article | Opini
| 2025-04-06 14:10:59
Dalam perkembangan penegakan hukum dan penyelesaian
perkara tindak pidana saat ini, masing-masing instansi penegak hukum telah
menggaungkan atau berlomba-lomba melakukan penyelesaian perkara tindak pidana
yang pelakunya sudah dewasa melalui penerapan keadilan restoratif (restorative
justice). Berkaitan dengan penyelesaian perkara
tindak pidana melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice)
tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan
Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perkap Tentang
Keadilan Restoratif dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan
Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja tentang Keadilan Restoratif serta untuk Mahkamah Agung
Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif (Perma tentang Keadilan Restoratif). Dalam Perma tersebut pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud
dengan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah pendekatan dalam
penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak
baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau
pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan,
dan bukan hanya pembalasan.
Berkaitan dengan penjelasan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice) tersebut, lalu timbul pertanyaan yakni bagaimana seandainya apabila ternyata
Penyidik Kepolisian atau Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim pada Pengadilan
berhasil menyelesaikan perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa
melalui keadilan restoratif? Apakah perkaranya bisa dihentikan pada tingkat
Penyidikan, Penuntutan maupun Pengadilan?
Menurut Penulis jawabannya yakni kalau pada tingkat
Penyidikan atau Penuntutan, baik Penyidik maupun
Penuntut Umum dapat melakukan langkah hukum/prosedur penghentian
penyidikan/penuntutan melalui aturan internal Kepolisian Negara Republik
Indonesia/Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, salah satunya yaitu Perkap tentang Keadilan Restoratif dan Perja tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana penyelesaian
perkara pidana pada Pengadilan melalui pendekatan keadilan restoratif?
Berdasarkan Perma tentang Keadilan Restoratif pada
pokoknya menerangkan apabila tercapai penyelesaian perkara melalui Keadilan
Restoratif dengan mengedepankan perdamaian antara pelaku dan korban serta pihak
terkait, maka hanya menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi Terdakwa/pelaku
dalam menjatuhkan putusan dan tidak serta-merta
menghentikan perkaranya.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, kesimpulannya
yakni ternyata masing-masing instansi penegak hukum seperti Kepolisian Republik
Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik
Indonesia memiliki aturan tersendiri mengenai penyelesaian perkara pidana yang
pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif (Restorative Justice).
Sampai saat ini belum ada Undang-undang
yang mengatur secara khusus tentang jenis-jenis perkara pidana apa saja yang
bisa diselesaikan melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
serta bagaimana syarat dan tata cara (Hukum Acara) penyelesaian perkara pidana
yang pelakunya sudah dewasa melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative
Justice) tersebut, karena Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana saat inipun belum mengatur bagaimana tata
cara/mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif
tersebut, sehingga perlu dibentuk payung hukum berupa Undang-undang atau aturan
hukum yang lebih menjamin kepastian hukum dan keseragaman dalam penyelesaian
perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa bagi instansi penegak hukum termasuk
pengadilan.
Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Keadilan Restoratif dijelaskan lebih lanjut
dalam penjelasan umum UU SPPA dengan menyebutkan Keadilan Restoratif
merupakan suatu proses diversi. Artinya semua pihak yang terlibat dalam suatu
tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu
kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan
korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi,
dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka menurut
pendapat Penulis, apabila suatu Instansi Kepolisian/Kejaksaan/Pengadilan
berhasil melakukan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa
melalui keadilan restoratif sebaiknya sama halnya dengan melakukan penyelesaian
perkara yang pelakunya anak yakni melalui keadilan restoratif dan juga
“diversi”, sehingga apabila penyelesaian perkara pidana tersebut berhasil
melalui keadilan restoratif dan juga “diversi” dalam tingkat
Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan, maka sebaiknya hal tersebut dilaporkan kepada
Ketua Pengadilan untuk selanjutnya dikeluarkan Penetapan.
Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan
tersebut, menurut pendapat penulis sama halnya dengan putusan pidana yang telah
berkekuatan hukum tetap, artinya meskipun penyelesaian perkara tindak pidana
ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa berhasil dilakukan dengan
keadilan restoratif dan diversi maka tersangka/terdakwa dianggap telah terbukti
melakukan suatu tindak pidana, sehingga apabila tersangka/terdakwa
mengulanginya maka terhadap tersangka/terdakwa tersebut tidak bisa dilakukan
penyelesaian perkaranya melalui keadilan restoratif maupun diversi karena telah
berulang melakukan suatu tindak pidana.
Dengan demikian penyelesaian perkara
pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi ini
selain bertujuan untuk mencapai keadilan dimasyarakat tentunya sebagai sarana
pencegahan bagi tersangka/terdakwa itu sendiri, supaya tidak berulang melakukan
tindak pidana.
Dalam kesepakatan perdamaian melalui keadilan
restoratif dan diversi tersebut juga, jika berhasil sebaiknya mengenai barang bukti
apabila dalam perkara tindak pidananya terdapat barang bukti, maka harus dimuat
juga mengenai status barang bukti tersebut dalam Penetapan Diversi. Dengan
tercapainya penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa
melalui keadilan restoratif dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan yang
dilaporkan serta dikuatkan dengan Penetapan oleh Ketua Pengadilan setempat
sebagaimana penyelesaian perkara pidana melalui “Diversi” dalam perkara pidana
yang pelakunya “Anak”, maka Penulis berpendapat itulah keadilan yang
sesungguhnya yang memenuhi Asas Kepastian Hukum, Asas Kemanfatan dan Asas
Keadilan serta Asas Peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan dalam
penyelesaian suatu perkara tindak pidana.
Sejalan dengan hal tersebut, maka Penulis
berpendapat bahwa Instansi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung
Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik indonesia dapat bersama-sama
untuk menyelaraskan aturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan
restoratif yang dituangkan dalam suatu undang-undang yang dibuat oleh lembaga
legislatif dengan dukungan penuh dari lembaga eksekutif atau setidak-tidaknya
dibuat aturan yang mengikat bagi masing-masing instansi penegak hukum yang
dapat mengadopsi aturan penyelesaian perkara pidana melalui “keadilan
restoratif” dan “diversi” yang termuat dalam UU SPPA.
Penulis berpendapat penyelesaian perkara tindak
pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat memungkinkan juga untuk diselesaikan
melalui Diversi (Pengalihan Penyelesaian Perkara dari Proses Peradilan ke
Proses di Luar Peradilan Pidana). Mengapa demikian? karena ketika sudah terjadi
perdamaian dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif melalui pemulihan
keadaan semula yang dituangkan dalam kesepakatan perdamaian yang dapat
dilakukan dengan atau tanpa ganti kerugian.
Misalnya bentuk pemulihan terhadap
korban dalam perkara tipiring pencurian buah kelapa sawit yang
pelaku/tersangka/terdakwanya tertangkap tangan bersama barang bukti berupa buah
kelapa sawit, maka hal tersebut tentunya tidak membawa kerugian yang signifikan
bagi korban, sehingga penyelesaiannya dapat ditempuh melalui diversi dengan
mengupayakan keadilan restoratif yang melibatkan pelaku, korban, tokoh
masyarakat, dan pihak lain yang dianggap perlu dengan dibantu fasilitator diversi
dengan penyelesaian/perdamaian tanpa ganti rugi tetapi dengan syarat para pihak
harus saling memaafkan atau pelaku diberikan sanksi sosial untuk melakukan
pekerjaan yang bermanfaat bagi khalayak umum seperti membersihkan/melakukan
pelayanan di tempat ibadah/fasilitas umum dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk/bagian yang termasuk keadilan restoratif yang
bertujuan untuk mempererat hubungan baik para pihak (hubungan sosial) agar
tidak ada dendam, artinya keadilan restoratif ini jangkauan dan manfaatnya
sangat luas terutama dalam hal pencegahan tindak pidana atau misalnya dalam
perkara penganiayaan ringan dimana pelaku dan korban sudah saling memaafkan
dengan perdamaian melalui ganti rugi biaya pengobatan, maka contoh-contoh
perkara tersebut sebaiknya dapat diselesaikan melalui diversi yang pelakunya
sudah dewasa sebagaimana diversi dalam perkara pidana anak artinya
penyelesaiannya tidak mesti melalui persidangan.
Selain itu, apabila memungkinkan
dibentuknya undang-undang atau setidak-tidaknya aturan hukum yang mengikat bagi
seluruh instansi penegak hukum mengenai penyelesaian perkara tindak pidana
melalui keadilan restoratif dan diversi bagi pelaku yang sudah dewasa. Maka hal ini sejalan dengan asas dalam hukum pidana yakni asas ultimum
remedium yang pada pokoknya memiliki arti bahwa pidana merupakan upaya
terakhir dalam penegakan hukum di Indonesia.
Apabila suatu perkara tindak pidana
dapat diselesaikan melalui jalur lain dengan cara kekeluargaan, negosiasi,
mediasi dan lain sebagainya yang dapat berujung pada perdamaian para pihak yang
berperkara pidana, maka hendaknya cara-cara tersebutlah yang harus terlebih
dahulu dilakukan apalagi dalam penanganan perkara tindak pidana ringan yang
kategori ancaman hukuman maupun akibat perbuatan pelaku tindak pidana dalam
kategori ringan.
Penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya
sudah dewasa sangat perlu diselesaikan tidak hanya melalui proses keadilan
restoratif (restorative justice) akan tetapi dapat mengacu dan
mengadopsi penyelesaian perkara pidana melalui “diversi” sebagaimana
penyelesaian perkara pidana yang pelakunya “Anak”. Hal inilah yang menjadi alasan penting untuk melakukan pembaharuan hukum
acara pidana berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah
dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut.
Penyelesaian perkara tindak pidana
ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa dan memenuhi persyaratan atau
kualifikasi untuk diupayakan melalui keadilan restoratif dan diversi ini
menurut Penulis juga merupakan salah satu bentuk implementasi terhadap
nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945 karena budaya masyarakat
Indonesia yaitu menyelesaikan masalah dengan cara bermusyawarah untuk mufakat
mencari solusi penyelesaian terbaik. Sehingga harus dibuat aturan
khusus mengenai hukum acara pidana terkait penyelesaian perkara tindak pidana
ringan/singkat/biasa melalui aturan undang-undang/aturan hukum lainnya yang
berlaku mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum di negara indonesia dalam
rangka mewujudkan keadilan bagi pencari keadilan sesuai dengan keadaban publik
saat ini dimana penanganan perkara pidana pada masing-masing instansi penegak
hukum harus mudah dijangkau oleh masyarakat/pencari keadilan dan bersifat
transparan.