Cari Berita

Dipimpin Ketua PN Kayuagung, Eksekusi Pengosongan Rumah Berakhir Damai

article | Sidang | 2025-06-18 16:15:45

Kayuagung- Eksekusi pengosongan rumah di PN Kayuagung, Sumatera Selatan (Sumsel) berakhir damai pada Rabu (18/06/2025). Pemohonan yang teregister Nomor 1/Pdt.Eks.RL/2025/PN Kag tersebut terselesaikan setelah Termohon menyerahkan sukarela rumah sengketa kepada Pemohon.Kasus bermula ketika Pemohon, Fahmi Hidayat membeli sebidang tanah beserta rumah yang terletak di Kelurahan Kutaraya, Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pembelian melalui lelang atas agunan kredit yang macet di Bank BRI (12/12/2024). Pemohon yang seorang guru, setelah mengurus balik nama SHM Nomor 170 begitu terkejut saat hendak memasuki rumah ternyata masih ditempati oleh orang.Berbagai upaya persuasif dilakukan tetapi tidak menampakan hasil, akhirnya Fahmi Hidayat mendaftarkan permohonan eksekusi pengosongan ke PN Kayuagung. “Agar Termohon atau siapapun juga mengosongkan tanah dan rumah untuk diserahkan kepada Pemohon,” demikian bunyi permohonan yang diajukan Andi Wijaya, S.H., Advokat yang mewakili pengajuan permohonan.“Pada saat teguran atau aanmaning pada Kamis (12/06/2025) kedua belah pihak sepakat untuk berdamai,” ujar Abu Nawas, Panitera yang mendampingi Ketua PN Kayuagung.Tanpa menunggu lama, Abu Nawas menindaklanjuti dan memimpin langsung pengosongan secara sukarela oleh Suhendra Wibowo dengan disaksikan oleh perangkat desa setempat. “Rumah sudah dalam keadaan kosong dan diserahkan serta telah diterima dengan baik,” ujar Panitera PN Kayuagung langsung dari rumah yang menjadi sengketa.“Terima kasih kepada PN Kayuagung yang melaksanakan eksekusi secara manusiawi, kami menerima dengan ikhlas,” ujar Suhendra Wibowo sesaat setelah menerima sejumlah uang dari Fahmi Hidayat sesuai kesepakatan. “Keberhasilan eksekusi yang ke 22 sejak saya menjabat di PN Kayuagung pada Desember 2022,” ujar putra asli Kayugung yang telah lulus ujian fit untuk Panitera Kelas IA. (seg)

Ditjen Badilum Dukung Riset CILIS Universitas Melbourne Soal Sengketa Kontrak

article | Berita | 2025-06-04 09:10:27

 Jakarta- Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum), H Bambang Myanto mendukung penuh riset yang akan dilakukan Center For Indonesia Law, Islam and Society (CILIS) Universitas Melbourne terkait hukum di Indonesia. Khususnya soal sengketa kontrak dalam hal investasi Australia di Indonesia.Hal itu disampaikan saat menerima kunjungan perwakilan CILIS yang diwakili oleh Guru Besar Universitas Melbourne Prof  Jeremy Kingsley, dan akademisi Indonesia yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Melbourne Prof Nadirsyah Hosen. Saat menerima tim CILIS pada Selasa (3/6) kemarin, Bambang Myanto didampingi Sekretaris Ditjen, Dirganis dan Dirpapu serta para Hakim Yustisial Ditjen Badilum.Sebagai lembaga yang berfokus pada hukum Indonesia khususnya berkaitan dengan masyarakat Indonesia serta hukum agama dan pengaruhnya, CILIS termotivasi untuk mendalami praktik hukum peradilan yang berkaitan dengan topik sengketa kontrak yang akan diangkat. Dengan rencana pelaksanaan penelitian sengketa kontrak yang marak terjadi di Indonesia khususnya di wilayah hukum pengadilan area Jakarta, Yogyakarta, dan Mataram, CILIS berharap dapat mewujudkan sinergi baik perizinan maupun masukan dari Ditjen Badilum untuk dapat melakukan metode penelitian court observation atau pengamatan langsung.Dengan latar belakang penurunan angka investasi Australia ke Indonesia yang disebabkan hipotesis ketidakpastian penyelesaian sengketa kontrak pada peradilan Indonesia, CILIS bermaksud mendalami isu tersebut dengan analisis peraturan yang ada. “Soal permasalahan pembatalan kontrak karena tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 Lampiran B Angka 1 bahwa hal tersebut tidak lagi serta merta membatalkan kontrak,” kata Bambang Myanto kepada tamu CILIS.Lebih lanjut, segenap Ditjen Badilum menyambut baik gagasan penelitian CILIS dalam meneliti iklim investasi asing di Indonesia. Sebagai semangat transparansi dan kepastian hukum, Dirjen Badilum juga menunjukkan aplikasi Satu Jari sebagai inovasi dalam monitoring kinerja dari berbagai Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sambil memeragakan monitoring real time pada Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Mataram. Dirjen berharap inovasi tersebut dapat menjadi tambahan data bagi CILIS untuk membangun keyakinan investor asing atas kepastian proses hukum pada peradilan di Indonesia. Pertemuan ditutup dengan harapan Dirjen Badilum bahwa penelitian tersebut dapat bermanfaat bagi CILIS, Badilum, serta memajukan iklim hukum dan investasi di Indonesia. (NSN, NH)

PN Pontianak Berhasil Eksekusi Pengosongan Rumah dengan Damai

article | Sidang | 2025-05-20 17:50:01

Pontianak- Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil melaksanakan eksekusi pengosongan rumah. Proses tersebut berjalan damai dan lancar. Berdasarkan keterangan pers yang diterima DANDAPALA, Selasa (20/5/2025), eksekusi itu terhadap 1 (satu) buah objek tanah beserta bangunan yang berlokasi di Jalan Parit Haji Husin 2 Komplek Bali Mas 1, Kelurahan Bangka Belitung, Kecamatan Pontianak Tenggara.Eksekusi tersebut dijalankan berdasarkan pada Penetapan Ketua PN Pontianak Nomor 493/53/2020 jo. Nomor 3/Pdt.Eks/2023/PN Ptk, tanggal 28 April 2025, yang kemudian dilaksanakan oleh Jurusita PN Pontianak Bapak Ali Aspar, A.Md., disaksikan oleh 2 orang saksi dari PN Pontianak, dan diketahui oleh Panitera PN Pontianak Ibu Hj. Utin Reza Putri, S.H., M.H. Lebih lanjut, terlaksananya eksekusi tersebut juga atas bantuan anggota Kepolisian Resor Kota Pontianak dan Lurah Bangka Belitung Darat;Pada eksekusi tersebut, hadir Kuasa Pemohon Eksekusi dan Termohon Eksekusi. Kepada Termohon Eksekusi, telah dijelaskan baik mengenai Penetapan Ketua PN Pontianak serta maksud dari kedatangan untuk melaksanakan eksekusi pengosongan;Pada eksekusi tersebut, barang-barang bergerak milik Termohon Eksekusi dikeluarkan dari objek eksekusi (tanah dan bangunan) dan selanjutnya dipindahkan dari objek eksekusi tersebut dan disimpan di tempat penampungan sementara yang telah disediakan yang berlokasi di Jalan Sungai Raya Dalam, Kota Pontianak. Dengan telah dikosongkannya objek eksekusi yang dimaksud, selanjutnya objek eksekusi tersebut diserahkan ke Kuasa Pemohon Eksekusi;Dengan terlaksananya eksekusi ini, maka berakhirlah sengketa antara Pemohon Eksekusi dan Termohon Eksekusi, yang telah berlangsung dari beberapa tahun terakhir yang pada pokoknya adalah terkait hak atas objek eksekusi tersebut;Atas pelaksanaan eksekusi ini, Ketua PN Pontianak Arief Boediono mengucapkan syukur dan tak lupa berpesan bahwa dalam memberikan layanan kepada para pencari keadilan terkhusus mengenai eksekusi, PN Pontianak senantiasa mengedepankan kelengkapan data, ketepatan informasi, kehati-hatian, serta sikap humanis agar apa yang dilaksanakan menjadi suatu penyelesaian dan bukan menjadi sumber keributan baru. “Hal tersebut sebagaimana tugas dan wewenang pengadilan negeri sebagaimana Pasal 50 UU Peradilan Umum yaitu tidak hanya untuk memeriksa dan memutus perkara perdata, namun juga menyelesaikan perkara perdata,” kata Arief Boediono. (asp/asp)

Majelis Gugatan Ijazah Jokowi: Tolong Bantu Kami, Kami Tak Menerima Suap!

article | Sidang | 2025-04-24 15:05:23

Surakarta- Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, Jawa Tengah (Jateng) menggelar sidang perdata gugatan soal ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam sidang itu, majelis hakim meminta seluruh pihak untuk tidak menyuap hakim dalam bentuk apa pun!“Ada beberapa hal yang ingin majelis sampaikan, baik ke penggugat atau ke para tergugat. Pengadilan Negeri Surakarta telah mendapatkan Predikat WBK,” kata ketua majelis hakim Putu Gede Hariadi dalam sidang di ruang Kusuma Atmadja, PN Surakarta, Kamis (24/4/2025).Sidang ini juga disiarkan langsung di chanel YouTube PN Surakarta.“Untuk menjaga integritas hakim perlu kami sampaikan bahwa kepada para penggugat para tergugat, penasihat hukum, keluarga para pihak dan seluruh pengunjung sidang, tolong bantu kami tim pemeriksa perkara ini untuk berperilaku bersih dengan cara tidak menghubungi hakim, panitera, panitera pengganti, juru sita dan seluruh warga Pengadilan Negeri Surakarta, karena kami majelis hakim tidak menerima dari pihak manapun order perkara, pesanan perkara, dengan menerima tips, suap, pemberian atau janji dalam bentuk apapun juga, untuk mengabulkan, menolak, menerima gugatan yg sedang diperiksa oleh majelis hakim,” kata Putu Gede Hariadi.Putu Gede Hariadi menegaskan pihaknya tidak menyuruh siapa pun juga untuk meminta imbalan dalam menangani perkara itu.“Kami majelis hakim dan tim yang menyidangkan perkara ini tidak pernah dan tidak akan menyuruh oknum atau biro jasa mana pun untuk meminta sesuatu dalam bentuk gratifikasi, pungutan, suap dan sogok, untuk tujuan tertentu,dari suatu perkara yang diperiksa oleh majelis hakim,” beber Putu Gede Hariadi.Lalu bagaimana kalau ada yang melakukan perbuatan tersebut? Putu Gede Hariadi meminta untuk segera melaporkan usaha main mata itu.“Dan bila ada yang mengatasnamakna hakim, panitera, panitera pengganti, juru sita, dan pegawai Pengadilan Negeri Surakarta, menerima dan meminta tips, suap dan pemberian dalam bentu apapun juga , agar segera melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, dan Ketua PN Surakarta. Atas perhatiannya dan kerjasamanya diucapkan terima kasih,” pungkas Putu Gede Hariadi. (asp/asp)

A Brief Analysis on Indonesia’s Law on Recognition & Enforcement of Foreign Judgments

article | Opini | 2025-04-20 07:05:41

THE PROVISIONS governing the legal relationship between Indonesian and foreign elements are specifically regulated under Articles 16, 17 and 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23) or AB. Article 16 AB stated that, “De wettelijke bepalingen betreffende den staat en de bevoeg dheid der personen blijven verbindend voor Nederlandsche onderdanen, wanneer zij zich buiten’s lands bevinden.Evenwel zijn zij bij vestiging in Nederland of in eene andere Nederlansche Kolonie, zoolang zij aldaar hunne woonplaats hebben, ten aanzien van het genoemde gedeelte van het burgerlijk recht onderworpen aan de ter plaatse geldende wet.” [The legal provisions regarding the status and competence of persons remain binding on Dutch nationals when they are abroad. However, if they are settled in the Netherlands or in another Dutch Colony, as long as they have their place of residence there, they are said part of civil law subject to the locally applicable law]. This article generally serves as a legal ground for Indonesian judges to declare that personal and family law of Indonesian is the law applicable in Indonesia even though they are staying or living abroad. On top of that, Article 17 AB stated that, “Ten opzigte van onroerende goederen geldt de wet van het land of plaats, alwaar die goederen gelegen zijn.” [Real property is subject to the law of the country where the property is located]. This article regulates movable and immovable objects which must be valued according to the laws of the country or place where the object is located, regardless of who owns the object (Lex rei sitae). While Article18 AB states that, “1. De vorm van elke handeling wordt beoordeeld naar de wetten van het land of de plaats, alwaar die handeling is verricht. 2. Bij de toepassing van dit en van het voorgaande artikel moet steeds worden acht gegeven op het verschil, hetwelk de wetgeving daarstelt tussen Europeanen en Inlanders.” [The form of every transaction is determined by the laws of the country where the transaction takes place. 2. With the application of the current as well as the previous article, consideration should be given to the differences between Europeans and natives as provided in the regulations]. In essence, this article stipulates that the law applicable to every legal relationship between individuals is the law where the legal relationship was created. These articles are remained effectively in force even though it has been enacted more than one hundred years ago (Article 1 of the Transitional Provision of the Indonesian Constitution 1945).After knowing the general overview of Indonesia's private international law, we will look further at the current regulations regarding the recognition and enforcement of foreign judgments in Indonesia. Basically, a foreign judgment cannot be recognized and enforced in Indonesia. That is because the Reglement op de Rechtsvordering (RV) is still intact and applicable under Indonesian law. RV is the code of civil procedure created for European residents during the Dutch colonial rule in Indonesia. As the same approach taken by AB, RV is adopted into the Indonesian legal system after the Indonesian independence to fill the gap until it is substituted by the prospective rules in the future. The article referred to in the RV is Article 436, which stipulates that, ““1. Alle vonnissen van buitenlandse rechtbanken zijn niet-afdwingbaar op Indonesisch grondgebied, behalve in de zaken genoemd in artikel 724 van het Wetboek van Koophandel en in andere regelgeving. 2. Die andere zaken kunnen opnieuw voorgelegd worden aan en berecht worden door Indonesische rechtbanken.” [1. All judgments delivered by foreign courts are unenforceable in Indonesian territory except in the matters mentioned in Article 724 of the Commercial Code and in other regulations. 2. Those other matters can be brought again in front of and be judged by Indonesian Courts.”] Based on this article, recognition and enforcement of foreign judgments cannot be implemented in Indonesia except for foreign judgments relating to conditions regulated in Article 724 of the Commercial Code, that is foreign judgments relating to the calculation and replacement of Avarij (compensation for losses in shipping). In practice, Indonesian legal scholars argue that Article 436 RV can be deviated. For certain types of judgments, such as declaratory and constitutive, Indonesian legal scholars agree that foreign judgments may be recognized and enforced in Indonesian territory. A declaratory judgment is a judgment made to validate a particular legal status or situation (for instance, the validity of a contract or heirship), while a constitutive judgment is a judgment that creates a new legal condition or abolishes an existing legal condition (for example, an adoption, an annulment of a contract or a divorce). The evidentiary practice of this recognition and enforcement can be seen in the decision issued by the High Court of Semarang in 2019, where the court recognized the decision of the Judicial State of Illinois Circuit County of Winnebago No. 2016 D 48 (Decision of the High Court of Semarang No. 473/PDT/2019/PT SMG). The case was about child custody dispute between two Indonesian citizens who live in Illinois, the United States. The parents of the child agreed to divorce but were unable to agree on custody. The Illinois tribunal had held that the applicant has a right to custody and prohibited the mother from taking the child out of the United States. However, the mother did not obey the decision and flew away with the child to Indonesia. Feeling aggrieved by the mother’s act, the applicant asked the High Court of Semarang to recognize and enforce the Illinois Court’s judgment. The High Court of Semarang did recognize the Illinois judgment by rendering a decision stating that the mother had unlawfully brought the child to Indonesia and ordering the mother to take the child back to the United States to live with the applicant. The mother appealed against this decision to the Indonesian Supreme Court. In her appeal, the mother argued that a foreign judgment is not recognizable and enforceable in Indonesia under Article 436 RV (Decision of the Supreme Court No. 2021 K/Pdt/2020). The Indonesian Supreme Court supported the mother’s argument and found that the Illinois judgment cannot be recognized and enforced in Indonesia. The Indonesia Supreme Court then annulled the applicant’s custody and gave the rights to the mother. The above-mentioned case illustrates the current practice of the recognition and enforcement of foreign judgments in Indonesia, which arguably seems inconsistent and does not provide legal certainty to the parties. In short, Article 436 RV has always been used as a basis for courts to refuse recognition and enforcement of foreign judgments even if courts acknowledge the existence of theories suggesting that recognition and enforcement of foreign judgments might still be possible. A former Supreme Court judge, M. Yahya Harahap, has expressed the view that the only way to recognize and enforce a foreign judgment in Indonesia is by using the judgment as the legal basis for filing a new lawsuit before an Indonesian court (M. Y. Harahap, 2016:136). Then, the foreign judgment can be used as prima facie evidence, particularly written evidence, either as an authentic deed or merely as a legal fact. The fourth Chief Justice of the Indonesia Supreme Court, Soebekti, later endorsed this viewpoint, asserting that foreign judgments hold the same weight as authentic deeds under Article 1868 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) (R. Subekti, 1981:28). In other words, the dispute must be retried before Indonesian courts to start over and examine the merits of the case. The government's reluctance to shift its perspective is a key factor in the continued relevance of Article 436 RV, as it maintains the stance that foreign judgments should not be recognized in order to safeguard judicial and territorial sovereignty (S. Gautama, 2002:277). In general, this stance could only be overridden if Indonesia has a reciprocal agreement with other states for the mutual enforcement of judicial decisions. As of now, Indonesia has not signed any international agreements, treaties, or conventions concerning the recognition and enforcement of foreign judgments, nor does it have any bilateral agreements on this issue.Dwi Satya Nugroho Aji (Hakim PN Dataran Hunipopu, Maluku)

Arsip Pengadilan 1953: Sengketa Rumah Tangga Berujung ke PN Yogyakarta

article | History Law | 2025-04-18 15:50:36

Yogyakarta- Seorang ibu dari delapan anak, Ny Siti Robiah menggugat dua pihak ke Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta pada taun 1953. Sebab, ia merasa haknya atas sebuah rumah dirampas tanpa persetujuannya. Bagaimana ceritanya?Berdasarkan arsip PN Yogyakarta yang didapat DANDAPALA, Jumat (18/4/2025), perkara ini terdaftar dengan nomor perkara 484/1953. Perkara ini berlatarbelakang konflik keluarga serta persoalan hukum keperdataan kala itu.Diceritakan Ny Siti Robiah menggugat Nj Jus Daud sebagai Tergugat I dan M Dawami Sjudja sebagai Tergugat II. Dalam gugatannya tertanggal 14 September 1953, Ny Siti Robiah menyatakan bahwa ia telah menempati rumah di Suronatan Ng IV/43 bersama anak-anaknya selama lebih dari satu dekade. “Namun, pada tahun 1951, saat ia sedang mengurus anaknya yang bersekolah di Bandung dan melakukan kegiatan perdagangan, ia mendapati bahwa rumah tersebut telah disewakan oleh suaminya sendiri yaitu Penggugat II yaitu M Dawami Sjudja, kepada seseorang bernama Djojoprawoto,” demikian bunyi keterangan dalam putusan itu, Setelah dijelaskan duduk perkaranya kepada Djojoprawoto, akhirnya Djojoprawoto bersedia untuk meninggalkan rumah tersebut. Namun setelah Ny Siti Robiah dan anak- anak ingin segera menempati, para terguggat menolak mereka untuk menempati rumah tersebut. Setelah peristiwa tersebut, Ny Siti Robiah sempat meminta bantuan Kepolisian.“Namun atas anjuran kepolisian, Ny Siti Robiah serta anak-anak meninggalkan rumah tersebut,” kisahnya.Akhirnya Ny Siti Robiah mengajukan gugatan yang pada intinya meminta pengadilan menyatakan perjanjian sewa-menyewa tidak sah. Dan memerintahkan para Tergugat mengosongkan rumah tersebut.Dalam petitum gugatannya Ny Siti Robiah memohon kepada PN Yogykarta untuk:1.Memecahkan dan diterangkan pecah perjanjian sewa menyewa di antara Tergugat I dan Tergugat II2.Menghukum Tergugat I dan juga semua yang turut menempatinya dengan izin Tergugat mengosongkan rumah tersebut dalam waktu yang telah ditentukan pengadilan pengosongan jika perlu supaya dijalankan dengan bantuan polisi; 3.Menghukum Tergugat II supaya mentaati keputusan dalam perkara ini;4.Menghukum Tergugat- Tergugat membayar biaya dalam perkara iniDalam persidangan, Tergugat I (Ny Djas A. Daud) mengaku tinggal di rumah tersebut karena telah menyewa rumah dari Tergugat II (M. Dawani Sjudja) berdasarkan perjanjian tertanggal 1 September 1953. Di sisi lain, Dawani Sjudja selaku Tergugat II dalam jawabannya mengklaim bahwa rumah tersebut membeli sendiri dengan istri yang kedua yaitu St Sundari.  “Di pengadilan juga Penggugat menyatakan bahwa rumah tersebut juga dalam proses pembagian gono gini,” bebernya.Setelah melalui proses persidangan dan pembuktian, majelis hakim mempertimbangkan bahwa status kepemilikan rumah masih menjadi sengketa antara Penggugat dan Tergugat II.“Sehingga dalam hakekatnya gugatan Penggugat tersebut tidak dapat diterima sebelum ada putusan pengadilan tentang pembagian harta gono gini yang termasuk pula rumah ini yang menjadi sengketa,” urai majelis.Pengadilan menyatakan gugatan Penggugat belum cukup dasar-dasarnya. Maka oleh karena tidak mungkin dapat diterima dan seharusnya ditolak. Pengadilan memutuskan bahwa biaya perkara dibebankan kepada Penggugat sebagai pihak yang kalah.“Menolak gugatan Penggugat,” demikian bunyi amar PN Yogyakarta yang diketok oleh hakim tunggal Raden Hadi Purnomo. Sidang tersebut dibantu oleh Panitera Pengganti MP Wirjodisastro.Majelis juga menghukum Penggugat membayar segala biaya dalam perkara ini sejumlah Rp 38 (tiga puluh delapan rupiah). Putusan tersebut diucapkan pada tanggal 12 Desember 1954.  

Dikenal Sejak Raja Babilonia, Asas Praduga Tak Bersalah Eksis hingga Saat Ini

article | History Law | 2025-04-12 12:10:01

SOBAT DANDAPALA tentu tidak asing dengan asas praduga tak bersalah. Tapi tahukah anda bila asas ini mulai dikenal sejak zaman Raja Babilonia?Sebagaimana informnasi yang dihimpun DANDAPALA, Sabtu (12/4/2025), sejarah pertama asas praduga tak bersalah lahir pada zaman Raja Babilonia ke-6 yang dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Mesopotamia. Memerintah dari sekitar tahun 1792 hingga 1750 SM, ia tidak hanya mengubah wajah pemerintahan di Babilonia, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam pengembangan sistem hukum yang masih menjadi acuan hingga saat ini. Dikutip Dandapala di situs Encyclopedia Britannica, Hukum Hammurabi yang berisikan  282 kasus hukum meliputi ketentuan ekonomi (harga, tarif, perdagangan, dan niaga), hukum keluarga (perkawinan dan perceraian), serta hukum pidana (penyerangan dan perncurian), dan hukum perdata (perbudakan utang). Hukum Hammurabi adalah contoh paling awal dari seorang terdakwa yang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah (asas praduga tak bersalah). Dalam hukum ketiga Hammurabi menuliskan bahwa:Jika seseorang mengajukan tuduhan kejahatan apa pun di hadapan para penatua atau hakim istilah zaman sekarang, dan tidak dapat membuktikan apa yang dituduhkannya, jika itu tuduhan berat, maka penuduh harus dihukum mati. Hukum tersebut menggambarkan asas praduga tak bersalah pada masa pemerintahan Hammurabi. Di mana seseorang tidak langsung dinyatakan bersalah ketika mendapat tuduhan, melainkan tuduhan tersebut harus benar-benar dibuktikan. Dan jika penuduh yang berbohong (melakukan fitnah), maka penuduh akan mendapat hukuman. Filosofi praduga tak bersalah menekankan bahwa lebih baik membiarkan seorang yang bersalah bebas daripada menghukum yang tidak bersalah.Kemudian asas praduga tak bersalah ini diadopsi dalam hukum Romawi kuno. Hal itu dengan bukti dokumen Inggris seperti Magna Carta pada abad ke-13. Kemudian pada abad ke-18 dan ke-19 diikuti oleh sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law). Kemudian Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa sistem hukum ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya (asas konkordasi).Seperti dikutip DANDAPALA dari Farihan Aulia, Sholahuddin Al-Fatih ‘Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Lasw dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir’ Legality, Vol.25, No.1, Maret 2017-Agustus 2017, diterangkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam Pasal 8 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Itulah sekelumit sejarah singkat asas praduga tak bersalah atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan presumption of innocence yang kita kenal saat ini.(EES/asp)

Tok! PN Kayuagung Tolak Gugatan Hutan Kota yang Diklaim Milik Perorangan

article | Berita | 2025-04-08 15:50:12

 Kayuagung – PN Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan (Sumsel), menolak gugatan atas klaim kepemilikan tanah kawasan Hutan Kota Kayuagung yang diajukan oleh Husin. Majelis hakim menilai Husin selaku Penggugat tidak dapat membuktikan kepemilikannya atas tanah objek sengketa.Dari data yang dihimpun DANDAPALA, kasus bermula saat Penggugat mengaku telah membeli tanah seluas ± 23.625 m2 dari salah satu ahli waris Ahmad Zaini berdasarkan Akta Pengoperan dan Pemindahan Hak Nomor 12 tanggal 14 Maret 2024. Tanah tersebut disebut oleh Penggugat telah dikuasai oleh Pemerintah Daerah Ogan Komering Ilir (Pemda OKI) sejak tahun 2011 dengan mendirikan kawasan Hutan Kota.Selanjutnya Husin mengajukan gugatan ke PN Kayuagung yang kemudian terdaftar dengan nomor perkara 33/Pdt.G/2024/PN Kag. Berikut petitum yang diajukan atas gugatan tersebut:1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.2. Menyatakan Pengugat selaku pemilik yang sah atas sebidang tanah, yang terletak di darat Dusun Kedaton Jalan Seriang Kuning Kelurahan Kedaton, kecamatan Kayuagung kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan seluas ± 23.625 m2 dengan batas-batas:- Sebelah ulu / selatan berbatasan dengan Tanah Kebon H. Djalil (kondisi saat ini sebagian berbatasan dengan Tanah Kebon H. Djalil dan sebagian lainnya berbatasan dengan jalan);- Sebelah Ilir / Utara berbatasan dengan Tanah Kebon H. Ibrahim;- Sebelah laut / Barat berbatasan dengan Tanah Kebon Lihin;- Sebelah darat / Timur berbatasan dengan Tanah Kebon H. Ibrahim.3. Menyatakan bahwa Perbuatan Para Tergugat adalah Perbuatan Melawan Hukum;4. Menghukum Para Tergugat untuk mengosongkan, dan membongkar bangunan yang ada di atas objek sengketa.5. Menghukum Para Tergugat  dan atau siapapun yang menguasai objek sengketa tersebut tanpa izin Penggugat untuk mengosongkan dan menyerahkan tanah sengketa tanpa terkecuali kepada Penggugat secara cuma-cuma dan jika diperlukan dengan upaya paksa bantuan Aparat Kepolisian Republik Indonesia.6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp3.668.750.000,00 (tiga milyar enam ratus enam puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan kerugian immateril sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) kepada Penggugat.7. Menghukum Para Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan, bilamana lalai untuk menjalankan putusan.8. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada Verzet, Banding, Kasasi ataupun upaya hukum lainnya dari Tergugat (uitvoerbaar bij Vorraad).9. Membebankan biaya perkara kepada Para Tergugat untuk seluruhnya.10. Menyatakan Turut Tergugat untuk tunduk pada isi Putusan Pengadilan terhadap perkara a quo.Saat persidangan, Pemda OKI yang diwakili oleh Kejaksaan Negeri OKI sebagai kuasa hukumnya menyampaikan bantahan atas gugatan tersebut dengan menyatakan jika penguasaan kawasan Hutan Kota seluas 10 Hektare oleh Tergugat didasarkan pada Sertipikat Hak Pakai Nomor 01 tanggal 11 Februari 1985 dengan Gambar Situasi Nomor 223/1984 tanggal 04 April 1984.Setelah melalui proses persidangan, Majelis Hakim PN Kayuagung menolak seluruh gugatan Penggugat tersebut. "Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya," putus majelis hakim, Selasa (8/4/2025).Di mana dalam pertimbangannya Majelis Hakim menilai jika berdasarkan hasil pemeriksaan setempat, tanah objek sengketa sebagian berada di atas Sertipikat Hak Pakai Nomor 01 Nomor 1 tanggal 11 Februari 1985 dan Gambar Situasi (GS) Nomor 223/1984 tanggal 4 April 1984, sedangkan sebagian lagi berada di Gambar Situasi (GS) Nomor 224/1984 tanggal 4 April 1984. Adapun untuk sebagian tanah objek sengketa seluas 18.320 m2, yang penguasaannya oleh Tergugat didasarkan pada Sertipikat Hak Pakai Nomor 01 Nomor 1 tanggal 11 Februari 1985 merupakan penguasaan yang sah menurut hukum.Sementara itu, Majelis Hakim juga mempertimbangkan terkait penguasaan Tergugat atas sebagian tanah objek sengketa yang didasarkan pada Gambar Situasi (GS) Nomor 224/1984 tanggal 4 April 1984 seluas 82.110 m2. Majelis Hakim menyatakan meskipun Gambar Situasi bukan merupakan bukti kepemilikan tanah, namun karena tanah objek sengketa peruntukannya termasuk dalam kategori pembangunan untuk kepentingan umum berupa ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf l Undang-Undang Cipta Kerja. Telah dikuasai oleh Tergugat secara terus menerus sejak tahun 2009 dan tercatat sebagai aset milik Tergugat, mendasarkan pada SEMA Nomor 10 Tahun 2020, Majelis Hakim menyatakan perbuatan Tergugat tersebut bukanlah perbuatan melawan hukum.Berikut amar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim PN Kayuagung yang terdiri dari Guntoro Eka Sekti sebagai Ketua Majelis dengan anggota Anisa Lestari dan Indah Wijayati, pada Selasa (8/04/2025) melalui aplikasi e-Court:Dalam Konvensi:Dalam Provisi:- Menolak tuntutan Provisi Penggugat Konvensi untuk seluruhnya;Dalam Eksepsi:- Menolak eksepsi Tergugat I Konvensi, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, Tergugat V dan Turut Tergugat;Dalam Pokok Perkara:- Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya;Dalam Rekonvensi:Dalam Provisi:- Menolak tuntutan Provisi Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;Dalam Eksepsi:- Mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi;Dalam Pokok Perkara:- Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);Dalam Konvensi dan Rekonvensi:- Menghukum Penggugat Konvensi untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp2.610.000,00 (dua juta enam ratus sepuluh ribu rupiah);Sebelumnya, atas kawasan Hutan Kota pernah diajukan klaim kepemilikannya oleh Ningmas, Ahmad Rifai, dan Nurmala Dewi dalam perkara Nomor 18/Pdt.G/2024/PN Kag. Majelis Hakim PN Kayuagung melalui putusannya yang dibacakan pada Kamis (31/10/2024) dan kemudian dikuatkan oleh PT Palembang, juga menolak gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat tersebut. (AL/asp)

PN Pontianak Berhasil Eksekusi Sukarela Kasus Pesangon PHK Buruh

article | Berita | 2025-03-26 11:05:07

Pontianak- Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil melaksanakan eksekusi sukarela putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terkait pesangon PHK buruh. Eksekusi sukarela ini menandakan hadirnya kepastian hukum serta memenuhi rasa keadilan yang patut dan wajar bagi para pihak bersengketa.“Sampai dengan selesai, eksekusi sukarela berjalan dengan baik dan tanpa hambatan apapun,” demikian siaran pers PN Pontianak yang diterima DANDAPALA, Rabu (26/3/2025). Eksekusi itu dilaksanakan di ruang tamu terbuka PN Pontianak. Penyelesaian eksekusi secara sukarela atas Permohonan Eksekusi Nomor 5/Pdt.Sus-Eks/2024/PN Ptk jo. Putusan Nomor 35/Pdt.Sus-PHI/2023/PN Ptk jo. Putusan Nomor 329 K/Pdt.Sus-PHI/2024. “Hadir pada kesempatan tersebut prinsipal pemohon eksekusi dan prinsipal termohon eksekusi, serta Ketua PN Pontianak, Panitera PN Pontianak, Panitera Muda PHI PN Pontianak, dan kasir PN Pontianak.“Sebagai bentuk pelaksanaan putusan, termohon eksekusi menyerahkan sejumlah uang kepada pemohon eksekusi sebagaimana tersebut dalam amar Putusan Nomor 329 K/Pdt.Sus-PHI/2024, yang selanjutnya dituangkan dalam Berita Acara Penyerahan Uang,” paparnya.Merujuk data pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Pontianak, permohonan itu telah didaftarkan sejak tanggal 25 Juli 2024, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan pelaksanaan teguran (aanmaning) pada 8 Agustus 2024 dan 15 Agustus 2024. “Dalam perjalanannya, patut disyukuri bahwa pemohon eksekusi dan termohon eksekusi menemukan titik temu yang berujung pada penyelesaian sukarela antar keduanya,” terangnya.Dengan terlaksananya permohonan eksekusi itu, maka berakhirlah sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK) secara tuntas. Sengketa itu  berlangsung cukup lama yaitu sejak pertengahan 2023 “Lebih dari itu, pemenuhan isi putusan ini juga mencerminkan bahwa pengadilan (dari tingkat pertama hingga kasasi) telah mampu menghadirkan kepastian hukum serta memenuhi rasa keadilan yang patut dan wajar bagi para pihak bersengketa,” ujarnya.Sebagai informasi, penyelesaian eksekusi merupakan bentuk pemenuhan atas salah satu sasaran strategis dan indikator kinerja yang telah ditetapkan oleh Pimpinan PN Pontianak di awal tahun 2025. “Diharapkan, dengan kerja tim seluruh aparatur, PN Pontianak mampu mencapai bahkan melampaui target persentase putusan perkara perdata dan perdata khusus yang ditindaklanjuti (dieksekusi) sebagaimana telah ditetapkan,” pungkasnya.  (AS/WK)

Hakim Mediator PN Kalianda Berhasil Damaikan 2 Sengketa Perdata Dalam Sehari

article | Berita | 2025-03-24 16:45:49

Kalianda- Hakim mediator Pengadilan Negeri (PN) Kalianda, Lampung berhasil mendamaikan dua sengketa dalam sehari. Hal ini supaya memberikan pelayanan hukum yang efektif dan efisien bagi masyarakatBerdasarkan informasi yang dihimpun DANDAPALA, Senin (24/3/2025), mediasi pertama berlangsung untuk perkara perdata Nomor 11/Pdt.G/2025/PN Kla. Sidang itu yang dipimpin oleh hakim mediator, Nor Alfisyahr. Mediasi ini dihadiri oleh Penggugat yang didampingi oleh kuasa hukumnya serta Tergugat yang masing-masing turut berperan aktif dalam mencari solusi terbaik guna menyelesaikan sengketa di antara mereka secara damai. Dengan semangat musyawarah, para pihak akhirnya mencapai kesepakatan damai dan menandatangani Kesepakatan Perdamaian guna dikuatkan menjadi Akta Perdamaian.Sementara itu pada hari yang sama, mediasi kedua dilaksanakan untuk perkara perdata Nomor 6/Pdt.G/2025/PN Kla. Hakim mediator Fredy Tanada memimpin jalannya proses mediasi. Dalam suasana Ramadhan yang penuh kedamaian, Penggugat yang didampingi oleh kuasa hukumnya bersama para pihak lainnya bersepakat untuk mengakhiri sengketa secara damai. Kesepakatan yang dicapai kemudian dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian yang diinginkan oleh Para Pihak untuk dikuatkan menjadi Akta Perdamaian.Keberhasilan dua mediasi ini tidak hanya mencerminkan efektivitas mekanisme non-litigasi dalam penyelesaian perkara, tetapi juga menunjukkan bahwa bulan suci Ramadhan membawa keberkahan bagi para pihak yang memilih perdamaian dibandingkan dengan pertikaian hukum yang berkepanjangan. Dengan adanya solusi yang lebih kondusif ini, diharapkan masyarakat semakin memahami pentingnya mediasi sebagai alternatif dalam menyelesaikan sengketa secara cepat, adil, dan harmonis.PN Kalianda terus berkomitmen untuk mendukung penyelesaian perkara melalui mediasi sebagai bagian dari upaya memberikan pelayanan hukum yang efektif dan efisien bagi masyarakat. Keberhasilan mediasi ini menjadi bukti nyata bahwa dengan komunikasi yang baik dan semangat persaudaraan, setiap permasalahan hukum dapat diselesaikan dengan cara yang lebih damai dan bermanfaat bagi semua pihak. (wi/asp)

Saat PN Sintang Berhasil Terapkan Restorative Justice Kasus Kades vs Warga

article | Berita | 2025-03-24 14:00:01

Sintang- Pengadilan Negeri (PN) Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil melakukan upaya keadilan restoratif antara Kepala Desa (Kades) Vs warganya. Bagaimana ceritanya?Sebagaimana dirangkum DANDAPALA, Senin (24/3/2025), kasus itu tertuang dalam perkara Nomor 211/Pid.B/2024/PN Stg. Perkara tersebut berawal dari konflik yang terjadi antara Kades dengan warga Desa Penjernang, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Konflik muncul akibat pemberlakuan peraturan desa tentang larangan penjualan minuman keras dan praktik perjudian yang mendapat penolakan oleh sebagian warga desa. Penolakan tersebut membuat Kades Penjernang melakukan tindak pidana perusakan kaca mobil dan pintu rumah milik para warga yang kontra dengan pemberlakuan peraturan tersebut. Para warga tidak terima dengan sikap Terdakwa. Kemudian melaporkan perbuatan perusakan tersebut ke kepolisian hingga akhirnya perkara tersebut dilimpahkan ke PN Sintang. Konflik tersebut juga telah menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat desa. Sebagian mendukung Terdakwa dan sebagian lagi mendukung para korban. Perseteruan ini berlangsung lama dan telah menjadi konflik sosial yang mendapatkan perhatian dan penanganan serius dari Pemkab Sintang. Namun sayangnya sampai dengan perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan persoalan tersebut tidak dapat didamaikan sebab para korban menolak untuk berdamai.Awal mula persidangan, Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 406 ayat (1) KUHP. Maka sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf c Perma 1/2024, majelis hakim menerapkan keadilan restoratif dan kemudian menganjurkan Terdakwa dan Para Korban untuk menempuh jalan damai dan membuat kesepakatan perdamaian.Berdasarkan anjuran dari majelis hakim, Terdakwa dan para korban bersedia untuk membuat kesepakatan perdamaian, kemudian sesuai dengan Pasal 12 dan Pasal 15 Perma 1/2024 tersebut, majelis hakim menggali informasi antara lain berupa:a. dampak tindak pidana terhadap Para Korban;b. kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana; danc. kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan;Kemudian Terdakwa dan Para Korban sepakat untuk membuat kesepakatan perdamaian sebagai berikut:1. Terdakwa telah memohon maaf kepada Korban Stepanus Lewi dan Korban Stepanus Lewi telah memaafkan kesalahan Terdakwa;2. Terdakwa dan Korban Stepanus Lewi sepakat berdamai dan tidak akan menuntut apabila dalam Pengadilan Negeri Sintang menyatakan Terdakwa lepas dari semua tuntutan;3. Terdakwa bersedia membayar ganti kerugian sejumlah Rp 5 juta kepada Korban Stepanus Lewi;4. Terdakwa dan Korban Matius Bungsu sepakat untuk berdamai;5. Terdakwa telah mengganti kerugian yang dialami Korban Matius Bungsu dan melaksanakan syarat Adat Istiadat (Mali Rumah); dan6. Korban Matius Bungsu berjanji tidak akan menuntut dalam bentuk apa pun kepada Terdakwa di kemudian hari;Berdasarkan kesepakatan perdamaian tersebut dan oleh karena poin-poin dalam kesepakatan perdamaian tersebut telah dilaksanakan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 19 Perma Nomor 1/2024, majelis hakim menggunakan kesepakatan perdamaian tersebut sebagai alasan yang meringankan hukuman bagi Terdakwa dan kemudian menjatuhkan pidana bersyarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (asp)

Arsip 1984: Pria Hidung Belang Dihukum Ganti Rugi Gegara Batal Nikahi Pacar

article | History Law | 2025-03-24 11:30:52

DANDAFELLAS, pernah dengar lagu Band Hello tahun 2008 dengan judul Ular Berbisa?Kira-kira penggalan liriknya seperti ini?Seperti ular, seperti ularYang sangat berbisa, yang sangat berbisaSuka memangsa, suka memangsaDiriku tergigit cintaAku tertipu, aku terjebakAku terperangkap, muslihatmuPenggaran lirik tersebut, kiranya menggambarkan suasana batin perempuan asal Praya, Lombok Tengah yang mengajukan gugatan kepada calon suaminya pada tahun 1983. Cerita di dalam gugatannya seperti ini:Waktu awal merajut cinta tahun 1981, calon suami sempat menjanjikan akan menikahinya. Guna menunjukan bukti cinta, calon suami sempat menyerahkan Asli Surat Kartu Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Kartu Pegawai (Karpeg), dan bahkan sepeda motor Honda yang masih baru. Diketahui harga 1 unit sepeda motor Honda baru saat itu di kisaran Rp 200 ribu sampai dengan Rp 300 ribu. Sedangkan Gaji PNS waktu itu masih di angka Rp 30 ribu sampai dengan Rp 50 ribu.Kemudian seiring berjalannya waktu, si perempuan tersebut seakan tidak percaya, setelah 1 tahun 4 merajuk kasih dengan calon Suami, calon suami tidak kunjung juga memberikan kepastian untuk menikahinya. Padahal wanita tersebut tidak lelahnya untuk membujuk calon suami untuk segera menikahinya. Karena ia dan calon suami telah tinggal bersama dengan keluarganya. Namun bak disambar petir di siang bolong, di akhir perjalanan hubungan asmara mereka justru calon suami mengatakan: “Kalau saya nikah dengan kamu, maka saya akan dibuang oleh keluarga saya!”.Setelah hubungan wanita itu dengan calon suami kandas, maka kasus itu berujung pada meja hijau. Akhirnya Pengadilan Negeri (PN) Mataram mengeluarkan Putusan Nomor 073/PN. Mtr/Pdt/1983 tanggal 1 Maret 1984.Pada pokoknya di dalam Putusan PN Mataran tersebut  menyatakan calon suami  telah ingkar janji untuk menikahi penggugat (wanita asal Praya tersebut). Di samping itu PN Mataram juga menghukum calon suami (Tergugat) untuk membayar ganti rugi kepada pihak wanita sejumlah Rp 2,5 juta serta ada juga harta yang telah diletakan sita jaminan, telah dinyatakan sah dan berharga.Dalam perjalanan kasusnya, meskipun Putusan PN Mataram tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Mataram. Namun pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) akhirnya  menghukum si lelaki hidung belang. Pada amar Putusan MA Nomor 3191 K/Pdt/1984 disebutkan Tergugat (calon suami) telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Lalu Tergugat juga dibebankan untuk mengganti rugi sejumlah Rp 2,5 juta kepada Penggugat.Dalam pertimbangan Putusan MA disebutkan:“Bahwa dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini tersebut, tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan perbuatan tergugat asal tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian bagi Penggugat Asal, maka Tergugat Asal wajib memberi ganti kerugian sebagaimana tertera dalam amar Putusan nanti” (asp) 

Berakhir Damai, PN Makassar Berhasil Mediasi Perkara Sengketa Tanah Warga

article | Berita | 2025-03-21 21:55:03

Makassar- Mediator Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel),  Alexander Tetelepta berhasil mendamaikan perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) No. 92/Pdt.G/2025/PN Mks.Perkara antara Mappaturung melawan Monoria Rongeng ini merupakan perkara pertama yang mediasi berhasil damai.Perkara yang terkait sengketa tanah akhirnya dapat diakui oleh Tergugat bahwa kepemilikannya adalah Penggugat.Mediator yang juga adalah Hakim PN Makassar memediasi para pihak pada hari Jumat tanggal 21 Maret 2025 dan merupakan pertemuan kedua.Dalam kesepakatan perdamaian, para pihak setuju juga untuk tidak mempermasalahkan lagi biaya yang timbul dalam selama perkara ini berproses di PN Makassar.

Ini Penjelasan PN Denpasar Atas Kritikan Todung Mulya Lubis Soal Sidang Molor

article | Berita | 2025-03-19 19:55:01

Denpasar- Pengacara senior Todung Mulya Lubis mengkritik atas jadwal sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali yang molor. Atas hal itu, PN Denpasar meminta maaf karena jadwal sidang di PN Denpasar hari ini sangat padat.Berikut cuitan Todung Mulya Lubis lewat akun X @TudingLubis,  Rabu (19/3/2025):1:03 PM · Mar 19, 2025PN Denpasar. Panggilan sidang jam 10, Saya sdh di PN jam 9.30, dan sdh lapor. Kuasa hukum penggugat blm datang. Sdh jam 14 msh blm jelas jam berapa akan sidang. Apa delay set ini akan terus berlangsung?1:06 PM · Mar 19, 2025PN Denpasar. Perkara yg masuk ke PN jumlahnya banyak sekali, jumlah hakim dan ruang sidang terbatas. Tapi apa tdk bisa membuat jadwal sidang yg on time, dan jika terlambat maka terlambatnya tdk berjam-jam.1:48 PM · Mar 19, 2025PN Denpasar. Saya sdh menunggu 5 jam. Saya hanya ingin bertanya pada Ketua PN: apakah ecosystem pengadilan tak bisa diperbaiki sbg tempat ajudikasi yg ontime dan professional?Atas kejadian tersebut, PN Denpasar menyatakan bahwa memang sidang hari ini sangat padat.“Setelah berkordinasi dengan Ketua Majelis, disampaikan bahwa benar tadi ada perkara tersebut. Sehubungan ruang sidang yang terbatas, dan adanya perkara permohonan yang cukup banyak, sehingga persidangan perdata gugatan, menjadi lebih molor mulainya,” kata Humas PN Denpasar, Gede Putra Astawa kepada DANDAPALA, Rabu (19/3/2025) malam.Gede Putra Astawa menjelaskan, perkara perdata gugatan tersebut akhirnya dimulai sekitar jam 12-an siang.“Perkara yang ditangani saudara Todung Mulya Lubis tersebut baru disidangkan sekitar jam 14.30 WITA,” jelas Gede Putra Astawa.PN Denpasar berkomitmen untuk menjalankan proses persidangan yang efisien dan tepat waktu. “Ketua PN Denpasar menyikapi persoalan ini dengan serius dan akan mengevaluasi kembali pelayanan persidangan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Dengan ini PN Denpasar memohon maaf kepada semua pihak pengguna layanan persidangan atas ketidaknyamanan yang terjadi,” pungkas Gede Putra Astawa.