapi di balik parsel buah itu terdapat niat terselubung sehingga dikhawatirkan membuat si hakim konflik kepentingan saat memutus perkara yang melibatkan si pemberi hadiah.“Jadi saya laporkan ke KPK secara online. Jangan sampai nanti ada fitnah di belakangan hari,” tuturnya.Atas pelaporan gratifikasi itu, Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI (Bawas MA) mengapresiasinya. Termasuk juga apresiasi kepada 61 pejabat pengadilan yang inisiatif pribadi membuat pelaporan gratifikasi ke KPK.“Semoga inisitaif untuk melaporkan gratifikasi tetap dipertahankan guna membangun budaya jujur di lingkungan MA dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya,” demikian keterangan tertulis Plt Kepala Bawas MA Sugiyanto.Tercatat selama 4 bulan terakhir di 2024 tercatat 62 pejabat pengadilan yang mengembalikan pemberian hadiah tersebut atas inisiatif pribadi. Di antaranya adalah Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirbinganis Dirjen Badilum), Hasanuddin SH MH. Selain Hasanuddin, tercatat pula sejumlah Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Agama, hakim, Panitera Muda, hingga PNS di lingkungan peradilan. Seperti Ketua PT Palangkaraya Diah Sulastri Dewi, Ketua PN Pati Ahmad Syafiq, Ketua PN Banjar Herman Siregar, Ketua PN Dompu I Ketut Darpawan, Ketua PN Pulau Pisau M Zakiuddinm Ketua PA Ambarawa M Irfan Husaeni, Ketua PA Magelang Nurhasan, Ketua PA Sekayu Syarifah Aini, Wakil Ketua PN Klaten M Amrullah,  hingga PPNPN Pengadilan Agama Banjarmasin, Yuni Yulyanti.Adapun jenis gratifikasi yang diilaporkan ke KPK beragam. Di antaranya makanan kering yang dimasukkan ke dalam 3 kotak kardus. Ada juga perhiasan mutiara Maluku yang didapat dari sebuah acara. “Kalau saya melaporkan pemberian honor dari mahasiswa yang magang di kantor berupa uang sebesar Rp 1 juta. Uang itu dari kampusnya. Saya kembalikan karena saya rasa tidak pantas dan nilainya terlalu banyak,” ucap salah seorang Ketua Pengadilan Negeri kepada DANDAPALA.Jadi, sudahkan Anda melaporkan gratifikasi ke KPK?