Cari Berita

PN Rembang Terapkan Keadilan Restoratif Perkara Penipuan

article | Berita | 2025-06-11 09:00:29

Rembang - Selasa, 10 Juni 2025 Pengadilan Negeri Rembang berhasil melakukan pendekatan keadilan restoratif dalam proses persidangan perkara pidana penipuan dengan Nomor Perkara 36/Pid.B/2025/PN Rbg. Pendekatan ini diterapkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif di Lingkungan Peradilan.“Dalam persidangan tersebut, terdakwa secara terbuka mengakui perbuatannya dan menyatakan penyesalan atas tindakannya. Melalui proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan, terdakwa dan korban sepakat untuk berdamai. Korban menerima permintaan maaf terdakwa dan menyatakan tidak ingin memperpanjang perkara ini ke arah yang lebih berat”, bunyi rilis berita yang diperoleh DANDAPALA dari pengadilan tersebut.Lebih lanjut, namun demikian penerapan Restorative Justice dalam perkara ini tidak secara otomatis menghentikan proses persidangan. Sebagaimana ditegaskan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2024, penerapan pendekatan keadilan restoratif di pengadilan bersifat sebagai pertimbangan yudisial yang meringankan, bukan sebagai dasar penghentian perkara. Oleh karena itu, sidang tetap dilanjutkan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan untuk mempertimbangkan seluruh unsur yang relevan dalam menjatuhkan vonis.Dalam persidangan Majelis Hakim tersebut menyampaikan bahwa meskipun perkara tetap diperiksa hingga tahap akhir, adanya perdamaian antara terdakwa dan korban menjadi faktor penting yang akan diperhitungkan dalam putusan akhir. Hal ini menunjukkan bahwa Pengadilan Negeri Rembang tidak hanya mengedepankan penegakan hukum formal, tetapi juga memberi ruang bagi penyelesaian yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. “Keberhasilan ini mencerminkan langkah progresif Pengadilan Negeri Rembang dalam mengimplementasikan kebijakan hukum yang lebih adaptif terhadap dinamika masyarakat, serta menjunjung tinggi prinsip pemulihan dan rekonsiliasi dalam penegakan hukum”, kata penutup dalam rilis tersebut. (fac)

Terapkan Restorative Justice, PN Pulau Punjung Libatkan Tokoh Adat Minangkabau

article | Berita | 2025-06-04 18:15:59

Dharmasraya - Pengadilan Negeri Pulau Punjung menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam perkara pidana. Kali ini, pendekatan tersebut diterapkan dalam perkara pencurian kelapa sawit atas nama terdakwa Muhammad Yusuf bin Norsal dengan korban Hariyanto, sebagaimana tercatat dalam register perkara nomor 57/Pid.B/2025/PN Plj.Perkara ini diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pulau Punjung yang diketuai oleh Dedy Agung Prasetyo dengan anggota majelis Tedy Rinaldy Santoso dan Iqbal Lazuardi. “Proses perdamaian antara terdakwa dan korban dilakukan di hadapan Majelis Hakim dan disaksikan langsung oleh tokoh masyarakat setempat, yakni Kepala Jorong Bukit Makmur, Kenagarian Koto Laweh, Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya, Gunawan Setiadi. Tokoh adat tersebut turut menjembatani penyelesaian secara kekeluargaan”, bunyi rilis berita yang Tim DANDAPALA terima dari Humas PN tersebut.Lebih lanjut, proses perdamaian berlangsung dengan menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah yang hidup dalam masyarakat Minangkabau. Kehadiran Kepala Jorong sebagai tokoh adat turut memperkuat legitimasi sosial dari penyelesaian perkara ini. Sebagaimana falsafah Minangkabau ‘adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah’, mekanisme musyawarah tidak hanya menjadi sarana sosial, tetapi juga bentuk legitimasi moral yang hidup dalam masyarakat hukum adat setempat.Dalam forum tersebut, terdakwa mengakui kesalahannya dan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada korban. Korban, pada gilirannya, menyatakan telah memaafkan terdakwa dan memilih menyelesaikan perkara secara damai tanpa menuntut ganti rugi. Dalam rilis berita tersebut tertera kerugian korban dalam perkara ini sejumlah kurang lebih 203 tandan seberat 846 Kg yang jika diuangkan bernilai kurang lebih sejumlah Rp2.697.000,00 (dua juta enam ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah) yang kemudian dituangkan dalam kesepakatan perdamian tertanggal 20 Mei 2025 yang telah diserahkan kepada Majelis Hakim di muka persidangan. Pendekatan keadilan restoratif ini sejalan dengan semangat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Namun demikian, meskipun telah terjadi perdamaian, penuntut umum tetap menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 4 bulan. Majelis Hakim menilai bahwa perkara ini memenuhi prinsip-prinsip keadilan restoratif, seperti adanya pengakuan kesalahan, kesediaan korban untuk memaafkan, serta tidak adanya potensi konflik lanjutan. Oleh karena itu, penyelesaian perkara melalui musyawarah kekeluargaan mendapat tempat yang layak dalam proses persidangan.Putusan perkara ini dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025, dengan menjatuhkan hukuman selama 4 bulan penjara kepada terdakwa, yang mana hal tersebut sesuai dengan tuntutan dari penuntut umum. Meskipun telah terjadi perdamaian, vonis tetap dijatuhkan sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum yang proporsional dan edukatif.Istilah “ninja sawit” sendiri merujuk pada maraknya aksi pencurian tandan buah segar kelapa sawit yang dilakukan secara diam-diam, biasanya pada malam atau dini hari. “Penerapan pendekatan keadilan restoratif dengan melibatkan tokoh jorong dan mekanisme musyawarah ini mencerminkan integrasi antara hukum negara dan nilai-nilai kearifan lokal, menjadikan peradilan lebih membumi dan diterima oleh masyarakat. Upaya ini selaras dengan kebijakan Mahkamah Agung RI yang mendorong lahirnya sistem peradilan pidana yang lebih humanis, solutif, dan berorientasi pada pemulihan sosial”, isi rilis berita tersebut. (fac)

PN Probolinggo Lakukan Judicial Activism dalam Penerapan Restoratif Jutice

article | Sidang | 2025-05-22 13:20:36

Kota Probolinggo. Pengadilan Negeri (PN) Probolinggo menghukum Terdakwa pencurian dengan kekerasan menggunakan pendekatan judicial activism dalam menerapkan restoratif jutice. “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan,” ucap Majelis Hakim yang diketuai Taufiqurrohman dengan didampingi Setiawan Adiputra dan Dany Agustinus sebagai anggota, pada Kamis 22/5/2025 kutip rilis yang diterima DANDAPALA. Perkara tersebut bermula saat Terdakwa sangat membutuhkan uang sejumlah Rp120 ribu untuk membayar cicilan utang, karena tidak memiliki uang maka timbul niat Terdakwa untuk merampas sebuah dompet milik korban yang sedang menumpangi sepeda motor. Namun Terdakwa Terdakwa hanya mendapati dompet tersebut berisi uang sejumlah Rp100 ribu, 1 (satu) buah telepon seluler dan surat-surat milik korban. Akibat perbuatan Terdakwa tersebut korban mengalami kerugian dua juta tujuh ratus ribu rupiah. Dalam perkara tersebut telah terjadi perdamaian yang dilakukan oleh Terdakwa dan Korban secara tertulis dan Terdakwa telah membayarkan uang sejumlah kerugian yang dialami Korban sejumlah dua juta tujuh ratus ribu rupiah. Permasalahan muncul saat perbuatan Terdakwa tidak memenuhi salah satu ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perma 1 Tahun 2024, tetapi mengenai syarat kerugian korban tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat Majelis Hakim memiliki pertimbangan tersediri, padahal fakta perdamaian tersebut tidak dapat dikesampingkan. “Nilai kerugian yang dialami oleh Korban akibat perbuatan Terdakwa sejumlah dua juta tujuh ratus ribu rupiah tersebut melampaui dari dua juta lima ratus ribu rupiah. Sementara Upah Minimum Provinsi Jawa Timur Tahun 2025 sejumlah dua juta tiga ratus lima ribu sembilan ratus delapan puluh lima rupiah. Disisi lain Majelis Hakim memandang esensi dari Restoratif Justice, baik itu asas maupun tujuan telah terpenuhi tetapi tidak ada satupun kriteria dari perkara yang dapat diterapkan Restoratif Justice terpenuhi. Hal tersebut mendorong Majelis Hakim melakukan Judicial Activism dengan menggunakan Metode Interpretasi (penafsiran hukum) Sistematis (logis) dengan menghubungkan ketentuan hukum. Majelis Hakim dengan menggunakan penafsiran hukum tersebut menemukan bahwa jika telah terdapat Upah Minimum Kabupaten/Kota maka Upah Minimum Provinsi tidak berlaku. Di sisi lain Kota Probolinggo pada Tahun 2025 telah memiliki Upah Minimum Kota sejumlah dua juta delapan ratus tujuh puluh enam juta enam ratus lima puluh tujuh ribu rupiah, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan terhadap perkara ini dapat diterapkan pedoman mengadili Restoratif Justice,” tulis rilis tersebut. Berdasarkan rilis tersebut, Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut tidak dapat begitu saja mengenyampingkan Perdamian yang telah dilakukan oleh Terdakwa dengan Korban dengan memedomani ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perma 1 Tahun 2024). Penerapan Restoratif Jutice dengan adanya Perdamaian tersebut menjadi dasar Majelis Hakim dalam meringankan hukuman dengan menjatuhkan Pidana Penjara selama 7 (tujuh) Bulan. Atas putusan tersebut Terdakwa dan Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan sikap menerima putusan, sedangkan Penuntut Umum menyatakap sikap pikir-pikir. “Penerapan restoratif justice haruslah dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam Perma 1 Tahun 2024, tidak hanya sebagai wujud mendukung kebijakan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Umum dalam penerapan restoratif justice tetapi juga perubahan cara pikir dalam penjatuhan pidana dari teori pembalasan/retributif bergeser menggunakan teori tujuan,” tutup rilis tersebut. (LDR)

Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Dewasa Melalui Mekanisme Diversi

article | Opini | 2025-04-06 14:10:59

Dalam perkembangan penegakan hukum dan penyelesaian perkara tindak pidana saat ini, masing-masing instansi penegak hukum telah menggaungkan atau berlomba-lomba melakukan penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice). Berkaitan dengan penyelesaian perkara tindak pidana melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice) tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perkap Tentang Keadilan Restoratif dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja tentang Keadilan Restoratif serta untuk Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana  Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perma tentang Keadilan Restoratif). Dalam Perma tersebut pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud dengan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan. Berkaitan dengan penjelasan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) tersebut, lalu timbul pertanyaan yakni bagaimana seandainya apabila ternyata Penyidik Kepolisian atau Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim pada Pengadilan berhasil menyelesaikan perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif? Apakah perkaranya bisa dihentikan pada tingkat Penyidikan, Penuntutan maupun Pengadilan? Menurut Penulis jawabannya yakni kalau pada tingkat Penyidikan atau Penuntutan, baik Penyidik maupun Penuntut Umum dapat melakukan langkah hukum/prosedur penghentian penyidikan/penuntutan melalui aturan internal Kepolisian Negara Republik Indonesia/Kejaksaan Agung Republik Indonesia, salah satunya yaitu Perkap tentang Keadilan Restoratif dan Perja tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana penyelesaian perkara pidana pada Pengadilan melalui pendekatan keadilan restoratif? Berdasarkan Perma tentang Keadilan Restoratif pada pokoknya menerangkan apabila tercapai penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif dengan mengedepankan perdamaian antara pelaku dan korban serta pihak terkait, maka hanya menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi Terdakwa/pelaku dalam menjatuhkan putusan dan tidak serta-merta menghentikan perkaranya. Berdasarkan kondisi tersebut diatas, kesimpulannya yakni ternyata masing-masing instansi penegak hukum seperti Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki aturan tersendiri mengenai penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif (Restorative Justice). Sampai saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur secara khusus tentang jenis-jenis perkara pidana apa saja yang bisa diselesaikan melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) serta bagaimana syarat dan tata cara (Hukum Acara) penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) tersebut, karena Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana saat inipun belum mengatur bagaimana tata cara/mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif tersebut, sehingga perlu dibentuk payung hukum berupa Undang-undang atau aturan hukum yang lebih menjamin kepastian hukum dan keseragaman dalam penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa bagi instansi penegak hukum termasuk pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Keadilan Restoratif dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan umum UU SPPA dengan menyebutkan Keadilan Restoratif merupakan suatu proses diversi. Artinya semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka menurut pendapat Penulis, apabila suatu Instansi Kepolisian/Kejaksaan/Pengadilan berhasil melakukan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif sebaiknya sama halnya dengan melakukan penyelesaian perkara yang pelakunya anak yakni melalui keadilan restoratif dan juga “diversi”, sehingga apabila penyelesaian perkara pidana tersebut berhasil melalui keadilan restoratif dan juga “diversi” dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan, maka sebaiknya hal tersebut dilaporkan kepada Ketua Pengadilan untuk selanjutnya dikeluarkan Penetapan. Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan tersebut, menurut pendapat penulis sama halnya dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, artinya meskipun penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa berhasil dilakukan dengan keadilan restoratif dan diversi maka tersangka/terdakwa dianggap telah terbukti melakukan suatu tindak pidana, sehingga apabila tersangka/terdakwa mengulanginya maka terhadap tersangka/terdakwa tersebut tidak bisa dilakukan penyelesaian perkaranya melalui keadilan restoratif maupun diversi karena telah berulang melakukan suatu tindak pidana. Dengan demikian penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi ini selain bertujuan untuk mencapai keadilan dimasyarakat tentunya sebagai sarana pencegahan bagi tersangka/terdakwa itu sendiri, supaya tidak berulang melakukan tindak pidana. Dalam kesepakatan perdamaian melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut juga, jika berhasil sebaiknya mengenai barang bukti apabila dalam perkara tindak pidananya terdapat barang bukti, maka harus dimuat juga mengenai status barang bukti tersebut dalam Penetapan Diversi. Dengan tercapainya penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan yang dilaporkan serta dikuatkan dengan Penetapan oleh Ketua Pengadilan setempat sebagaimana penyelesaian perkara pidana melalui “Diversi” dalam perkara pidana yang pelakunya “Anak”, maka Penulis berpendapat itulah keadilan yang sesungguhnya yang memenuhi Asas Kepastian Hukum, Asas Kemanfatan dan Asas Keadilan serta Asas Peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan dalam penyelesaian suatu perkara tindak pidana.   Sejalan dengan hal tersebut, maka Penulis berpendapat bahwa Instansi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik indonesia dapat bersama-sama untuk menyelaraskan aturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif yang dituangkan dalam suatu undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif dengan dukungan penuh dari lembaga eksekutif atau setidak-tidaknya dibuat aturan yang mengikat bagi masing-masing instansi penegak hukum yang dapat mengadopsi aturan penyelesaian perkara pidana melalui “keadilan restoratif” dan “diversi” yang termuat dalam UU SPPA. Penulis berpendapat penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat memungkinkan juga untuk diselesaikan melalui Diversi (Pengalihan Penyelesaian Perkara dari Proses Peradilan ke Proses di Luar Peradilan Pidana). Mengapa demikian? karena ketika sudah terjadi perdamaian dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif melalui pemulihan keadaan semula yang dituangkan dalam kesepakatan perdamaian yang dapat dilakukan dengan atau tanpa ganti kerugian. Misalnya bentuk pemulihan terhadap korban dalam perkara tipiring pencurian buah kelapa sawit yang pelaku/tersangka/terdakwanya tertangkap tangan bersama barang bukti berupa buah kelapa sawit, maka hal tersebut tentunya tidak membawa kerugian yang signifikan bagi korban, sehingga penyelesaiannya dapat ditempuh melalui diversi dengan mengupayakan keadilan restoratif yang melibatkan pelaku, korban, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang dianggap perlu dengan dibantu fasilitator diversi dengan penyelesaian/perdamaian tanpa ganti rugi tetapi dengan syarat para pihak harus saling memaafkan atau pelaku diberikan sanksi sosial untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi khalayak umum seperti membersihkan/melakukan pelayanan di tempat ibadah/fasilitas umum dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk/bagian yang termasuk keadilan restoratif yang bertujuan untuk mempererat hubungan baik para pihak (hubungan sosial) agar tidak ada dendam, artinya keadilan restoratif ini jangkauan dan manfaatnya sangat luas terutama dalam hal pencegahan tindak pidana atau misalnya dalam perkara penganiayaan ringan dimana pelaku dan korban sudah saling memaafkan dengan perdamaian melalui ganti rugi biaya pengobatan, maka contoh-contoh perkara tersebut sebaiknya dapat diselesaikan melalui diversi yang pelakunya sudah dewasa sebagaimana diversi dalam perkara pidana anak artinya penyelesaiannya tidak mesti melalui persidangan. Selain itu, apabila memungkinkan dibentuknya undang-undang atau setidak-tidaknya aturan hukum yang mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum mengenai penyelesaian perkara tindak pidana melalui keadilan restoratif dan diversi bagi pelaku yang sudah dewasa. Maka hal ini sejalan dengan asas dalam hukum pidana yakni asas ultimum remedium yang pada pokoknya memiliki arti bahwa pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum di Indonesia. Apabila suatu perkara tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain dengan cara kekeluargaan, negosiasi, mediasi dan lain sebagainya yang dapat berujung pada perdamaian para pihak yang berperkara pidana, maka hendaknya cara-cara tersebutlah yang harus terlebih dahulu dilakukan apalagi dalam penanganan perkara tindak pidana ringan yang kategori ancaman hukuman maupun akibat perbuatan pelaku tindak pidana dalam kategori ringan. Penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat perlu diselesaikan tidak hanya melalui proses keadilan restoratif (restorative justice) akan tetapi dapat mengacu dan mengadopsi penyelesaian perkara pidana melalui “diversi” sebagaimana penyelesaian perkara pidana yang pelakunya “Anak”. Hal inilah yang menjadi alasan penting untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut. Penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa dan memenuhi persyaratan atau kualifikasi untuk diupayakan melalui keadilan restoratif dan diversi ini menurut Penulis juga merupakan salah satu bentuk implementasi terhadap nilai-nilai Pancasila dan  Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 karena budaya masyarakat Indonesia yaitu menyelesaikan masalah dengan cara bermusyawarah untuk mufakat mencari solusi penyelesaian terbaik. Sehingga harus dibuat aturan khusus mengenai hukum acara pidana terkait penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa melalui aturan undang-undang/aturan hukum lainnya yang berlaku mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum di negara indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan bagi pencari keadilan sesuai dengan keadaban publik saat ini dimana penanganan perkara pidana pada masing-masing instansi penegak hukum harus mudah dijangkau oleh masyarakat/pencari keadilan dan bersifat transparan.

Terapkan RJ, PN Dompu Hukum Terdakwa Penipuan dengan Pidana Percobaan

article | Berita | 2025-03-19 10:35:49

Dompu- Pengadilan Negeri (PN) Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) berhasil mengadili perkara penipuan dengan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice. Si terdakwa lalu dihukum dengan penjatuhan pidana bersyarat.Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, Selasa (18/3/2025). Majelis Hakim yang diketuai oleh Firdaus, S.H., tersebut menyatakan Terdakwa Ahmad Alias Ahmad Baharudin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu Penuntut Umum.Kasus bermula pada tanggal 9 April 2023 saat Terdakwa selaku PNS pada salah satu instansi pemerintahan menawarkan bantuan 1 unit mobil pick up dan meminta sejumlah uang kepada korban yang bernama Faisal dengan dalih sebagai uang administrasi agar mobil pick up tersebut dapat diberikan kepada Korban Faisal. Dengan upaya rangkaian kebohongan yang dilakukan Terdakwa, sehingga Korban Faisal tergerak hatinya untuk menyerahkan uang dengan total sejumlah Rp15.700.000 agar mendapatkan bantuan mobil pickup yang dijanjikan Terdakwa untuk menopang usaha Korban. Namun nahas, mobil pickup yang dijanjikan tersebut tidak pernah diterima oleh Korban Faisal hingga persidangan perkara tersebut disidangkan;PN Dompu menilai perkara tersebut memenuhi kriteria perkara yang dapat diadili dengan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam PERMA 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim menyebutkan bahwa di persidangan Korban Faisal menerangkan telah ada perdamaian karena Terdakwa telah mengembalikan uang sejumlah Rp15.000.000. Kemudian Korban Faisal menerangkan telah mengikhlaskan uang sejumlah Rp700 ribu tidak perlu dibayarkan lagi oleh Terdakwa. Selanjutnya Korban Faisal juga menerangkan telah memaafkan perbuatan Terdakwa dan telah ada Surat Pernyataan Perdamaian yang dibuat dan ditandatangani tanggal 10 Januari 2025.“Di persidangan juga Majelis Hakim telah menggali, baik dari Terdakwa maupun Saksi Faisal, dan mendapati fakta bahwa perdamaian antara Terdakwa dengan Saksi Faisal dilakukan dengan kesadaran tanpa ada paksaan, intimidasi, penipuan, maupun relasi kuasa.” ucap Ketua Majelis Firdaus, S.H., yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua PN Dompu. Putusan diketok oleh Majelis Hakim yang beranggotakan Rizky Ramadhan, S.H., M.H., dan Ricky Indra Yohanis, S.H., dengan dibantu oleh Panitera Pengganti bernama Fitriani, S.E., S.H.“Pidana percobaan yang dijatuhkan kepada Terdakwa sebagaimana tertuang dalam amar putusan telah tepat, efektif, proporsional, memenuhi rasa keadilan, baik bagi Terdakwa dan Saksi Faisal, maupun masyarakat sesuai dengan tujuan dari pemidanaan yang bukan sebagai upaya penghukuman dan pembalasan sehingga menimbulkan nestapa, melainkan menitikberatkan sebagai upaya korektif dan preventif yaitu upaya memperbaiki perbuatan Terdakwa dan mencegah Terdakwa kembali melakukan kejahatan di kemudian hari, sehingga Terdakwa menjadi pribadi yang lebih baik sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat pada saat kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat serta hukuman terhadap Terdakwa diharapkan pula sebagai bentuk edukasi terhadap masyarakat agar sadar dampak perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Terdakwa.” lanjut Hakim Ketua Firdaus, S.H., saat mengucapkan pertimbangan putusan dengan amar pidana bersyarat berupa pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan percobaan selama 1 (satu) tahun.Atas putusan tersebut Terdakwa menerimanya dan JPU menyatakan pikir-pikir atas putusan yang telah diucapkan tersebut.

Pakai Keadilan Restoratif, PN Madina Hukum Terdakwa Curat 5 Bulan Penjara

article | Berita | 2025-03-19 10:00:27

Mandailing Natal- Pengadilan Negeri (PN) Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara (Sumut) menjatuhkan putusan kepada Terdakwa Ilwan bin Maraindo Harahap selama 5 bulan penjara. Terdakwa terbukti melakukan pencurian dalam keadaan yang memberatkan (curat).Putusan itu diketok oleh ketua majelis Catur Alfath Satriya dengan anggota Erico Leonard Hutauruk dan Qisthi Widyastuti pada 13 Februari 2025. Dalam hal ini, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan pendekatan keadilan restorative. Hal ini dilakukan oleh Majelis Hakim karena berdasarkan fakta hukum di persidangan sudah ada perdamaian antara Terdakwa dengan korban dan sepeda motor korban sudah dikembalikan kepada korban. Di dalam pertimbangannya Majelis Hakim menuliskan“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum di persidangan pihak saksi korban sudah memaafkan Terdakwa dan secara tertulis sudah ada perdamaian antara saksi korban dengan Terdakwa sehingga dalam hal ini Majelis Hakim akan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yaitu berupa pengurangan hukuman yang serendah-rendahnya kepada Terdakwa. Pendekatan keadilan restoratif dilakukan oleh Majelis Hakim karena sudah ada pemulihan situasi antara Terdakwa dengan saksi korban”Penjatuhan vonis 5 (lima) bulan penjara juga didasarkan pada fakta hukum bahwa Terdakwa sudah menjalani masa penahanan selama kurang lebih 4 bulan penjara sehingga Terdakwa hanya perlu menjalankan pidana penjara selama kurang lebih 1 bulan penjara.

Bimtek Restorative Justice Maret 2025: Korban Bebas Keluarkan Uneg-Uneg Sepuasnya

article | Berita | 2025-03-18 18:35:28

Jakarta – Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) mengadakan Bimbingan Teknis Penanganan Perkara Berbasis Keadilan Restoratif secara daring pada 17-18 Maret 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat implementasi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Bambang Myanto, membuka bimbingan teknis dengan menekankan pentingnya penerapan mekanisme keadilan restoratif dalam peradilan umum. Ia juga menyoroti penggunaan teknologi Badilum Learning Center (BLC) yang dikembangkan oleh SIGANIS BADILUM sebagai sarana pembelajaran bagi hakim dan tenaga teknis.Bimbingan teknis ini menghadirkan narasumber dari berbagai instansi, termasuk Prof. Dr. Anthon F. Susanto (Universitas Pasundan), Dr. Erni Mustikasari (Kemenpolhukam), Dr. Hj. Nirwana (Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah), dan Dr. Hj. Diah Sulastri Dewi (Ketua Pengadilan Tinggi Palangkaraya). Mereka memberikan materi terkait implementasi keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana.Dalam sesi diskusi, para peserta yang mayoritas adalah hakim menyampaikan kendala penerapan keadilan restoratif, terutama terkait proses di tahap penyidikan dan penuntutan yang dapat mempersulit pengungkapan fakta di persidangan. Selain itu, pengadilan masih menghadapi tantangan dalam memahami teknis penerapan Perma Nomor 1 Tahun 2024.Salah satu sesi utama bimbingan teknis membahas praktik penyusunan kesepakatan perdamaian dan putusan berbasis keadilan restoratif, yang dipandu oleh Nirwana dan Dewi. Diskusi mencakup aspek legalitas kesepakatan perdamaian dalam amar putusan serta kemungkinan memasukkan pidana kerja sosial dalam putusan keadilan restoratif.Kegiatan ditutup dengan pesan dari Diah Sulastri Dewi yang mengingatkan para peserta untuk menginternalisasi nilai-nilai keadilan restoratif dalam persidangan guna meningkatkan efektivitas sistem peradilan pidana di Indonesia. (NP)

Pakai Restorative Justice, PN Muara Bungo Vonis Pelaku Penganiayaan 96 Hari Bui

article | Berita | 2025-03-18 11:25:19

Bungo - Pengadilan Negeri (PN) Muara Bungo, Jambi menjatuhkan hukuman 96 hari penjara kepada Saparudin di kasus penganiayaan. Putusan ini menggunakan pendekatan Restorative Justice yang mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat.“Menyatakan Terdakwa Saparudin als Sapar Bin Sofyan tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 6 (enam) hari,” kata ketua majelis Camila Bani Alawia  bersama hakim anggota Roberto Sianturi dan Dyah Devina Maya Ganindra, daPutusan ini diketok pada Senin (17/5) kemarin. Putusan ini menonjol karena pengadilan menerapkan pendekatan restorative justice, yang mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat.“Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan,” ucap majelis.Pendekatan restorative justice yang diterapkan dalam kasus ini mencerminkan upaya pengadilan untuk tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memfasilitasi pemulihan bagi korban dan masyarakat. Pendekatan ini mempertimbangkan faktor-faktor seperti pengakuan dan penyesalan terdakwa, permintaan maaf kepada korban, serta kesediaan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.. Dengan demikian, putusan ini bertujuan menciptakan keadilan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan.Kasus ini berawal dari peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh Terdakwa pada pada 22 November 2024 sekira pukul 20.30 WIB. Saat itu Terdakwa tidak terima karena dinasehati oleh korban Husmaryadi. Karena tersulut emosi Terdakwa dan Korban terlibat perkelahian sehingga korban mengalami luka gores pada bibir dan kehilangan 2 gigi bagian atas.Selama proses persidangan, majelis hakim mengupayakan perdamaian antara terdakwa dan korban. Alhasil, korban memaafkan Terdakwa tanpa ada perlu memberikan penggantian uang santunan kepada korban. Perdamaian tersebut kemudian dikukuhkan dalam surat kesepakatan perdamaian tertanggal 3 Maret 2025.Adanya perdamaian tersebut menjadi alasan yang meringankan hukuman yang dijatuhkan majelis hakim sebagaimana ketentuan Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024.Putusan ini menjadi salah satu wujud komitmen PN Muara Bungo dalam menerapkan sistem peradilan yang lebih humanis. Dengan memerintahkan pembebasan terdakwa segera setelah putusan diucapkan dan mengurangi masa tahanan yang telah dijalani, pengadilan memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk segera kembali ke masyarakat dan memperbaiki diri. Pendekatan ini juga diharapkan dapat menjadi contoh bagi pengadilan lain di Indonesia dalam menangani kasus serupa.Putusan terhadap Saparudin als Sapar Bin Sofyan menegaskan bahwa keadilan tidak hanya tentang penghukuman, tetapi juga tentang pemulihan. Dengan mengadopsi restorative justice, PN Muara Bungo menunjukkan langkah progresif dalam sistem peradilan pidana Indonesia, yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga membangun harmoni sosial sebagaimana terkandung dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024.

Terapkan Restorative Justice, PN Paringin Vonis Salman 4 Bulan Penjara

article | Berita | 2025-03-13 14:10:59

Paringin, Kab. Balangan - Pengadilan Negeri (PN) Paringin, Kalimantan Selatan menjatuhkan vonis 4 bulan penjara kepada Salman Bin Santri (35) karena menabrak M. Aini Bin Tuhani (72) menggunakan sepeda motor hingga korban tidak sadarkan diri.“Menyatakan Terdakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan mengakibatkan luka berat. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan”, kata ketua majelis Eri Murwati dalam sidang terbuka untuk umum di Gedung PN Paringin, Kamis (13/03/2025).Kasus bermula saat korban hendak menyeberangi jalan menuju ke toko kelontong di seberang rumahnya. Salman yang saat itu mengendarai sepeda motor dalam kondisi mabuk tiba-tiba menabrak korban hingga terpental sejauh hampir dua meter dan tidak sadarkan diri. Warga yang melihat kemudian langsung membawa korban ke Rumah Sakit Datu Kandang Haji Kabupaten Balangan untuk mendapatkan perawatan.“Akibat peristiwa tersebut Korban mengalami luka terbuka perdarahan aktif pada kepala dan luka lecet pada pergelangan tangan kiri yang mana luka tersebut dapat menimbulkan kecacatan atau mengancam jiwa.”, kata ketua majelis Eri Murwati didampingi Ruth Tria Enjelina Girsang dan Arya Mulatua sebagai hakim anggota.Selama proses persidangan, majelis hakim mengupayakan perdamaian antara terdakwa dan korban. Alhasil, korban memaafkan Terdakwa dan Terdakwa memberikan uang santunan kepada korban sebagai bentuk tanggung jawab. Perdamaian tersebut kemudian dikukuhkan dalam surat kesepakatan perdamaian tertanggal 27 Februari 2025. “Adanya perdamaian tersebut menjadi alasan yang meringankan hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim sebagaimana ketentuan Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024”, ungkap Eri dalam pertimbangan hukumnya.Prinsip penerapan keadilan restoratif dalam Perma 1 Tahun 2024 bukan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana melainkan untuk mendorong terciptanya pemulihan keadaan, memperhatikan kepentingan korban serta tanggung jawab Terdakwa.Terhadap vonis 4 bulan penjara tersebut, Terdakwa menyatakan menerima putusan dan Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir.

Kasus Laka Motor Vs Truk Rem Blong, PN Teluk Kuantan Pakai Keadilan Restoratif

article | Berita | 2025-02-28 10:00:38

Teluk Kuantan-Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Riau berhasil menangani perkara kejahatan lalu lintas berdasarkan keadilan restorative. Korban  yang mengendarai sepeda motor meninggal dunia akibat ditabrak truk yang dibawa pelaku rem blong.Kasus itu terdaftar dalam perkara nomor 198/Pid.Sus/2024/PN Tlk. Sidang putusan dilaksanakan di ruang sidang pidana PN Teluk Kuantan pada (26/2/2025).Kasus bermula ketika Terdakwa Vernandes Sidabutar sedang mengemudikan truck tronton Nopol BM 8432 FU dengan muatan kosong dari arah Teluk Kuantan menuju arah Kiliran Jao / Lubuk Jambi. Sedangkan di depan mobil yang terdakwa kemudikan, terdapat sepeda motor Yamaha Jupiter Nopol BM 5555 KU yang dikemudikan oleh saudari Kurnia Tika Sari bersama saudari Raisya Etika Tri Oktavia dan Saudari Marjulismawati. Beberapa saat kemudian, datang dari arah yang berlawanan sebuah mobil truk tronton warna hijau yang sedang melaju dengan posisi berada di marka garis putih panjang sebagai pembatas kedua jalur yang berlawanan tersebut. Melihat kondisi mobil truk tronton warna hijau dari arah berlawanan yang berada di tengah tersebut membuat saudari Kurnia Tika Sari memperlambat kecepatan sepeda motor yang dikemudikan. Mengetahui kecepatan sepeda motor yang saudari Kurnia Tika Sari  kemudikan melambat, terdakwa lalu menginjak rem dengan maksud mengurangi kecepatan mobil truk yang terdakwa kemudikan. Namun ternyata rem mobil truk tersebut tidak berfungsi.Setelah mengetahui bahwa rem mobil truk tidak berfungsi, terdakwa juga tidak membunyikan klakson mobil truk sebagai pemberi isyarat, sehingga akhirnya mobil truk yang terdakwa kemudikan menabrak bagian belakang sepeda motor saudari Kurnia Tika Sari kemudikan dan mengakibatkan sepeda motor tersebut oleng ke arah jalur mobil truk hijau sebelumnya.Sedangkan saudari Kurnia Tika Sari bersama saudari Raisya Etika Tri Oktavia dan Saudari Marjulismawati terhempas dan jatuh di aspal jalan. Akibat kejadian tersebut membuat Saudari Marjulismawati meninggal dunia sedangkan saudari Kurnia Tika Sari  bersama saudari Raisya Etika Tri Oktavia mengalami luk-luka yang membuat halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau kegiatan sehari-hari.Atas kejadian itu, aparat melakukan proses hukum dan kasus pun bergulir ke pengadilan.PN Teluk Kuantan menilai perkara itu memenuhi kategori perkara yang dapat diadili berdasarkan Keadilan Restoratif yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e Perma Nomor 1 Tahun 2024. Selanjutnya majelis hakim yang diketuai Agung Rifqi Pratama dan hakim anggota Yosep Butar Butar dan Faiq Irfan Rofii menanyakan dalam pemeriksaan saksi apakah dalam perkara tersebut sudah ada perdamaian. “Ternyata menurut keluarga korban yang menjadi saksi dalam perkara tersebut telah ada perdamaian antara keluarga korban dengan Terdakwa. Selain itu keluarga korban sudah menerima pula uang santunan dan biaya pengobantan sebesar Rp 42 juta,” demikian keterangan pers yang diterima DANDAPALA, Jumat (28/2/2025).Perkembangan terakhir Kurnia Tika Sari sudah kembali ke rumah namun tidak dapat beraktivitas seperti biasa. Sedangkan Raisya Etika Oktavia sudah sembuh. Memperhatikan fakta hukum tersebut, majelis hakim dalam memberikan keringanan hukuman kepada Terdakwa.“Adapun Majelis Hakim  menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6  bulan serta denda sejumlah Rp 10 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3  bulan. Baik Terdakwa dan Penuntut Umum menerima putusan tersebut,” pungkasnya.

PN Nanga Bulik Terapkan RJ Perkara Pencurian, Ini Alasannya!

article | Berita | 2025-02-21 10:20:10

Lamandau - Pengadilan Negeri (PN) Nanga Bulik terapkan Restoratif Justice (RJ) dalam perkara pencurian. Adanya perdamaian dengan korban, menjadi alasan dijatuhkannya pidana bersyarat kepada Terdakwa Nur Sokhib dan Feris Sofyan.“Menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama sepuluh bulan. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama satu tahun berakhir”, ucap Ketua Majelis Denny Budi Kusuma didampingi Hakim Anggota Rendi Abednego Sinaga dan Mohammad Pandi Alam pada persidangan yang terbuka untuk umum pada Kamis (20/02/2025).Perkara yang teregister nomor 2/Pid.B/2025/PN Ngb., tersebut bermula dari kedua terdakwa ditangkap massa saat hendak membawa lari motor korban. Meski berhasil diamankan, motor korban mengalami kerusakan karena terjatuh.“… perbuatan Para Terdakwa memenuhi unsur pasal sehingga harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.” kata Ketua Majelis dalam sidang di gedung PN Nanga Bulik, Kabupaten Lamandau. Sedangkan Para Terdakwa mengikuti persidangan secara daring dari Rutan Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat.Penerapan RJ sendiri sebagaimana PERMA Nomor 1 Tahun 2024. “Menyelaraskan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku,” dikutip dari putusan yang dijadikan dasar Majelis Hakim mendorong komunikasi konstruktif hingga tercapai perdamaian.Lebih lanjut, dilansir dari pertimbangan putusan, fakta mengenai nilai kerugian tidak lebih dari 2,5 juta rupiah sebagaimana Pasal 6 Perma 1/2024) dan kedua terdakwa telah membenarkan dakwaan menjadi alasan kuat dijalankan RJ dalam perkara tersebut.“Para Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dengan mengganti kerugian yang dialami korban dan telah saling memaafkan,” ujar Majelis Hakim. “Dalam RJ, pidana penjara merupakan upaya terakhir, terjadinya perdamaian menghindarkan penerapan perampasan kemerdekaan terhadap kedua terdakwa,” tegas Majelis Hakim.“Kami menerima Yang Mulia,” jawab kedua terdakwa. Sedangkan JPU menyatakan pikir-pikir.