Cari Berita

Prof Harkristuti: Hakim Pimpin Perubahan Paradigma Pemidanaan

article | Berita | 2025-06-20 16:15:01

Jakarta –Mahkamah Agung RI melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) kembali menggelar sarasehan interaktif rutin bertajuk Perisai Badilum. Episode ketujuh ini dilaksanakan pada Jumat (20/6) secara hybrid: dipusatkan di Command Center Badilum dan diikuti secara daring oleh para hakim dan tenaga teknis dari seluruh satuan kerja peradilan umum di Indonesia.Acara ini dibuka langsung oleh Dirjen Badilum, Bambang Myanto dan dihadiri pejabat utama seperti Sekretaris Badilum Kurnia Arry Soelaksono, Direktur Jenderal Teknis Hasanudin, serta Direktur Pembinaan Teknis Zahlisa Vitalita.Sarasehan yang rutin digelar ini bertujuan memperkuat budaya diskusi ilmiah dan pemikiran kritis di kalangan aparatur peradilan umum. Tema yang diangkat kali ini sangat strategis, yakni: “Pemidanaan dalam Paradigma Baru: Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP Nasional”.Acara dipandu oleh Mustamin, Hakim Yustisial Ditjen Badilum, dengan narasumber utama Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia.Dalam paparannya, Prof. Harkristuti menekankan bahwa KUHP Nasional membawa pembaruan besar dalam sistem pemidanaan Indonesia. Tak lagi berorientasi pada pembalasan (retributif), kini penghukuman diarahkan untuk mencapai pemulihan, keadilan, dan reintegrasi sosial.“Penjara bukan satu-satunya tujuan pemidanaan. Bahkan, kapasitas lapas saat ini sudah sangat penuh dengan 276 ribu penghuni. KUHP Nasional justru mendorong hakim untuk menggali alternatif lain yang lebih mengutamakan pemulihan dan rehabilitatif,” ungkap Prof. Harkristuti.KUHP Nasional mengamanatkan hakim untuk menimbang banyak hal sebelum menjatuhkan pidana. Di antaranya adalah motif, tingkat kesalahan, sikap batin pelaku, cara melakukan perbuatan, adanya pemaafan dari korban, hingga nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law).“Hakim harus memimpin penegak hukum lainnya untuk merubah paradigma pemidanaan di Indonesia,” ujarnya dikutip oleh DANDAPALA.KUHP Nasional juga memuat ketentuan agar pemidanaan dihindari terhadap kelompok tertentu, seperti anak-anak, orang lanjut usia (di atas 75 tahun), pelaku yang baru pertama kali melakukan kejahatan, serta jika ada pengembalian kerugian atau perdamaian dengan korban.Diskusi yang berlangsung interaktif ini melibatkan peserta dari berbagai wilayah, mulai dari Sabang hingga Merauke. Berbagai pertanyaan, masukan, dan pandangan disampaikan oleh para hakim pengadilan, yang dijawab langsung oleh Prof. Harkristuti dengan pendekatan aplikatif.Melalui forum ini, Mahkamah Agung berharap para hakim tidak hanya memahami secara normatif isi KUHP Nasional, tetapi juga mengimplementasikannya secara bijaksana dalam setiap putusan.Pemahaman mendalam tentang pedoman pemidanaan bukan hanya penting bagi hakim, tapi juga bagi aparat penegak hukum lainnya. Tujuannya satu: mewujudkan keadilan substantif dan menghasilkan putusan yang dihargai masyarakat. Dengan kegiatan Perisai Badilum ini, Mahkamah Agung terus menunjukkan komitmennya untuk membangun sistem peradilan yang adil, bijak, dan sesuai dengan kebutuhan hingga perkembangan hukum di masyarakat. (Ikaw/wi)

Menyongsong KUHP Nasional, Ditjen Badilum Berikan Pembekalan Kepada Hakim

article | Berita | 2025-06-20 15:40:30

Jakarta – Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) kembali mengadakan Pertemuan Rutin Sarasehan Interaktif (Perisai) Episode 7 bertajuk “Pemidanaan dalam Paradigma Baru: Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana Dalam KUHP Nasional” pada Jumat (20/06/2025). Hadir sebagai Narasumber Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo. Kegiatan diawali dengan sambutan oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum), Bambang Myanto. Pada kesempatan tersebut Dirjen Badilum menyampaikan mengenai kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. “Pengesahan KUHP Nasional tersebut mengatur banyak hal yang cukup berbeda dibandingkan dengan KUHP lama. Penerapan dan penggunaan KUHP Nasional ini menjadi hal yang harus dikuasai oleh hakim-hakim Indonesia sebagai jajaran depan peradilan”, ujar Bambang. Ia menegaskan pentingnya penguasaan KUHP Nasional khususnya mengenai pemidanaan. Selain itu, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru ini mengingatkan bahwa terkait KUHP Nasional, Dirjen Badilum sudah melaksanakan kegiatan Perisai sebanyak 3 kali. Di mana pada saat Perisai Episode 7 diadakan yaitu di bulan Juni 2025, maka tinggal 6 bulan lagi KUHP Nasional serentak diberlakukan dan digunakan secara nasional, tepatnya pada Januari 2026. Sebagai penutup, Bambang menambahkan pentingnya bagi Hakim sebagai pemeriksa dan pengadil untuk menguasai pemidanaan. “Dalam pemeriksaan dan penulisan putusan, hakim wajib menggali motif pelaku perbuatan pidana, serta menguraikan unsur perbuatan pidana sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 54 KUHP Nasional”, pesan Bambang. Barulah setelah hal-hal tersebut sudah dipertimbangkan, hakim boleh mempertimbangkan alasan pemaaf, alasan pembenar, ataupun alasan pemberat khususnya ketika hendak akan menjatuhkan pemidanaan, satu diantaranya seperti permaafan hakim. (NH/NSN/AL)

Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

article | Opini | 2025-04-30 09:30:09

Setelah ditetapkan menjadi undang-undang pada tanggal 2 Januari 2023, tidak lama lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) akan efektif berlaku menggantikan KUHP lama peninggalan Belanda pada tanggal 2 Januari 2026 mendatang, tepat tiga tahun setelah diundangkan sesuai Pasal 624 KUHP baru. Pergantian KUHP lama ke KUHP baru itu tidak sedikit membawa perubahan peraturan di dalamnya, termasuk pengaturan mengenai Pengulangan Tindak Pidana (Recidive). Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (In kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi (Barda Nawawi Arief, 2012). Baik dalam KUHP lama dan KUHP baru pengulangan tindak pidana (recidive) adalah sama-sama sebagai alasan pemberat pidana. Meskipun masih sama-sama sebagai alasan pemberat pidana, namun apabila dicermati terdapat perbedaan ketentuan antara Recidive pada KUHP lama dan Recidive yang terdapat dalam KUHP baru. Lantas apa saja perbedaan antara pengaturan pengulangan tindak pidana (recidive) dalam KUHP lama dan KUHP baru? dan bagaimana pengaruh dalam penerapan pemidanaan setelah adanya perbedaan pengaturan tentang recidive dalam KUHP baru? Perbandingan Pengaturan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP Lama dan KUHP Baru; Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP lama tidak diatur secara umum dalam Aturan Umum Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu, baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam Buku III KUHP lama. Adapun untuk recidive kejahatan, KUHP lama membedakannya menjadi dua yaitu pertama, recidive kejahatan “Tertentu Sejenis” yang tersebar dalam sebelas pasal buku II KUHP yaitu Pasal 137 ayat (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2). Kedua, Recidive “Kelompok Kejahatan” yang diatur dalam Pasal 486 KUHP (kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan), Pasal 487 KUHP (kejahatan terhadap orang), dan Pasal 488 KUHP (kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan) dengan pasal-pasal tertentu yang diatur di dalamnya. Sementara untuk Recidive pelanggaran pengaturannya tersebar dalam 14 (empat belas) pasal yang terdapat dalam Buku III KUHP yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549. Dengan diaturnya ketentuan recidive dalam KUHP lama terbatas pada tindak pidana, maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KUHP lama menganut sistem recidive khusus atau pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana tertentu baik itu kejahatan atau pelanggaran (Barda Nawawi Arief, 2012). Berbeda dengan KUHP lama yang tidak mengatur secara umum tentang ketentuan recidive, namun pengaturannya khusus berada di pasal-pasal tertentu. Dalam KUHP baru pengaturan tentang Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) kini telah diatur secara umum dalam “Buku Kesatu Aturan Umum”, atau lebih tepatnya dalam paragraf 6 Pasal 23 KUHP baru yang termasuk dalam Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Dengan diaturnya Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) pada “Buku Kesatu Aturan Umum” KUHP baru dan tidak lagi diatur secara khusus untuk tindak pidana tertentu saja seperti halnya KUHP lama, maka sistem Recidive yang berlaku pada KUHP baru terdapat pergeseran dari yang semula menganut sistem Recidive Khusus (KUHP lama) menjadi menganut sistem Recidive Umum (KUHP baru). Dalam ranah hukum pidana, konsep Pengulangan Tindak Pidana (recidive), terbagi ke dalam 2 (dua) macam sistem. Pertama adalah algemeene recidive atau recidive umum yang merujuk pada pengulangan tindak pidana tanpa mempertimbangkan jenis tindak pidana yang diulang, selama terdakwa kembali terlibat dalam perbuatan pidana apa pun setelah adanya putusan hakim yang tetap (In kracht) maka dapat disebut recidive. Sementara yang kedua adalah speciale recidive atau recidive khusus yang mengacu pada pengulangan tindak pidana yang serupa atau sejenis dengan peristiwa pidana yang sebelumnya menyebabkan hukuman dijatuhkan sesuai dengan sistem recidive yang ada pada KUHP lama (Arifin et al., 2023). Meskipun telah bergeser ke sistem recidive umum (berlaku pada tindak pidana apa pun), namun pembatasan dan syarat-syarat tertentu tetap berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 23 KUHP baru. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: Melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa;Mencakup tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III;Berlaku juga untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan. Pengaruh dalam penerapan pemidanaan setelah adanya pergeseran sistem recidive khusus ke sistem recidive umum dalam KUHP baru; Baik dalam KUHP lama ataupun dalam KUHP baru, pengulangan tindak pidana (recidive) adalah sama-sama sebagai pemberatan. Adapun Pemberatan sebagaimana dimaksud adalah maksimum ancaman pidananya dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga). Namun oleh karena dalam KUHP baru telah ada pergeseran menjadi sistem recidive umum, maka dikatakan seseorang sebagai recidive sekarang tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu saja. Melainkan pengulangan tindak pidana apapun yang dilakukan oleh seseorang setelah ada putusan hakim yang tetap adalah dianggap sebagai recidive sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 23 KUHP baru. Contoh: seseorang menjalani pidana penjara selama 3 (tiga) tahun karena kasus pencurian, kemudian menjalani pembebasan bersyarat pada tahun 2022. Pada tahun 2024 orang tersebut melakukan tindak pidana penganiayaan sehingga mengakibatkan luka berat, maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan pengulangan tindak pidana (recidive) dengan pidananya dapat diperberat (Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso, 2025). Hal seperti itu tidak berlaku pada pengaturan recidive dalam KUHP lama yang menganut sistem recidive khusus dan berlaku sebatas pada kejahatan tertentu sejenis serta kelompok kejahatan, sehingga apabila seseorang melakukan tindak pidana pencurian telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan hakim yang tetap dan kemudian melakukan tindak pidana lagi namun bukan pada kelompok kejahatan yang sama, misalkan penganiayaan atau pembunuhan, meskipun belum lewat waktu maka ketentuan mengenai recidive yang dapat menjadi pemberatan pidana bagi pelaku tidak dapat diterapkan. Bahkan dalam KUHP lama untuk pasal kesusilaan seperti tindak pidana perkosaan juga tidak masuk dalam ketentuan pasal 487 KUHP (recidive kelompok kejahatan terhadap orang). Sehingga apabila misalkan orang melakukan tindak pidana perkosaan telah dipidana penjara dan setelah keluar kembali melakukan tindak pidana perkosaan lagi, ketentuan recidive tidak dapat diterapkan. Dengan berlakunya ketentuan baru dalam KUHP baru khususnya mengenai recidive yang berubah ke sistem recidive umum, maka cakupan mengenai pengulangaan tindak pidana (recidive) yang dapat menjadi pemberat pidana pidana tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu saja, namun menjadi lebih luas dan berlaku pada semua tindak pidana sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 23 KUHP baru. Kesimpulan Pengaturan tentang pengulangan tindak pidana (recidive) dalam hukum pidana Indonesia telah mengalami perubahan dari KUHP lama ke KUHP baru. Sebagaimana KUHP lama, recidive diatur secara khusus dan terbatas pada tindak pidana tertentu saja, baik kejahatan maupun pelanggaran, yang tersebar dalam pasal-pasal tertentu. Dengan demikian, pemberatan pidana untuk recidive hanya dapat diterapkan bila pengulangan terjadi atas tindak pidana sejenis atau dalam kelompok kejahatan tertentu yang telah ditentukan, dan pengulangan tindak pidana yang berbeda tidak dapat dikenai pemberatan recidive. Berbeda dengan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023), pengaturan recidive telah diatur secara umum dalam Buku Kesatu Aturan Umum, tepatnya Pasal 23. Dalam KUHP baru menganut sistem recidive umum, yang memungkinkan penerapan pemberatan pidana terhadap setiap bentuk pengulangan tindak pidana apa pun, tanpa terbatas pada jenis kejahatan tertentu, asalkan memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2023. Secara penerapan, baik dalam KUHP lama maupun baru, recidive tetap menjadi dasar pemberatan pidana dengan ketentuan maksimum pidana dapat ditambah hingga satu per tiga. Namun, cakupan recidive dalam KUHP baru menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada jenis tindak pidana tertentu seperti dalam KUHP lama. (LDR) Referensi Arifin, B., Arfarizky, R. A., & Windari, R. (2023). Perbandingan Konsep Recidive dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan Criminal Act of South Korea Abstrak. 45(2). Barda Nawawi Arief. (2012). Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut (Cetakan IV). Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Rajawali Pers. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Harmonisasi Konsep Pemaafan Hakim (Recterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP

article | Opini | 2025-04-07 14:05:02

KITAB Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht/KUHP) yang berlaku di Republik Indonesia selama ini merupakan warisan kolonial Belanda dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah. Wetboek Van Strafrecht dilandasi oleh aliran klasik yang terfokus pada perbuatan atau tindak pidana terjadi, sehingga dalam perkembangannya sudah tertinggal jauh dan tidak lagi mengakomodir kepentingan pelaku. Sementara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), mendasarkan pada pemikiran Neo Klasik yang terfokus menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan) dan faktor subjektif (sikap batin), dimana tidak hanya tertuju pada perbuatan atau tindak pidana namun tertuju pada aspek individual pelaku.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat maka tingkat kejahatan semakin kompleks sehingga perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana materiil sudah dilakukan pemerintah dengan mengesahkan dan mengundangkan KUHP Baru pada tanggal 2 Januari 2023, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026, sedangkan pembaharuan hukum pidana formil (Rancangan KUHAP) saat ini masih dalam tahap pembahasan. Dalam Pasal 54 ayat (2) KUHH Baru memperkenalkan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Secara expressis verbis ketentuan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru menyatakan,”ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Menurut Penulis, konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) merupakan putusan yang dijatuhkan Majelis hakim kepada Terdakwa yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan namun Terdakwa tidak dikenakan pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) berasal dari Negara Belanda dengan merevisi Wetbook van Strafrecht Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a. Beberapa Negara yang telah menggunakan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah Belanda, Yunani, Portugal dan Uzbekistan. Tujuan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah untuk memberikan rasa keadilan kepada pelaku tindak pidana yang sifatnya ringan sehingga pemidanaan tidak merendahkan martabat manusia namun hakim wajib menegakan hukum dan keadilan. Dimana pemidanaan merupakan ultimum remedium adalah upaya terakhir dalam penegakan hukum. Selain itu, dengan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) untuk mengurangi overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan yang selama ini terjadi. Berpedoman dalam ketentuan Pasal 51 dan Pasal 52 serta Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, terdapat tujuan pemidanaan salah satunya adalah menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Kemudian dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Sehingga tujuan pemidanaan sangat relevan dengan Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Bahwa Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dapat dilihat dari 3 (tiga) kategori yakni: Ringannya perbuatanKeadaan pribadi pelakuKeadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian. Dalam KUHP Baru, untuk frasa ringannya perbuatan diatur dalam beberapa pasal yaitu: Tindak Pidana Penghinaan Ringan, diatur dalam Pasal 436, menyatakan penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis  yang dilakukan terhadap orang lain baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang  yang dihina tersebut  secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan  dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penganiayaan Ringan, diatur dalam Pasal 471, menyatakan selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana denda paling lama banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Pencurian Ringan, diatur dalam Pasal 478, menyatakan dilakukan tidak dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan harga barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dipidana karena pencurian ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penggelapan Ringan, diatur dalam Pasal 487, menyatakan jika yang digelapkan bukan ternak atau barang yang bukan sumber mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, dipidana karena penggelapan ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak pidana Penipuan Ringan, diatur dalam Pasal 494, menyatakan dipidana karena penipuan ringan dengan pidana denda paling banyak kategori II jika barang yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 492 bukan ternak, bukan sumber mata pencaharian, utang, atau piutang yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau nilai keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 493. Selanjutnya untuk frasa keadaan pribadi pelaku  dapat  berpedoman dalam Pasal 70  Ayat (1) KUHP Baru,  berbunyi dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan, jika dijumpai keadaan: Terdakwa adalah Anak;Terdakwa berumur di atas 70 (tujuh puluh) tahun;Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;Terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;Korban tindak pidana mendorong  atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut;Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;Pembinaan diluar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga dan/ atau;Tindak pidana terjadi karena kealpaan. Selanjutnya keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian.   Menurut Penulis  frasa keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian sebagai alasan pemaafan hakim  (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Bary, dimana  maksud frasa ini apakah perbuatan tindak pidana tersebut dilakukan direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte rade) atau tindak pidana tersebut dilakukan dengan kesengajaan (dolus) atau dilakukan karena kelalaian (culpa), kalau tindak pidana dilakukan dengan kelalaian (culpa) maka termasuk tindak pidana ringan, kemudian apakah tindak pidana tersebut masuk dalam tindak pidana percobaan (poging) atau tindak pidana yang merupakan delik yang selesai baik tindak pidana formil (menitik beratkan pada perbuatan dilarang) dan materil (menitik beratkan pada akibat dilarang), apabila tindak pidana dilakukan merupakan percobaan (poging) maka termasuk tindak pidana ringan dan selanjutnya apakah tindak pidana tersebut masuk dalam kategori tindak penyertaan yakni pleger, doen pleger, medepleger, uitloking, atau masuk dalam membantu tindak pidana (medeplictige), kalau ternyata pelaku hanya berperan sebagai medeplictige maka termasuk kategori tindak pidana ringan. Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) di Negara Belanda selain diatur dalam hukum pidana materiil juga diatur dalam hukum pidana formil. Di Negara Belanda mengenal 4 (empat) jenis putusan yakni putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas dan putusan pemaafan. KUHP yang saat ini berlaku (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) termasuk KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), sama sekali tidak mengatur mengenai konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon), sehingga ada kekosongan norma. Selama ini Hakim dalam menjatuhkan Putusan Perkara Pidana terhadap Terdakwa mengenal 3 (tiga) bentuk Putusan yakni: Putusan Pemidanaan (verrordeling). Jika Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 Ayat 1 KUHAP).Putusan bebas (vrij spraak). Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP).Putusan lepas (onslag van recht vervolging). Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat 2 KUHAP). Penulis mencermati adanya pertentangan antara Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 193 ayat (1) KUHAP dan Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP. Dimana konsep pemafaan hakim dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru, menyatakan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat menjadi dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenai tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam arti Majelis Hakim dalam putusan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana namun Terdakwa tidak dikenakan atau dijatuhi pidana baik pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Sedangkan dalam KUHAP saat ini, ketika Hakim dalam putusannya menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka Hakim dalam putusannya terhadap Terdakwa harus dijatuhi pidana atau tindakan. Apabila salah satunya tidak ada dijatuhi pidana atau tindakan maka mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) dan (2) KUHAP. Sehingga pengaturan terhadap Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) tidak dapat hanya diatur dalam KUHP Baru yang hanya memuat hukum pidana materil, namun pengaturan Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) harus diharmonisasikan dengan Rancangan KUHAP, sehingga adanya kepastian hukum. Sehingga konsep pemaafan hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru perlu diharmonisasikan dalam Rancangan KUHAP menjadi:Pemidanaan (verrordeling)Putusan Bebas (vrij spraaak),Putusan lepas (onslag van recht vervolging);Putusan pemaafan Hakim (rechterlik pardon)

Perdalam KUHP Baru, PERISAI Hadirkan Prof Eddy Hiariej dan Prof Topo Santoso

article | Berita | 2025-03-11 09:55:49

Jakarta- Pertemuan Rutin dan Sarasehan Interaktif Badan Peradilan Umum (PERISAI Badilum) Episode 5 digelar dengan tema KUHP baru. Hadir sebagai narsumber Guru Besar UGM Prof Eddy Hiariej dan Guru Besar UI Prof Topo Santoso.Prof Topo awalnya mengaku tidak dilibatkan dalam pembahasan KUHP baru. Namun di last minutes, Prof Topo Santoso ditelepon Prof Eddy yang kala itu sudah jadi Wakil Menteri Hukum.“Mas Topo ikut ya. Kita masih perlu sosialisasi ke Indonesia,” kata Prof Topo di Gedung Ditjen Badilum, Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025).Acara PERISAI kali itu mengambil tema ‘Implikasi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Sistem Peradilan Pidana di Indonesia’. Sebelum kedua narasumber menyampaikan makalahnya, acara dibuka oleh Dirjen Badilum Bambang Myanto. Sehari sebelumnya, PERISAI juga dgelar pada Senin (10/3) kemarin dengan mengundang nara sumber tunggal Anggota Dewan Pengawas KPK, Sumpeno. Prof Topo menyampaikan acara ini penting karena KUHP baru banyak memberikan rambu-rambu ke hakim, terutama Buku I.“Banyak buku 1 ke hakim, pedoman pemidanaan, pedoman untuk tidak menjatuhkan pidana penjara dan lain-lain,” ujar Prof Topo.Hingga berita ini diturunkan, PERISAI 5 masih berlangsung.

Prof Binsar Gultom Minta Segera Dibentuk UU Pelaksanaan Pidana Mati

article | Berita | 2025-03-05 16:50:07

Jakarta- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru akan berlaku secara efektif pada 2 Januari 2026. Tapi ternyata sampai sekarang pemerintah belum membentuk peraturan soal tata cara pelaksanaan pidana mati. Padahal, hal itu telah diatur secara eksplisit dalam pasal 102 KUHP baru yang mengatakan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dalam undang-undang. “Tanpa pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut akan menyulitkan bagi para aparat penegak hukum (polisi, jaksa/KPK dan hakim) di dalam melaksanakan pidana mati seperti telah diatur dalam pasal 100 sd pasal 101 KUHP,”  kata Prof Binsar Gultom saat berbincang dengan DANDAPALA , Rabu (5/3/2025).Prof Binsar Gultom selaku Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menyoroti ketentuan pasal 100 ayat (1) KUHP yang mensyaratkan penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun harus memperhatikan ‘adanya penyesalan dan harapan untuk memperbaiki diri terdakwa’. “Bagaimana mungkin hakim bisa memastikan persyaratan itu terpenuhi, jika hanya diketahui hakim sekejap dalam proses persidangan berlangsung disaat pemeriksaan terdakwa?,” ungkapnya.Menurut Prof Binsar Gultom selaku dosen di berbagai kampus ini, ketentuan ayat (1) tersebut lebih tepat ditempatkan pada pasal 100 ayat (4) KUHP, yang telah menegaskan jika masa percobaan selama 10 tahun terdakwa telah menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati berubah menjadi ‘pidana seumur hidup’ dengan keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung. Pada tahapan proses ini berarti status pelaku bukan lagi sebagai terdakwa di persidangan, tetapi sudah berstatus terpidana yang menjadi domain pembinaan dari Pemerintah c/q Lembaga Pemasyarakatan. Karena itu menurut Guru Besar pada Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini meminta kepada Pemerintah agar ketentuan Pasal 100 ayat (1) diatas segera ‘direvisi’ dan tak perlu dibebankan kepada Hakim untuk menjatuhkan pidana mati kepada terdakwa dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan syarat seperti tersebut di atas. “Biarlah kebebasan (independensi) tersebut diberikan kepada hakim untuk memutus perkara seperti telah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945. Toh di dalam ketentuan pasal 100 ayat (6) KUHP telah ditegaskan, jika terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji dan tak ada harapan untuk diperbaiki selama masa percobaan 10 tahun, maka pidana mati secara mutatis-mutandis akan dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung,” ungkap mantan hakim pemutus kopi maut bersianida ini.Namun  menjadi aneh lagi, tatkala permohonan grasi terpidana mati ditolak oleh Presiden dan pidana mati tersebut tidak dilaksanakan pihak pengeksekusi selama 10 tahun. Maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden (vide pasal 101 KUHP). “Mandeknya pelaksanaan eksekusi hingga 10 tahun ternyata tidak diatur secara tegas di dalam penjelasan ketentuan ini,” urai Binsar.Akan tetapi menurut Prof Binsar Gultom selaku pengajar di USU Medan dan UKI Jakarta ini mengharapkan dapat dijelaskan nanti secara tegas di dalam tata cara pelaksanaan pidana mati yang akan diatur tersendiri di dalam UU.*Prof Binsar Gultom - Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Jakarta-Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang 

Muara Enim Kebanjiran Akibat Hujan Lebat

photo | Berita | 2025-02-15 09:00:24

Muara Enim. Akibat hujan lebat Pengadilan Negeri Muara Enim kebanjiran. Tingginya curah hujan, menyebabkan aliran air ke aluran pembuangan tersendat. Akibatnya beberapa ruangan kantor yang terletak di Jalan Jenderal A. Yani No 17, Muara Enim, Sumatera Selatan terendam pada Jumat malam (14/02/2025)“Posisi bangunan kantor yang lebih rendah dari jalan tergenang air,” ujar Ari Qurniawan, Ketua PN Muara Enim. Lebih lanjut dijelaskan Sabtu paginya sudah mulai surut dan segera dibersihkan agar pelayanan kepada pencari keadilan tidak terganggu. (SEG).

Yang Baru Soal Asas Legalitas Dalam KUHP Baru

article | Berita | 2024-12-18 16:25:45

Pengecualian asas legalitas diatur di Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP Baru) yaitu hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau hukum adat yang merupakan asas legalitas materiel. Hal itu disampaikan Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura, Amin Sutikno, S.H., M.H., dalam Focus Group Discussion (FGD) Tantangan Pemberlakuan Undang-undang No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Selasa (17/12), di Aula Kantor Gubernur Papua, Dok II, Kota Jayapura.  Namun, menurut Amin Sutikno ada syarat atau kriteria yang harus dipenuhi dalam pemberlakuan hukum pidana adat, yaitu hanya berlaku setempat, “Misalnya hukum adat di Wamena tidak bisa diberlakukan di Jayapura” ujarnya. Selain itu, perbuatan tersebut belum diatur di KUHP, jika sudah diatur, maka ketentuan yang ada di KUHP yang diberlakukan. Demikian juga, aturan pidana adat tersebut, harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), maupun asas-asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa secara universal. “Untuk memperkuat berlakunya hukum adat ini dapat dituangkan dalam Perarutan Daerah, namun pemberlakuannya masih menunggu pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah” tegasnya.  Lebih lanjut mantan Ketua Pengadilan Negeri Surakarta Kelas I A Khusus ini mengatakan terdapat pengecualian lain terhadap asas legalitas  atau asas undang-undang tidak berlaku surut (non retroaktif) yang diatur di Pasal 3 KUHP Baru. Tetapi menurutnya ada syarat pemberlakuan asas retroaktif, dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, pertama, perubahan undang-undang menguntungkan pelaku. Kedua, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru. Ketiga, jika putusan telah berkekuatan hukum tetap, ternyata ada undang-undang yang baru ancamannya lebih ringan, maka  pelaksanaan putusan disesuaikan dengan batas pidana menurut undang-undang yang baru.Lebih jauh, Amin Sutikno yang sudah satu tahun menjabat sebagai Ketua PT Jayapura ini, mengatakan 624 pasal dalam KUHP Baru ini adalah merupakan kodifikasi dari berbagai peraturan perundang-undangan pidana yang tersebar. “Misalnya UU Tipikor, TPPU, Terorisme, UU senjata api, amunisi dan bahan peledak, UU Kesehatan, UU pangan, UU Narkotika, UU Perlindungan saksi dan korban, UU Perlindungan Anak, Tindak Pidana HAM Berat,  UU Pornografi, SPPA” urainya.  “Selain itu, berlaku asas lex posterior derogate legi priori, meski tidak seluruh undang-undang lama dicabut, tetapi ketentuannya mengacu pada pasal-pasal KUHP Baru. Pidana kurungan yang tersebar di dalam UU lain atau peraturan daerah diganti dengan pidana denda. Tidak kalah penting, barang siapa, diganti dengan Setiap Orang yaitu orang perseorangan, termasuk Korporasi” imbuhnya. Terkait dengan asas pemidanaan dalam KUHP Baru, Amin Sutikno mengatakan terdapat asas pencegahan, pemasyarakatan/rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan dan penciptaan rasa aman dan damai serta menumbuhkan penyesalan terpidana (Pasal 51 KUHP), dan tidak dimaksudkan merendahkan martabat manusia (Pasal 52). Selain itu, Hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan, dalam hal terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, wajib mengutamakan keadilan  (Pasal 53). “Hakim dapat memberikan pemaafan, atau tidak menjatuhkan pidana atau tindakan  (judicial pardon) dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan pelaku, keadaan pribadi pelaku, keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian, dan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan” ujarnya mengakhiri. Dalam FGD tersebut juga tampil sebagai Narasumber Dekan Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Prof. Dr. Frans Reumi, S.H.,M.A.,M.H., menyampaikan materi KUHP Baru dari perspektik filosofis, sosilogis dan juridis. Sementara itu, Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Papua Riyadi, S.H.,M.H menyampaikan materi Pidana dan Tindakan Dalam KUHP Baru. Acara tersebut diikuti ratusan peserta secara antusias, dengan banyak pertanyaan kepada narasumber, dengan Moderator Dr. Kusufi.  Acara FGD tersebut dilaksanakan oleh Kejaksaan Tinggi Papua kerja sama dengan Pemeritah Provinsi Papua, dibuka oleh Pj. Gubernur Papua Mayjend (Purn) Ramses Limbong, dihadiri Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Hendrizal Husin, S.H.,M.H dan Sekretaris Daerah Papua, Yohanes Walilo serta Direktur Reserse Krimanal Umum Polda Papua Kombes Pol. Achmad Fauzi Dalimunthe. Selain itu hadir Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura Stenly Yos Bukara, Kapolresta Jayapura, Kombes Pol Dr. Victor Mackbon, dan Ketua Pengadilan Negeri Jayapura Derman P. Nababan. Juga hadir peserta secara onsite dari kalangan penegak hukum pidana, Pimpinan Satuan Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi Papua, dan organisasi advokat, dan seluruh jajaran Kejaksaan Negeri di Kejaksaan Tinggi Papua melalui zoom meeting. (Derman P. Nababan)KPT Jayapura, Amin Sutikno, S.H., M.H., (tengah baju hitam) bersama Dekan FH Uncen Prof. Dr. Frans Reumi danAspidum Kejati Papua Riyadi, S.H., M.H.,  sebagai Pemateri. (DPN/SEG)